Helvry Sinaga
Judul: “Pakiah” dari Pariangan
Pengarang: Gus tf sakai
Kompas, 28 Agustus 2011
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/28/pakiah-dari-pariangan/

Cerpen yang membingungkan saya. Mungkin karena saya tidak berlatar belakang sumatra barat, jadi agak susah mencerna cerpen Gus tf sakai ini. Bercerita tentang sebuah tradisi silat yang tadinya adalah wibawa kebanggan karena bisa bertarung di sumatra barat, namun berubah menjadi pertunjukan. sebuah pemikiran positif tentang siapa itu pakiah-yang kemudian digambarkan:

Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.

Pakia bukan sekedar bisa bertarung dengan kemampuan silat, tetapi juga menunjukkan keteladan berupa kerendahan hati.

Helvry Sinaga
Judul: Terbukalah
Pengarang: Fransisca Dewi Ria Utari
Kompas, 13 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/07/terbukalah/

Ada suatu bagian dalam hidup yang ditempati oleh pengalaman. Pengalaman itu tidak akan diperoleh atau tidak akan dirasakan bila tidak ada usaha aktif. Bila masa telah berlalu, merenungkan pengalaman entah itu bahagia atau sedih adalah proses kita menuju kebijaksanaan.

Narator menceritakan pengalamannya bersama pria idaman hatinya. Dewi Ria Utari menulis sangat baik pada saat menggambarkan suasana kencan pertama kali mereka di taman.

Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.

Toh ketertarikan narator bukan pada tamannya. Kembali pada siapa manusianya. Tempat hanyalah mediasi kasih disampaikan dan dikomunikasikan. Dan narator merasa perlu mengunjungi taman itu untuk menemukan kembali apa yang hilang dari prianya, yaitu matanya.

sumber: http://jhonrhonda.blogspot.com/2009/11/lelaki-tua-di-bangku-taman.html
Helvry Sinaga
Judul: Hujan yang Indah
Pengarang: Kurnia JR
Kompas, 14 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/14/hujan-yang-indah/

Setiap orang punya cara unik menikmati hujan. si penulis menggambarkan hujan sebagai berikut:

Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.


Saya sendiri memaknai hujan tergantung rumah kontrakan. Di Slipi, saya selalu berharap supaaya hujan jngan terlalu lama, sebab atap rumah kontrakan kami bocor. Berkali-kali sudah datang ke pemilik rumah, namun tidak ada tindak lanjut. Sekarang lebih mendingan, walau deg-degan kalau hujan tak berhenti.

Saya hanya membayangkan menyaksikan hujan dari balik ruangan kaca. saya membayangkan melihat titik-titik air mencoba menerobos kaca meninggalkan jejak-jejak air. Atau duduk di beranda rumah menyaksikan tetesan air dan menghujam ke bumi meninggalkan bau tanah yang harum.

Membayangkan terjadinya hujan bagi saya waktu kecil adalah imajinasi unik. Saya membayangkan di atas sana (merujuk pada surga), lantai surga itu dibolongi sebesar paku. Lalu para malaikat menumpahkan air dari ember lewat bolongan tadi. Itulah yang menjadi hujan di bumi.

Bagaimana memaknai hujan, saya tidak seperti pengarang cerpen ini melihat keindahan hujan. Walau terkesan agak berlebihan, kemungkinan ia penggemar hujan. Sebenarnya hujan bisa dinikmati, dan cara menikmatinya itu indah. Saya membayangkan dari teras belakang rumah saya sembari memandang sawah yang hijau dijatuhi air. Batang padi meliuk sesuai arah angin, dan anak gadis di rumah pojok bersegera membawa pakaian di jemuran.

Namun tidak perlu sampai jadi kakek-kakek untuk menceritakan keindahan hujan seperti pada cerpen ini. Justru itu membuat hilangnya keindahan cerpen ini.

Bagaimana dengan Anda?