Helvry Sinaga
Judul: Pengacara Pikun
Pengarang:


Taksi bandara menurunkan Dewi dan suami serta dua anak yang masih kecil di depan rumah opa mereka. Keduanya duduk dan melapor: ”Kami datang untuk cari kerja di sini, Opa. Sarjana hukum seperti kami berdua sukar dapat kerja di daerah.”

Sang Opa kaget, ”Ah, jauh-jauh terbang untuk cari kerja. Hmm, kalian berdua sarjana hukum. Sawah dan ladang pusaka tak terkelola?” tanya sang Opa.

”Oh, Opa, musim kemarau panjang menyebabkan tanaman di kebun kering. Untung masih ada pohon lontar, gewang, dan kelapa sehingga niranya bisa disadap. Setiap hari kami masak gula, minum nira dan gula cair dan lawar cuka dari daun pepaya, kelor dan rumput laut, bercampur ikan, kerang dan gurita yang diambil ketika laut surut dan tertampung di pematang batu yang dibuat oleh kakek buyut. Kami kenyang, kami tak menganggap ada musim paceklik karena makanan tak pernah putus, tetapi anak-anak kami selalu menangis minta nasi dan roti. Kami menipu anak-anak dengan membelah kelapa yang telah tumbuh berpucuk kecil. Di dalamnya ada tembolok berupa roti,” Dewi menjelaskan.
Helvry Sinaga
Judul: Hujan Bulan Februari
Penulis: Ahmad Muchlish Amrin
Kompas, 14 Juli 2013

1/Ibu, di halaman buku sejarahku bercak merah berdecak, ingatan menyelinap pada masa silam yang tiram. Di matanya tergambar bendera berkibar, urat nadi bertalu, semangat juang berdentang, henyak napas bergegas di bumi yang ranggas.

Ibu, ingatanku senyap gerimis mata waktu, bergambar lelaki mengepalkan tangan, mukanya terlihat merah menyala, berteriak demi tanah kelahiran yang ditinggikan—Ibu tersenyum mendengar igauku. Ia mengusap kepalaku dengan belaian kasih sayang.