Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts
Helvry Sinaga
Jurnalis yang Bersastra

Oleh Rohadi Budi Widyatmoko

Para jurnalis senantiasa memengaruhi sekaligus penentu jalannya sejarah di Indonesia. Berbekal kata, jadilah berita, juga cerita. Mereka berpeluh kata yang bertujuan memberitakan segala peristiwa kepada sidang pembaca. Jika kita ingat masa lalu, pekerjaan jurnalis bersinggungan dengan politik yang panas dan hukum yang diskriminatif di bawah kekuasaan penjajah. Jadi, nasib jurnalis sering di ambang kematian dan rezekinya terancam andai memusuhi kepentingankepentingan pemerintah kolonial.

Hidup dan matinya jurnalis sebenarnya ikut mewarnai hitam putih sejarah kita hingga sekarang. Keberanian jurnalis yang menulis keburukan ataupun kesalahan pemerintah kolonial sering berujung hukuman. Mereka tidak menyerah meskipun akan dibinasakan. Mengungkap kebenaran lalu memberitakannya adalah janji suci jurnalis yang tidak mungkin dikhianati. Mereka tidak ingin cari selamat sendiri. Inilah yang terjadi di kehidupan para jurnalis pada awal abad ke-20 saat dunia pers tumbuh subur menyuarakan kebangsaan. Mereka berani menerima akibat dari berita dan artikel yang ditulis asal nasionalisme tak lesu di tengah jalan.

Beberapa nama jurnalis berani bertaruh rezeki dan nyawa demi menyingkap kebenaran kepada masyarakat. Ingatlah kita pada tokoh legendaris di dunia pers pribumi, Tirto Adhi Soerjo dan Marco Kartodikromo. Merekalah yang berbekal kata ikut melawan penjajah. Akibatnya, mereka ditekan, dihukum, dan dibuang. Keduanya adalah jurnalis yang bersastra. Kekuatan berita diliputi spirit sastra yang membela hati nurani dan kemanusiaan. Akhirnya, mereka ditakuti oleh pemerintah kolonial tidak hanya oleh tulisan-tulisan berupa berita ataupun artikel, tetapi juga oleh puisi dan novel. Jurnalis yang bersastra adalah sosok yang sulit dikalahkan penjajah. Andai terhukum dan terbunuh, tetapi bermartabat dan terhormat.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Presiden Malioboro
untuk Umbu
Emha Ainun Nadjib

Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan, 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.

Kemudian sebagai ”jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui ”jalan sesat”, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga


Elya Utama

Dengan munculnya Amba tahun 2012 (diterbitkan Gramedia Pustaka Utama) karya Laksmi Pamuntjak, Indonesia memiliki satu lagi novel menakjubkan, dihitung sejak terbitnya Saman (Kepustakaan Populer Gramedia, terbit pertama kali tahun 1998) karya Ayu Utami, yang waktu itu juga langsung membikin banyak orang takjub. Yang lebih menakjubkan, dua novel yang luar biasa ini memiliki kemiripan—atau bahkan kesamaan—dalam hampir semua unsurnya: struktur plot, penokohan, kejiwaan para tokoh (yang mencerminkan kejiwaan pengarang), tema tersembunyi di balik tema utama, sikap dan cara pandang penulis terhadap kehidupan, serta struktur kalimat yang berkonsekuensi ke hal-hal teknis, seperti penggunaan metafora, kosakata, irama, tempo, dan diksi.

Contoh dari kesamaan dua novel itu banyak dan bisa diuraikan panjang lebar. Tulisan ini merupakan versi pendek untuk penulisan di surat kabar. Dengan banyak hal dipadatkan dan contoh dibatasi, mudah-mudahan tetap bisa dilihat kemiripan atau kesamaan dua novel tersebut.

Baiknya dimulai dari unsur teknis dulu, yakni struktur kalimat. Struktur kalimat ini memang membawa konsekuensi pada struktur plot. Dalam hal ini, sebagaimana metafora wayang yang banyak digunakan, keduanya tampaknya menggunakan struktur pakeliran wayang. Diawali suluk yang bagus—yang ditransformasikan ke dunia prosa dengan piawai—dimulailah cerita dengan pengenalan, kemudian problem alias kegelapan, dilanjutkan serpihan cerita yang terpisah-pisah, baik dari segi waktu, tempat, maupun tokoh. Nantinya serpihan-serpihan itu dikonsolidasi pada akhir cerita ketika dunia menjadi benderang seperti dalam pertunjukan wayang kulit menjelang tancep kayon. Konsolidasi serpihan cerita itu pada kedua novel sama-sama dilakukan dengan dibabarnya surat-surat yang ditulis oleh para tokoh (pada Saman ditambah dengan surat elektronik alias e-mail).
Helvry Sinaga

Muhammadiyah dan Pemerintah
MC Ricklefs

Sebagai institusi agama dan bakti sosial yang amat besar, Muhammadiyah terpaksa menjalin hubungan dengan pemerintah yang ada. Pada zaman kolonial isu ini agak rumit.

Di satu sisi Muhammadiyah kurang se- nang dengan ”netralitas” pemerintah kolo- nial dalam bidang agama, yang memungkinkan misi-misi Kristen mencari pengi- kut baru dalam masyarakat Indonesia. Di sisi lain Muhammadiyah merangkul pendekatan pendidikan modern pemerintah: bekerja sama dengan pemerintah dalam pendidikan, bahkan meniru kegiatan misi Kristen dalam amal usahanya.

Selama periode Revolusi dan Orde Lama Soekarno, Muhammadiyah berusaha memperkuat masyarakat madani dan menolong kaum fakir dan miskin. Pada masa itu, organisasi yang semakin besar ini harus menghadapi pertentangan dari pihak komunis dan kompetitor—terutama pada tingkat akar rumput di pedalaman– dari kaum tradisionalis, yang terutama di- wakili oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pemerintah waktu itu cukup lemah dan kacau sehingga Muhammadiyah bisa jalan terus dengan kegiatannya tanpa harus memperhatikan sikap pemerintah.
Helvry Sinaga
Pasar Sejarah Nusantara
(Menanggapi Binhad Nurrohmat)
Ahda Imran

ESAI Binhad Nurrohmat atau BN ”Menerawang Kotak Hitam Nusantara” (Kompas, 11 November 2012) menyasar hubungan karya sejarah di Nusantara dan karya sastra. Hubungan yang diletakkannya sebagai persekutuan imajinasi dan nalar manakala keduanya melakukan penerawangan atas fakta dan data sejarah.

Meminjam latar penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 perihal ruang kosong sejarah Nusantara yang bisa dihampiri oleh para sastrawan, BN seolah mewaspadai bahwa ruang kosong itu berpotensi dimasuki oleh karya para pseudonovelis yang mewartakan sejarah gadungan. Para pseudonovelis yang mendasarkan karyanya pada data-fakta yang didapat serampangan, atau melulu fantasi-imajinasi serta menistakan logika sejarah. Di ujung kewaspadaannya itu, BN seolah membuat semacam seruan bahwa diperlukan moral untuk menarasi dan mewartakan sejarah melalui novel.
Helvry Sinaga
Menerawang Kotak Hitam Nusantara
Binhad Nurrohmat
Kompas,11 November 2012

Pena sejarawan menyisakan banyak lembaran kosong sejarah Nusantara. Banyak tokoh dan peristiwa pada masa lampau di Nusantara mengemuka saat ini dan tak sedikit yang antre panjang untuk dituliskan atau telanjur terpendam di balik ingatan. Bentangan masa dua milenium di Nusantara (sekurangnya sejak Kerajaan Salakanegara di Jawa Barat pada abad II hingga abad XXI ini) banyak memiliki lubang hitam besar menganga. Apalagi kalau dari sejarah diharapkan kebenaran absolut.

Sejarawan menulis karya sejarah dan bukan menuliskan kebenaran absolut. Sejarah adalah upaya melacak jejak atau merekam gema dari kejauhan ruang dan waktu. Sebagai upaya, penulisan sejarah kerap berada di bawah bayang-bayang rezim kebenaran. Kebenaran semacam ini bisa dianggap kuno dan tiranik, tetapi ternyata hal ini dianut banyak orang.
Helvry Sinaga



Syafiq Basri Assegaff

Media sosial kini makin diperhitungkan. Ramainya perbincangan soal Komisi Pemberantasan Korupsi di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, berhasil menarik perhatian presiden, yang rupanya cepat menyadari bahwa makin banyak orang geram pada upaya yang dianggap akan melemahkan KPK.

Riuhnya kicau (tweet) di Twittersphere, misalnya, menunjukkan adanya kekompakan rakyat untuk membangun kekuatan bersama. Tak kalah seru dibandingkan aksi demo di jalan atau di depan Gedung KPK, di media sosial itu rakyat ”memberontak” menjadi pembela KPK.

Kicau pengguna Twitter di Indonesia, yang kini diperkirakan berjumlah 28 jutaan orang, saling bersambut. Ada kicau murni dari akun yang jelas. Ada pula tweet dari akun palsu yang mengatasnamakan Ketua KPK Abraham Samad. Dengan sekitar 28.000 pengikut (follower), akun @SamadAbraham terang-terangan menuduh Presiden SBY korup. Ternyata itu bohong. ”Tidak benar Ketua KPK pernah menyatakan menyerang Presiden. Ketua KPK tak punya Twitter,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

BS Mardiatmadja SJ

Anak yang diduga membunuh murid SMA Negeri 6 Jakarta sudah ditangkap. Banyak orang bertepuk tangan. Perlukah? Ya, sebab sebentar lagi ia akan dapat diadili dan dihukum. Kalau bisa seberat mungkin: untuk ”efek jera”. Cukupkah? Jangan-jangan kita sekadar membelah cermin, walau sebenarnya ”buruk muka” kita.

Seorang ahli pendidikan di suatu radio swasta berkali-kali menegaskan bahwa ”anak-anak kita adalah cermin kita—para orangtua—sendiri. Tingkah laku anak adalah cermin tingkah laku orangtua”. Apakah penyelesaian ”buruk muka” hanya dengan ”cermin dibelah”? Cukup edukatifkah kita kalau—seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di televisi—”kita sikat”?
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

sumber:  http://markexton.edublogs.org/

Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.

Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.

Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.

Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Sepanjang kita bicara pada ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.

Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep ”manusia merdeka” dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip ”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.”
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Genetika Pulang
Oleh Acep Iwan Saidi

Mereka tidak jadi ke Njati, apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.

Demikian pokok kisah Umar Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek ”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran ketakberdayaan manusia.

Akan tetapi, barangkali soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan, kisah Kayam tersebut merupakan tema yang terus-menerus diartikulasikan dalam kebudayaan kita, yakni tentang pulang. Dalam siklus Lebaran, kebudayaan kita merumuskannya dengan kata mudik, istilah yang bisa diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Mendialogkan Gawatnya Perbukuan Nasional
Oleh Alfons Taryadi
Kompas, 23 Juli 2012

Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu.

Ajip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.

Suatu hari, tahun 1998, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi, saya mendampingi Arselan Harahap (Ketua Umum Ikapi 1998-2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan perbukuan nasional.

Ketika kami baru menceritakan kondisi perbukuan negara tetangga, sang pejabat langsung memotong. ”Saya tak suka membandingkan Indonesia dengan negeri lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan menuduh pemerintah kurang ini kurang itu.”

Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud Prof Dr Wardiman Djojonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke negara tetangga.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Rokok dan Wong Cilik

Badrul Munir

Rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau mendapat tantangan keras dari buruh-petani tembakau dan kalangan industri rokok di beberapa daerah.

Dengan adanya (rancangan) PP baru ini, mereka khawatir akan kehilangan mata pencarian. Angka pengangguran pun dikhawatirkan melonjak, terutama untuk masyarakat golongan rendah yang selama ini tergantung dari industri tembakau, seperti buruh tembakau, buruh pabrik rokok, petani, pengecer rokok, dan masyarakat kecil lainnya.

Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat

Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.

Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.

Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?
Helvry Sinaga
Misteri Bola Bundar
Sindhunata

Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.

Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.

Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
sumber: cetak.kompas.com
Oleh ST SULARTO

Dalam perubahan super cepat industri buku—konvensional kertas, digital, ataupun elektronik (electronic book)—di manakah letak peranan pemerintah? Karena mindset (baca: kecurigaan) pemerintah, buku berarti bisnis, sekian jenis pajak dikenakan. Jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sektor industri lain.

Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah. Masyarakat memang mengapresiasi pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.

Helvry Sinaga
Jakarta untuk Manusia
Oleh Yonky Karman

Kompas,23 Juni 2012

Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya, baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.

Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta adalah miniatur Indonesia.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
(Bukan) Nasionalisme Musiman

Oleh Imam Cahyono


"History is not determined by fate, or by religion, or geology, or hydrology, or national culture. It is determined by people."

(Alan Beattie)

Pangkalan Brandan seolah pupus dari ingatan dan proses keindonesiaan. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak bumi yang terus menghantui, kota kecil di wilayah Kabupaten Langkat di perbatasan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh ini seperti dilupakan. Padahal, Brandan adalah saksi sejarah ketabahan pencarian emas hitam: bagaimana konsesi, eksploitasi, denyut nadi kejayaan, hingga terpuruk kembali menjadi kota yang sepi.

Sebagai ladang minyak tertua di Nusantara, perut bumi Brandan menghasilkan jutaan barrel minyak sejak ratusan tahun silam. Peristiwa Brandan Bumi Hangus, 13 Agustus 1947—konon lebih besar daripada peristiwa ”Bandung Lautan Api”—merupakan pekik nasionalis, bagaimana pejuang republik mempertahankan kota minyak ini dengan darah agar tidak jatuh ke tangan penjajah.

Pada pemerintahan Soekarno, Ibnu Sutowo membangun kembali Brandan dari puing-puing reruntuhan. Pemerintah melakukan nasionalisasi, membidani cikal bakal perusahaan minyak nasional yang sempat berjaya menggenggam kedaulatan energi. Pada masa Soeharto, Pertamina terempas oleh berbagai skandal yang tak pernah tuntas.

”Dulu bisa masuk kompleks Pertamina saja bangga. Sekarang, masuk ke sana, takut ada monyet dan macan berkeliaran,” tutur mantan pejabat senior Pertamina sembari tersenyum getir.

Kompleks Pertamina di Brandan kini seperti rongsokan besi tua berkarat, penuh rerimbun ilalang dan rumput liar. Gedung-gedung lusuh telantar, kilang-kilang raksasa membisu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Romo Soegijo
Arswendo Atmowiloto
dimuat di Kompas, 9 Juni 2012

Saya membaca judul film Soegijo dengan tambahan Romo dalam hati. Juga dalam percakapan, dalam ingatan, dan terutama dalam kesadaran. Bukan semata karena merasa kurang hormat tidak menyebut predikat, melainkan karena keromoan dan kesoegijoan sudah menyatu, bulat tak terceraikan.

Sebagaimana kredo nasionalisme yang sakti, tag line yang abadi. ”Seratus persen Indonesia, seratus persen Katolik”. Seratus persen berlaku selama masih ada Indonesia, masih ada Katolik.

Sebagaimana hubungan istri-suami, tak selalu harus disebutkan dengan urutan suami-istri, yang satu jua adanya, tanpa kehilangan identitas diri masing-masing. Keutuhan—yang sekilas paradoksal—adalah dinamika dari realitas empiris yang telah terbuktikan.

Labels: 0 comments | | edit post