Showing posts with label cerpen kompas. Show all posts
Showing posts with label cerpen kompas. Show all posts
Aku
Helvry Sinaga

Aku
Penulis: Adi Zamzam
Gambar:K Nawasanga
Kompas, 26 Agustus 2012

Agak absurd menerjemahkan siapakah aku ini? Tetapi dari uraian-uraian yang disajikan, tokoh yang dinamakan aku ini adalah 'cermin' dari apa yang ada di dunia nyata ini. Sesuatu yang di luar dunia sana memandang ke dunia nyata ini seperti melihat sebuah akuarium. Sesuatu yang sifatnya abstrak namun memiliki kelanjutan hidup yang abadi, sepertinya ia lebih tua dari dunia ini. Siapakah dia? mungkin Ia yang tinggal di hati kita.
Helvry Sinaga

Bagaimana tingkah polah, karakter seseorang pada dasarnya terbentuk dari banyak faktor. Boleh dari masa kecil, lingkungan pendidikan, pembelajaran, pengalaman, atau pengaruh seseorang/tokoh dikagumi. Semua pelajaran tersebut dapat belajar sendiri, maupun belajar dari pengalaman/pengajaran orang lain. Namun, pelajaran yang mungkin harus dialami sendiri oleh masing-masing orang adalah belajar bertanggung jawab. Sebaik apapun materi pelajaran tentang tanggung jawab atau studi kasus yang mencontohkan tanggung jawab, satu-satunya pelajaran yang paling efektif adalah mengalami langsung.

Kapan seseorang harus berlatih bertanggung jawab? sejak dini. Sejak anak-anak diberikan pilihan-pilihan kecil, maka ia harus belajar mengambil konsekwensi atas pilihan-pilihan tersebut. Apa dampaknya jika ia tidak belajar langsung? Rasa empati dan kepedulian akan terkikis dan gersang.

Penulis cukup cerdas menjadikan seragam sebagai identitas yang menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, meski dalam pemaknaan yang berbeda. Pemaknaan yang berakibat pada kepedulian.
Helvry Sinaga
Dua Wajah Ibu
Guntur Alam
Gambar: Mia Diwasasri
Kompas, 4 Agustus 2012

Ketika pertama kali mendengar kata Jakarta, maka dalam benak saya adalah menara TVRI dan pemandangan Indonesia mini dari gantole yang selalu ditayangkan oleh TVRI. Namun, melihat Jakarta sesungguhnya adalah ketika saya menaiki KRL Serpong-Tanah Abang dan melihat dari pintu kereta rumah-rumah darurat yang dibangun di sepanjang rel tak terpakai di Tanah Abang. Rumahnya (lebih tepat disebut kamar) ukurannya sangat kecil. Kalau kereta lewat, atapnya serasa ingin menggores dinding luarnya karena begitu dekat dan rapatnya. Jangan tanyakan bagaimana kehidupan di sana, tentunya jauh dari layak. Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang ada di Kemanggisan. Suatu 'komplek' perumahan yang saya duga dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai tukang ketoprak, tukang mie ayam karena terlihat dari gerobak-gerobak yang banyak di dekatnya. Pertanyaan muncul: Mengapa mereka mau mengadu nasib disini?

Bagaimanapun Jakarta telah berhasil 'menarik' jutaan orang untuk bertarung disini. Gejala apakah itu? saya pikir adalah sebuah ketidakmerataan. Kota-kota besar dihuni oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada baik pekerjaan mapan yang pasti maupun pekerjaan kasar dan tak pasti. Sampai kapan? mungkin sampai tenagapun surut. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah dimilikinya kampung halaman, di mana inspirasi dibangun kembali, hubungan dihangatkan lagi, dan tempat 'pelarian' di kala hiruk pikuk dan kepenatan terasa menghimpit.
Helvry Sinaga
Judul: Tangan Buntung
Penulis: Budi Darma
Gambar: Ipong Purnama Sidhi
Kompas, 29 Juli 2012

Sebuah kritik akan kekuasaan. Anthony Reid merumuskan bahwa salah satu kemunduran pusat-pusat perniagaan di Asia Tenggara terutama di Indonesia adalah sistem kerajaan itu sendiri. Menurut Reid salah satunya adalah kekuasaan Raja yang begitu besar hingga masuk ke ranah perdagangan. Belanda pun dalam melakukan monopoli perdagangan hasil bumi yang dijual di Eropa selalu melakukan penaklukkan atas raja-raja tersebut. Dan raja 'menindas' rakyatnya dengan memerintahkan agar seluruh hasil bumi yang menguntungkan seperti kopi, lada, teh, diserahkan kepada raja untuk kemudian dijual ke VOC.

Salah satu warisan keadaan tersebut ialah ikutnya pemimpin seperti kepala daerah dalam bisnis yang menguntungkan dirinya maupun keluarganya. Karena itu sering dalam pelaksanaannya, proses demokrasi yang memilih pemimpin rakyat adalah jalan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mumpung di atas, mungkin begitu tagline-nya.  Mungkin demikian yang ingin disampaikan oleh Budi Darma melalui cerpen ini. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang sering kali dinamakan sebagai hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan keberpihakan pada wong cilik: tak lebih hanyalah sebagai alat untuk memperlanggeng kekuasaan, alat untuk melegitimasi perbuatan tidak etis, dan ikut-ikutan untuk menunjukkan negara yang punya martabat di dunia. Namun, itu tak lebih atas suatu kepentingan. Kepentingan rakyat? O tentu saja, tapi rakyat partai politik, rakyat pengusaha, rakyat para jenderal, rakyat para politikus. Dan Budi Darma memberi suatu pesan sindiran, bahwa untuk hal-hal tersebut orang-orang tersebut tidak punya rasa malu. Pemimpin bertangan buntung seharusnya memiliki kesadaran lebih, bahwa perilakunya adalah perilaku tercela, tidak pantas dijadikan teladan, dan seharusnya mundurlah dari jabatan tersebut...
Helvry Sinaga

Judul: Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...
Pengarang: Sungging Raga
Gambar: Nasirun
Kompas, 22 Juli 2012

Sebuah kerinduan pada kekasih. Kerinduan pada tempat yang mengingatkan pada perasaan-perasaan indah yang dahulu meluap. Bagaimana kitapun seringkali terpaut pada sesuatu yang indah namun sekarang hilang.  Bagaimanapun senja sering menjadi pengingat yang romantis. Syukur pada senja.

Helvry Sinaga
Judul: Hening di Ujung Senja
Pengarang: Wilson Nadeak

Gambar: I Putu Sudiana Bonuz

Narator cerpen ini menceritakan kesan dari teman-teman yang satu demi sati meninggalkan dunia fana ini. Waktu begitu cepat memakan usia, seakan terjadinya baru kemarin. Jangankan seusia 60 tahun 70 tahun, bertemu dengan teman-teman kecil saya yang sudah menikah dan punya anak, saya merasa baru seperti kemarin bermain sepeda dan main kasti.

Saya jadi merindukan kampung halaman. Kampung bersama teman-temannya. Kembali pada pemaknaan, apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. Apakah hidup ini hanya sekedar lahir, besar, menikah, punya anak cucu, dan mati? Jika Tuhan berkenan, saya akan menjawab pertanyaan ini kelak.

Helvry Sinaga

Judul: Kabut Ibu
Pengarang: Mashdar Zainal
Kompas, 8 Juli 2012
Gambar: Kemal Ezedine

Melihat angka 1965, maka asosiasi kita akan mengarah pada suatu peristiwa yang bagi banyak orang begitu membekas. Membekas luka. Tidak terhitung berapa banyak dampak dari ketidakberadaban manusia pada tahun-tahun mencekam tersebut, termasuk yang dialami oleh ibu sang narator. Selama tidak ada rekonsiliasi, maka bibit kekerasan itu suatu saat akan keluar. Ah..ibu....


Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat

Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.

Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.

Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?
Helvry Sinaga
Judul: Tukang Pijat Keliling
Pengarang: Sulung Pamanggih
Kompas, 1 Juli 2012
Gambar: Endra Kong


Bingung juga memberi komentar atas cerpen ini. Paling tidak tahu apa profesi tukang pijat dan bagaimana perannya di masyarakat. Mungkin hampir mirip dengan tukang pangkas, dimana sering terjadi interaksi antara tukang pijat/pangkas dengan konsumennya. Tukang pijat seperti Darko disini sering berhubungan dengan masyarakat kecil yang memiliki keluhan-keluhan kehidupan yang barangkali tak jauh dari persoalan ekonomi. Masyarakat kecil sudah frustrasi dengan beratnya hidup dan mengabaikan akal sehat. Hal itu menyebabkan mereka menjadi percaya akan ramalan-ramalan membaca nasib, yang diharapkan mampu mengubah hidup mereka.Padahal apakah demikian? seringkali kita bersemangat bekerja jika kita berpikiran positif menjangkau mimpi kita, dan mungkin itulah yang dilakukan Darko, membangun dengan kata-kata.

--------------------------------------------------------


Helvry Sinaga

Judul: Perempuan Balian
Pengarang: Sandi Firly
Gambar: Samuel Indratma
Kompas, 24 Juni 2012

Cerita gaib dari daerah Kalimantan tidak pernah habis. Sekalipun kemodernan yang dibawa oleh perusahaan tambang telah mencapainya, namun masih ditemukan bahwa masyarakat asli tetap mempertahankan budayanya. Saya tidak mengerti apakah profesi "orang pintar" di kalimantan juga dominasi dari laki-laki? tetapi dari cerita ini tampaknya demikian. Permasalahan utama cerita ini adalah ketidakseimbangan yang terjadi akibat ketidakpedulian manusia terhadap alam dan lingkungan. Masyarakat sepertinya menolak kehadiran Idang yang dianggap tidak waras dan membawa kesialan bagi orang kampung, sementara kehadiran perusahaan tambang yang akan merambah hutan mereka tetap dibiarkan.

Helvry Sinaga

Judul: Jack dan Bidadari
Pengarang: Linda Christanty
Kompas, 10 Juni 2012
Gambar: Jendra

Seringkali sifat asli baru kelihatan setelah menjalani hubungan secara dekat. Karena itu, pemahaman yang baik dengan seorang teman dekat akan menyelamatkan diri maupun hubungan tersebut. Hal yang kerap kali diabaikan orang ketika mencari pengganti teman dekat adalah usaha untuk mengenal lebih jauh, baik sifat baik maupun sifat buruknya. Linda memaparkan fenomena tersebut dalam cerita pendek ini. Walau saya sendiri masih berkesan 'gantung' dengan akhir cerita ini, namun pesan yang ingin disampaikan adalah: "teman sejati selalu peduli"

Helvry Sinaga

Judul: Sepasang Mata Malaikat
Pengarang: N Mursidi
Lukisan: Mohammad Ady Nugeraha

Katanya mata adalah jendela jiwa. Dari matalah terpancar kegirangan, keantusiasan, keingintahuan, kegelisahan, kebingungan, keteduhan, kesedihan, dan juga keindahan. Bicara mata juga bicara tentang bahasa. Ada bahasa-bahasa yang tidak terkatakan di sana, namun terceritakan. Tokoh Laki-laki dalam cerita ini sepertinya menyadari bahwa ia diawasi terus menerus. Mulut mungkin bisa bohong tetapi mata sangat sulit.

Ah..mata memang ada dimana-mana....
----------------------------------------
Helvry Sinaga
Judul: Tembiluk
Pengarang: Damhuri Muhammad
Kompas, 27 Mei 2012

Sebuah cerita yang apik. Tidak memerlukan otak yang harus berpikir keras untuk mengerti jalannya cerita. Dengan cepat pembaca mengetahui apa inti ceritanya. Membaca cerita ini, saya mencoba bertanya, apakah masih demikian fenomena di Indonesia ini. Pertama, masihkah di tengah kehadiran agama, masih berlanjut praktek yang 'menguji' kesaktian suatu ilmu? Saya rasa masih mungkin, namun seharusnya tidak seseram di cerita awal. Kedua, apakah di kalangan para pejabat negeri ini masih ada yang mempercayakan kelangsungan jabatannya kepada seseorang yang 'dianggap'?

Persoalan mendasarnya sebenarnya terletak pada manusia itu sendiri, apakah telah didup dengnan berkecukupan?

Helvry Sinaga
Judul: Bu Geni di Bulan Desember
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Kompas, 24 Mei 2012

Profesi yang paling dicari ketika akan mengadakan pesta pernikahan barangkali ada dua. Pertama, petugas pencatatan sipil, kedua adalah perias pengantin.
Petugas pencatatan sipil akan datang ketika akan dilangsungkan akad atau pemberkatan, sementara juru rias bertugas sebelum pesta pernikahan dan dimulai dari jam-jam subuh.

Kisah Bu Geni ini menjadi potret sebuah profesi yang jarang diulas orang, namun menjadi bagian penting dalam ritual terbesar seorang manusia. Pekerjaan merias pengantin mungkin tidak begitu populer seperti jasa-jasa prewedding atau wedding organizer, namun orang seperti Bu Geni ini ternyata ada di masyarakat. Pekerjaannya biasa, namun ucapan-ucapan Bu Geni, seolah menyadarkan apa sebenarnya hakikat pernikahan, saya menilai Bu Geni sepertinya lebih tepat menjadi sebagai konsultan pranikah.

Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan

”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”

Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”


Namun, yang saya tidak mengerti, ada apa di Bulan Desember?

-----------------------------------------------------------------------

Helvry Sinaga
Judul: Mengenang Kota Hilang
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012

Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut

Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.

MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.

SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.

MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.

ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.

MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.

DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.

----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!

Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?

Helvry Sinaga
Judul: Di Persimpangan Pantura
Penulis: Tantri Pranash
Link: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/12/11/di-persimpangan-pantura/

Sepertinya tempat itu yang saya perhatikan ketika berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan bis malam. Di sepanjang jalan pantura terdapat warung-warung yang isinya kebanyakan adalah wanita yang digambarkan dalam cerpen ini yaitu bergincu dan berbusana bahu terbuka.

Dalam cerpen ini diceritakan dari sisi perempuan yang menjalani profesi tersebut. Kita tidak tahu apa yang menjadi motifnya namun kebanyakan dikarenakan faktor ekonomi. Menurut tulisan dari artikel ini keadaan tersebut begitu umum di Kabupaten Subang, namun keadaan tersebut sulit untuk ditertibkan dikarenakan mendapat dukungan dari masyarakat.

Dari cerpen ini dapat kita ketahui bahwa keadaan ekonomi para penjaja cinta ini tidak jauh berbeda dengan kita. Mereka juga diliputi banyak masalah, terutama kemiskinan. Pilihan mereka tinggal menjadi seperti itu, atau menjadi buruh tani, atau kasarnya: mati.

Membuat mereka berbalik dari pekerjaannya adalah sesuatu hal yang sulit. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan pendidikan pada ibu muda, dan para wanita di desa untuk mengembangkan diri mereka. Walaupun tidak menuntaskan, tetapi paling tidak akan mengurangi jumlah input ke profesi itu.

Helvry Sinaga
Judul: Lukisan Kematian
Pengarang: Andhy Kh
Kompas, 21 Agustus 2011
sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/21/lukisan-kematian/

Kapan kita mati, kita tak pernah tahu. Dalam cerpen ini ada satu hal yang bisa digali dari pelukis, bahwa ia memimpikan bertemu dengan ibunya. Ia membuat gambaran ibunya dengan melukiskannya di lukisannya. Satu hal yang saya syukuri bahwa saya masih bisa melihat kedua orangtua saya.

Dari segi cerita, menurut saya agak hambar. Terlalu fiksi dan tidak menimbulkan cara berpikir yang logis. Namun satu pesan dari sang pelukis adalah bahwa cara ia mengunjungi pusara bapaknya adalah dengan menggambar lukisannya.

Helvry Sinaga
Judul: “Pakiah” dari Pariangan
Pengarang: Gus tf sakai
Kompas, 28 Agustus 2011
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/28/pakiah-dari-pariangan/

Cerpen yang membingungkan saya. Mungkin karena saya tidak berlatar belakang sumatra barat, jadi agak susah mencerna cerpen Gus tf sakai ini. Bercerita tentang sebuah tradisi silat yang tadinya adalah wibawa kebanggan karena bisa bertarung di sumatra barat, namun berubah menjadi pertunjukan. sebuah pemikiran positif tentang siapa itu pakiah-yang kemudian digambarkan:

Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.

Pakia bukan sekedar bisa bertarung dengan kemampuan silat, tetapi juga menunjukkan keteladan berupa kerendahan hati.

Helvry Sinaga
Judul: Terbukalah
Pengarang: Fransisca Dewi Ria Utari
Kompas, 13 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/07/terbukalah/

Ada suatu bagian dalam hidup yang ditempati oleh pengalaman. Pengalaman itu tidak akan diperoleh atau tidak akan dirasakan bila tidak ada usaha aktif. Bila masa telah berlalu, merenungkan pengalaman entah itu bahagia atau sedih adalah proses kita menuju kebijaksanaan.

Narator menceritakan pengalamannya bersama pria idaman hatinya. Dewi Ria Utari menulis sangat baik pada saat menggambarkan suasana kencan pertama kali mereka di taman.

Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.

Toh ketertarikan narator bukan pada tamannya. Kembali pada siapa manusianya. Tempat hanyalah mediasi kasih disampaikan dan dikomunikasikan. Dan narator merasa perlu mengunjungi taman itu untuk menemukan kembali apa yang hilang dari prianya, yaitu matanya.

sumber: http://jhonrhonda.blogspot.com/2009/11/lelaki-tua-di-bangku-taman.html
Helvry Sinaga
Judul: Hujan yang Indah
Pengarang: Kurnia JR
Kompas, 14 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/14/hujan-yang-indah/

Setiap orang punya cara unik menikmati hujan. si penulis menggambarkan hujan sebagai berikut:

Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.


Saya sendiri memaknai hujan tergantung rumah kontrakan. Di Slipi, saya selalu berharap supaaya hujan jngan terlalu lama, sebab atap rumah kontrakan kami bocor. Berkali-kali sudah datang ke pemilik rumah, namun tidak ada tindak lanjut. Sekarang lebih mendingan, walau deg-degan kalau hujan tak berhenti.

Saya hanya membayangkan menyaksikan hujan dari balik ruangan kaca. saya membayangkan melihat titik-titik air mencoba menerobos kaca meninggalkan jejak-jejak air. Atau duduk di beranda rumah menyaksikan tetesan air dan menghujam ke bumi meninggalkan bau tanah yang harum.

Membayangkan terjadinya hujan bagi saya waktu kecil adalah imajinasi unik. Saya membayangkan di atas sana (merujuk pada surga), lantai surga itu dibolongi sebesar paku. Lalu para malaikat menumpahkan air dari ember lewat bolongan tadi. Itulah yang menjadi hujan di bumi.

Bagaimana memaknai hujan, saya tidak seperti pengarang cerpen ini melihat keindahan hujan. Walau terkesan agak berlebihan, kemungkinan ia penggemar hujan. Sebenarnya hujan bisa dinikmati, dan cara menikmatinya itu indah. Saya membayangkan dari teras belakang rumah saya sembari memandang sawah yang hijau dijatuhi air. Batang padi meliuk sesuai arah angin, dan anak gadis di rumah pojok bersegera membawa pakaian di jemuran.

Namun tidak perlu sampai jadi kakek-kakek untuk menceritakan keindahan hujan seperti pada cerpen ini. Justru itu membuat hilangnya keindahan cerpen ini.

Bagaimana dengan Anda?