Helvry Sinaga
sumber: kompas 25 april 2012

Seumur-umur di Jakarta, saya belum pernah dan tidak akan berani naik ke atap kereta. Kenapa? saya takut. Beberapa kejadian yang saya alami selama naik kereta antara lain:
1. Kantong celana digerayangin, untung dompet sudah diselamatkan, tetapi sapu tangan saya ikut raib.
2. Pernah menyaksikan satu orang ditangkap penumpang lain karena ketahuan sebagai copet. Orang tersebut dipukuli dan ditendang dan bahkan diancam mau dilempar dari kereta yang sedang berjalan.
3. Berdiri di pintu kereta dengan berpegangan pada salah satu besi penyangga dimana penumpang begitu padatnya, sampai saya terdesak. Sekali pegangan saya terlepas, maka saya akan terlempar. Karena itu saya bertahan mati-matian seraya berharap stasiun terdekat segera tiba. Sampai di stasiun tangan saya gemetar luar biasa. Thank Lord.
4. Pada suatu ketika kereta sedang padat, saya mengobrol dengan teman saya dengan posisi tas ransel di depan. Kami berdua mengobrol sampai stasiun, dan ternyata sampai dii kosan, hp dan dompet teman saya telah hilang dari tas ranselnya akibat disobek dengan cutter. How come? nggak tahu.
5. Akibat menunggu kereta yang cukup lama (pada saat itu masih satu jalur serpong-tanah abang), datanglah kereta barang yang membawa batubara. Saya ikutan naik dan berdiri di antara sambungan gerbong. Don't try sodara-sodara, tidak enak!

Dan kejadian-kejadian lain yang mungkin dirasakan para pengguna moda transportasi ini. Lalu siapa yang dituntut? PT KAI? mereka sudah terlalu lelah untuk menerima cacian dan makian. Saya terinspirasi dengan salah seorang rektor universitas swasta terkemuka yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan kereta api adalah ia memiliki semua infrastruktur, sehingga kurang fokus pada pelayanannya. Ambil contoh jalan tol cipularang. Jalan tol yang mengelola beda, yang melintas disitu diminta bayaran. Sama dengan kereta, KAI punya rel, tawarkan aja ke swasta pengelolaan kereta dan stasiun, biar KAI fokus pada rel. Pasti ada konsekwensi, tetapi paling tidak akan mengurangi biaya pengelolaan kedua infrastruktur tersebut, saya yakin penumpang bersedia membayar lebih asal kualitasnya lebih bagus daripada sebelumnya, dan pasti efisiensi transportasi kita akan meningkat.

semoga kenekatan seperti foto di atas tidak akan terjadi lagi

*kerjaan stress siang-siang kelaperan*

helvry | 25 april 2012



Helvry Sinaga
Seberapa sering kita membuka kamus untuk mencari makna kata?
kadang merasa terlalu pintar untuk memberi suatu arti yang seringkali tidak pada ranahnya.
Percayalah kita bertambah bijak jika mau membuka kamus :)
buatlah kamus ceritamu

helvry | 21 April 2012
Helvry Sinaga

Hampir setiap hari hujan menyapa. Ada suatu kenikmatan tersendiri menikmati rintik hujan dalam kehangatan rumah. Pada satu artikel saya membaca bagaimana memperoleh gambar ciamik dari sebuah hujan, namun dengan tetap menjaga agar kamera tidak kebasahan.
Gambar di atas dari sebuah taman, pas selesai hujan. Masih jauh dari imajinasi saya. Masih belajar lagi.
EOS 550D
1/50
f/5.6
ISO 100
Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Indah Alam Semesta (berdasarkan Mazmur 8:4-10)
Lagu: Tulus TSA Gultom, SE
Syair dan Aransemen: Bonar Gultom (GORGA) Tahun 1995





Posted by Picasa
helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga

Pada sebuah jalan...
ada barisan penyangga yang melindungi
Pada sebuah jalan...
ada persimpangan yang mengelabui
Pada sebuah jalan...
ada setitik sinar yang berdiri
Pada sebuah jalan
ada kedamaian menghampiri

helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga
Judul: Di Persimpangan Pantura
Penulis: Tantri Pranash
Link: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/12/11/di-persimpangan-pantura/

Sepertinya tempat itu yang saya perhatikan ketika berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan bis malam. Di sepanjang jalan pantura terdapat warung-warung yang isinya kebanyakan adalah wanita yang digambarkan dalam cerpen ini yaitu bergincu dan berbusana bahu terbuka.

Dalam cerpen ini diceritakan dari sisi perempuan yang menjalani profesi tersebut. Kita tidak tahu apa yang menjadi motifnya namun kebanyakan dikarenakan faktor ekonomi. Menurut tulisan dari artikel ini keadaan tersebut begitu umum di Kabupaten Subang, namun keadaan tersebut sulit untuk ditertibkan dikarenakan mendapat dukungan dari masyarakat.

Dari cerpen ini dapat kita ketahui bahwa keadaan ekonomi para penjaja cinta ini tidak jauh berbeda dengan kita. Mereka juga diliputi banyak masalah, terutama kemiskinan. Pilihan mereka tinggal menjadi seperti itu, atau menjadi buruh tani, atau kasarnya: mati.

Membuat mereka berbalik dari pekerjaannya adalah sesuatu hal yang sulit. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan pendidikan pada ibu muda, dan para wanita di desa untuk mengembangkan diri mereka. Walaupun tidak menuntaskan, tetapi paling tidak akan mengurangi jumlah input ke profesi itu.

Helvry Sinaga
Judul: Lukisan Kematian
Pengarang: Andhy Kh
Kompas, 21 Agustus 2011
sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/21/lukisan-kematian/

Kapan kita mati, kita tak pernah tahu. Dalam cerpen ini ada satu hal yang bisa digali dari pelukis, bahwa ia memimpikan bertemu dengan ibunya. Ia membuat gambaran ibunya dengan melukiskannya di lukisannya. Satu hal yang saya syukuri bahwa saya masih bisa melihat kedua orangtua saya.

Dari segi cerita, menurut saya agak hambar. Terlalu fiksi dan tidak menimbulkan cara berpikir yang logis. Namun satu pesan dari sang pelukis adalah bahwa cara ia mengunjungi pusara bapaknya adalah dengan menggambar lukisannya.

Helvry Sinaga
Judul: “Pakiah” dari Pariangan
Pengarang: Gus tf sakai
Kompas, 28 Agustus 2011
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/28/pakiah-dari-pariangan/

Cerpen yang membingungkan saya. Mungkin karena saya tidak berlatar belakang sumatra barat, jadi agak susah mencerna cerpen Gus tf sakai ini. Bercerita tentang sebuah tradisi silat yang tadinya adalah wibawa kebanggan karena bisa bertarung di sumatra barat, namun berubah menjadi pertunjukan. sebuah pemikiran positif tentang siapa itu pakiah-yang kemudian digambarkan:

Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.

Pakia bukan sekedar bisa bertarung dengan kemampuan silat, tetapi juga menunjukkan keteladan berupa kerendahan hati.

Helvry Sinaga
Judul: Terbukalah
Pengarang: Fransisca Dewi Ria Utari
Kompas, 13 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/07/terbukalah/

Ada suatu bagian dalam hidup yang ditempati oleh pengalaman. Pengalaman itu tidak akan diperoleh atau tidak akan dirasakan bila tidak ada usaha aktif. Bila masa telah berlalu, merenungkan pengalaman entah itu bahagia atau sedih adalah proses kita menuju kebijaksanaan.

Narator menceritakan pengalamannya bersama pria idaman hatinya. Dewi Ria Utari menulis sangat baik pada saat menggambarkan suasana kencan pertama kali mereka di taman.

Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.

Toh ketertarikan narator bukan pada tamannya. Kembali pada siapa manusianya. Tempat hanyalah mediasi kasih disampaikan dan dikomunikasikan. Dan narator merasa perlu mengunjungi taman itu untuk menemukan kembali apa yang hilang dari prianya, yaitu matanya.

sumber: http://jhonrhonda.blogspot.com/2009/11/lelaki-tua-di-bangku-taman.html
Helvry Sinaga
Judul: Hujan yang Indah
Pengarang: Kurnia JR
Kompas, 14 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/14/hujan-yang-indah/

Setiap orang punya cara unik menikmati hujan. si penulis menggambarkan hujan sebagai berikut:

Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.


Saya sendiri memaknai hujan tergantung rumah kontrakan. Di Slipi, saya selalu berharap supaaya hujan jngan terlalu lama, sebab atap rumah kontrakan kami bocor. Berkali-kali sudah datang ke pemilik rumah, namun tidak ada tindak lanjut. Sekarang lebih mendingan, walau deg-degan kalau hujan tak berhenti.

Saya hanya membayangkan menyaksikan hujan dari balik ruangan kaca. saya membayangkan melihat titik-titik air mencoba menerobos kaca meninggalkan jejak-jejak air. Atau duduk di beranda rumah menyaksikan tetesan air dan menghujam ke bumi meninggalkan bau tanah yang harum.

Membayangkan terjadinya hujan bagi saya waktu kecil adalah imajinasi unik. Saya membayangkan di atas sana (merujuk pada surga), lantai surga itu dibolongi sebesar paku. Lalu para malaikat menumpahkan air dari ember lewat bolongan tadi. Itulah yang menjadi hujan di bumi.

Bagaimana memaknai hujan, saya tidak seperti pengarang cerpen ini melihat keindahan hujan. Walau terkesan agak berlebihan, kemungkinan ia penggemar hujan. Sebenarnya hujan bisa dinikmati, dan cara menikmatinya itu indah. Saya membayangkan dari teras belakang rumah saya sembari memandang sawah yang hijau dijatuhi air. Batang padi meliuk sesuai arah angin, dan anak gadis di rumah pojok bersegera membawa pakaian di jemuran.

Namun tidak perlu sampai jadi kakek-kakek untuk menceritakan keindahan hujan seperti pada cerpen ini. Justru itu membuat hilangnya keindahan cerpen ini.

Bagaimana dengan Anda?