Helvry Sinaga
Judul: Bu Geni di Bulan Desember
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Kompas, 24 Mei 2012

Profesi yang paling dicari ketika akan mengadakan pesta pernikahan barangkali ada dua. Pertama, petugas pencatatan sipil, kedua adalah perias pengantin.
Petugas pencatatan sipil akan datang ketika akan dilangsungkan akad atau pemberkatan, sementara juru rias bertugas sebelum pesta pernikahan dan dimulai dari jam-jam subuh.

Kisah Bu Geni ini menjadi potret sebuah profesi yang jarang diulas orang, namun menjadi bagian penting dalam ritual terbesar seorang manusia. Pekerjaan merias pengantin mungkin tidak begitu populer seperti jasa-jasa prewedding atau wedding organizer, namun orang seperti Bu Geni ini ternyata ada di masyarakat. Pekerjaannya biasa, namun ucapan-ucapan Bu Geni, seolah menyadarkan apa sebenarnya hakikat pernikahan, saya menilai Bu Geni sepertinya lebih tepat menjadi sebagai konsultan pranikah.

Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan

”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”

Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”


Namun, yang saya tidak mengerti, ada apa di Bulan Desember?

-----------------------------------------------------------------------

Helvry Sinaga
Judul: Mengenang Kota Hilang
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012

Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut

Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.

MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.

SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.

MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.

ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.

MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.

DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.

----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!

Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?

Helvry Sinaga
sumber: Headline Kompas Minggu, 13 Mei 2012

Sudah hampir seminggu kejadian naas Pesawat Sukhoi Superjet 100 membahana. Temuan tim SAR di lapangan menunjukkan bahwa kondisi pesawat serta penumpangnya dalam keadaan hancur. Optimisme keluarga korban pun berubah dari harapan menjadi kepasrahan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi di dalam pesawat terutama di kokpit ketika kejadian itu. Yang ada dalam benak saya adalah: apakah pilot dan team tidak melakukan pengenalan lokasi terlebih dahulu? Mungkin jauh dari apa yang saya kira, namun fakta menunjukkan bahwa sang pilot baru pertama kali mengudara di wilayah Gunung Salak.

Saatnya bukan lagi mencari tahu siapa yang salah. Tetapi bahu membahu untuk menemukan jenazah korban agar dikembalikan kepada keluarga untuk dimakamkan secara kemanusiaan. Saya hanya bisa mengucapkan turut berbela sungkawa pada keluarga korban. Semoga diberi ketabahan dan kekuatan dari Sang Khalik. Suatu saat pasti akan bertemu dalam keabadian. Kepada tim evakuasi saya berdoa semoga diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan tugas melakukan evakuasi. Di lapangan ada 1000-an orang lebih bekerja sama untuk menaklukkan medan dan mengevakuasi jenazah maupun serpihan badan pesawat.

Dari kesaksian keluarga korban, saya dapat mengamati bahwa bermacam latar belakang pengalaman penumpang menaiki pesawat. Ada yang sudah sangat berpengalaman seperti Capt. Gatot Purwoko, seorang pilot yang juga penggemar kuliner. Ia adalah anggota milis Jalansutra yang sangat rajin menulis di mailing list. Bila melakukan pencarian dengan author Gatot Purwoko, maka terdapat sekitar 1800-an hasil postingan beliau. Dan inilah postingan terakhirnya di milis jalansutra (6 April 2012).


Dan saya rasa, semua dari penumpang Sukhoi tersebut meninggalkan kesan mendalam pada orang-orang dekatnya, dan menjadikan kenangan sebagai bagian dari sisa hidup di dunia.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hidup itu penuh risiko dan singkat. Mari menghargainya dengan perbuatan baik. Selebihnya, hanya kepadaNyalah kita berpasrah.


helvry sinaga | 13 Mei 2012
Helvry Sinaga


Give Me Strength
This is my prayer to thee, my lord---strike,
strike at the root of penury in my heart.
Give me the strength lightly to bear my joys and sorrows.
Give me the strength to make my love fruitful in service.
Give me the strength never to disown the poor
or bend my knees before insolent might.
Give me the strength to raise my mind high above daily trifles.
And give me the strength to surrender my strength to thy will with love.


Rabindranath Tagore from Bengali
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
sumber: kompas 25 april 2012

Seumur-umur di Jakarta, saya belum pernah dan tidak akan berani naik ke atap kereta. Kenapa? saya takut. Beberapa kejadian yang saya alami selama naik kereta antara lain:
1. Kantong celana digerayangin, untung dompet sudah diselamatkan, tetapi sapu tangan saya ikut raib.
2. Pernah menyaksikan satu orang ditangkap penumpang lain karena ketahuan sebagai copet. Orang tersebut dipukuli dan ditendang dan bahkan diancam mau dilempar dari kereta yang sedang berjalan.
3. Berdiri di pintu kereta dengan berpegangan pada salah satu besi penyangga dimana penumpang begitu padatnya, sampai saya terdesak. Sekali pegangan saya terlepas, maka saya akan terlempar. Karena itu saya bertahan mati-matian seraya berharap stasiun terdekat segera tiba. Sampai di stasiun tangan saya gemetar luar biasa. Thank Lord.
4. Pada suatu ketika kereta sedang padat, saya mengobrol dengan teman saya dengan posisi tas ransel di depan. Kami berdua mengobrol sampai stasiun, dan ternyata sampai dii kosan, hp dan dompet teman saya telah hilang dari tas ranselnya akibat disobek dengan cutter. How come? nggak tahu.
5. Akibat menunggu kereta yang cukup lama (pada saat itu masih satu jalur serpong-tanah abang), datanglah kereta barang yang membawa batubara. Saya ikutan naik dan berdiri di antara sambungan gerbong. Don't try sodara-sodara, tidak enak!

Dan kejadian-kejadian lain yang mungkin dirasakan para pengguna moda transportasi ini. Lalu siapa yang dituntut? PT KAI? mereka sudah terlalu lelah untuk menerima cacian dan makian. Saya terinspirasi dengan salah seorang rektor universitas swasta terkemuka yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan kereta api adalah ia memiliki semua infrastruktur, sehingga kurang fokus pada pelayanannya. Ambil contoh jalan tol cipularang. Jalan tol yang mengelola beda, yang melintas disitu diminta bayaran. Sama dengan kereta, KAI punya rel, tawarkan aja ke swasta pengelolaan kereta dan stasiun, biar KAI fokus pada rel. Pasti ada konsekwensi, tetapi paling tidak akan mengurangi biaya pengelolaan kedua infrastruktur tersebut, saya yakin penumpang bersedia membayar lebih asal kualitasnya lebih bagus daripada sebelumnya, dan pasti efisiensi transportasi kita akan meningkat.

semoga kenekatan seperti foto di atas tidak akan terjadi lagi

*kerjaan stress siang-siang kelaperan*

helvry | 25 april 2012



Helvry Sinaga
Seberapa sering kita membuka kamus untuk mencari makna kata?
kadang merasa terlalu pintar untuk memberi suatu arti yang seringkali tidak pada ranahnya.
Percayalah kita bertambah bijak jika mau membuka kamus :)
buatlah kamus ceritamu

helvry | 21 April 2012
Helvry Sinaga

Hampir setiap hari hujan menyapa. Ada suatu kenikmatan tersendiri menikmati rintik hujan dalam kehangatan rumah. Pada satu artikel saya membaca bagaimana memperoleh gambar ciamik dari sebuah hujan, namun dengan tetap menjaga agar kamera tidak kebasahan.
Gambar di atas dari sebuah taman, pas selesai hujan. Masih jauh dari imajinasi saya. Masih belajar lagi.
EOS 550D
1/50
f/5.6
ISO 100
Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Indah Alam Semesta (berdasarkan Mazmur 8:4-10)
Lagu: Tulus TSA Gultom, SE
Syair dan Aransemen: Bonar Gultom (GORGA) Tahun 1995





Posted by Picasa
helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga

Pada sebuah jalan...
ada barisan penyangga yang melindungi
Pada sebuah jalan...
ada persimpangan yang mengelabui
Pada sebuah jalan...
ada setitik sinar yang berdiri
Pada sebuah jalan
ada kedamaian menghampiri

helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga
Judul: Di Persimpangan Pantura
Penulis: Tantri Pranash
Link: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/12/11/di-persimpangan-pantura/

Sepertinya tempat itu yang saya perhatikan ketika berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan bis malam. Di sepanjang jalan pantura terdapat warung-warung yang isinya kebanyakan adalah wanita yang digambarkan dalam cerpen ini yaitu bergincu dan berbusana bahu terbuka.

Dalam cerpen ini diceritakan dari sisi perempuan yang menjalani profesi tersebut. Kita tidak tahu apa yang menjadi motifnya namun kebanyakan dikarenakan faktor ekonomi. Menurut tulisan dari artikel ini keadaan tersebut begitu umum di Kabupaten Subang, namun keadaan tersebut sulit untuk ditertibkan dikarenakan mendapat dukungan dari masyarakat.

Dari cerpen ini dapat kita ketahui bahwa keadaan ekonomi para penjaja cinta ini tidak jauh berbeda dengan kita. Mereka juga diliputi banyak masalah, terutama kemiskinan. Pilihan mereka tinggal menjadi seperti itu, atau menjadi buruh tani, atau kasarnya: mati.

Membuat mereka berbalik dari pekerjaannya adalah sesuatu hal yang sulit. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan pendidikan pada ibu muda, dan para wanita di desa untuk mengembangkan diri mereka. Walaupun tidak menuntaskan, tetapi paling tidak akan mengurangi jumlah input ke profesi itu.