Helvry Sinaga
Mendialogkan Gawatnya Perbukuan Nasional
Oleh Alfons Taryadi
Kompas, 23 Juli 2012

Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu.

Ajip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.

Suatu hari, tahun 1998, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi, saya mendampingi Arselan Harahap (Ketua Umum Ikapi 1998-2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan perbukuan nasional.

Ketika kami baru menceritakan kondisi perbukuan negara tetangga, sang pejabat langsung memotong. ”Saya tak suka membandingkan Indonesia dengan negeri lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan menuduh pemerintah kurang ini kurang itu.”

Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud Prof Dr Wardiman Djojonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke negara tetangga.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Remy Sylado (67) seperti tak pernah berhenti.

Ia menghasilkan tak kurang dari 300-an karya, yang ia harap memberi pengharapan dan penghiburan kepada pembaca. ”Kalau sekadar senang sendiri, itu bukan hiburan. Dan hiburan itu bukan dosa. Justru bagaimana membuat karya sastra itu karya yang menghibur,” katanya.

Remy memiliki wawasan kepenulisan yang sangat lebar. Bukan hanya novel dan puisi, ia kini juga tengah menyiapkan buku 123 ayat tentang kesenian. Ia menulis tentang sastra, seni rupa, musik, film, dan teater. Ia bahkan pernah menulis tentang teologi, kamus, dan ensiklopedia.

Dalam setahun, Remy menghasilkan dua sampai tiga novel.

Dalam satu ruang dan waktu, Remy bisa bekerja simultan menggarap tiga novel sekaligus. Untuk itu, dia bekerja menggunakan tiga mesin tik yang berbeda. ”Selalu pakai mesin tik dan tip-eks, ha-ha...,” kata Remy di rumahnya di Cikarawang, Dramaga, Bogor, Juni lalu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Rokok dan Wong Cilik

Badrul Munir

Rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau mendapat tantangan keras dari buruh-petani tembakau dan kalangan industri rokok di beberapa daerah.

Dengan adanya (rancangan) PP baru ini, mereka khawatir akan kehilangan mata pencarian. Angka pengangguran pun dikhawatirkan melonjak, terutama untuk masyarakat golongan rendah yang selama ini tergantung dari industri tembakau, seperti buruh tembakau, buruh pabrik rokok, petani, pengecer rokok, dan masyarakat kecil lainnya.

Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Hening di Ujung Senja
Pengarang: Wilson Nadeak

Gambar: I Putu Sudiana Bonuz

Narator cerpen ini menceritakan kesan dari teman-teman yang satu demi sati meninggalkan dunia fana ini. Waktu begitu cepat memakan usia, seakan terjadinya baru kemarin. Jangankan seusia 60 tahun 70 tahun, bertemu dengan teman-teman kecil saya yang sudah menikah dan punya anak, saya merasa baru seperti kemarin bermain sepeda dan main kasti.

Saya jadi merindukan kampung halaman. Kampung bersama teman-temannya. Kembali pada pemaknaan, apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. Apakah hidup ini hanya sekedar lahir, besar, menikah, punya anak cucu, dan mati? Jika Tuhan berkenan, saya akan menjawab pertanyaan ini kelak.

Helvry Sinaga


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Upaya memanusiakan dan mengangkat martabat orang miskin tak cukup dengan khotbah di gereja. Charles Patrick Edward Burrows OMI atau Romo Carolus (70) membumikan teologi inklusif dengan karya pastoral secara nyata di tengah masyarakat miskin dan termiskin selama 38 tahun lebih. Maria Hartiningsih
Romo Carolus menyampaikan keutamaan spiritualitas untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin tanpa memandang latar belakang agama, suku, etnis, gender, atau apa pun.
”Mereka adalah saudara saya, apa pun latar belakangnya. Lewat mereka saya bertemu Tuhan,” ujarnya, ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya mau fokus mencintai, bukan sesama Katolik, tetapi sesama manusia.”
Romo Carolus bersama Ahmad Bahruddin (47) dari Salatiga, Jawa Tengah, pendiri Paguyuban Serikat Petani Qoryah Thayyibah, pendiri serta pengasuh Kelompok Belajar Qoryah Thayyibah, dianugerahi Maarif Award for Humanity 2012.
Penghargaan yang diprakarsai Maarif Institute sejak tahun 2007 itu terfokus pada inisiatif-inisiatif pemimpin nonformal di tingkat lokal yang secara nyata dan konsisten berkarya untuk sesama dalam semangat kebinekaan, keterbukaan, dan kebersamaan.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Judul: Kabut Ibu
Pengarang: Mashdar Zainal
Kompas, 8 Juli 2012
Gambar: Kemal Ezedine

Melihat angka 1965, maka asosiasi kita akan mengarah pada suatu peristiwa yang bagi banyak orang begitu membekas. Membekas luka. Tidak terhitung berapa banyak dampak dari ketidakberadaban manusia pada tahun-tahun mencekam tersebut, termasuk yang dialami oleh ibu sang narator. Selama tidak ada rekonsiliasi, maka bibit kekerasan itu suatu saat akan keluar. Ah..ibu....


Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat

Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.

Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.

Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?
Helvry Sinaga
Judul: Tukang Pijat Keliling
Pengarang: Sulung Pamanggih
Kompas, 1 Juli 2012
Gambar: Endra Kong


Bingung juga memberi komentar atas cerpen ini. Paling tidak tahu apa profesi tukang pijat dan bagaimana perannya di masyarakat. Mungkin hampir mirip dengan tukang pangkas, dimana sering terjadi interaksi antara tukang pijat/pangkas dengan konsumennya. Tukang pijat seperti Darko disini sering berhubungan dengan masyarakat kecil yang memiliki keluhan-keluhan kehidupan yang barangkali tak jauh dari persoalan ekonomi. Masyarakat kecil sudah frustrasi dengan beratnya hidup dan mengabaikan akal sehat. Hal itu menyebabkan mereka menjadi percaya akan ramalan-ramalan membaca nasib, yang diharapkan mampu mengubah hidup mereka.Padahal apakah demikian? seringkali kita bersemangat bekerja jika kita berpikiran positif menjangkau mimpi kita, dan mungkin itulah yang dilakukan Darko, membangun dengan kata-kata.

--------------------------------------------------------


Helvry Sinaga
Misteri Bola Bundar
Sindhunata

Sebentar lagi usai sudah Piala Eropa 2012. Segala kegembiraan dan harapan tertumpah di sana. Namun, di sana pula tercurah air mata dan duka. Enam belas kesebelasan memperebutkan bola, hanya satu yang mendapat piala. Betapa sia-sia rasanya segala usaha.

Namun, mau apa, itulah bola. Di dalamnya tersimpan keringat, air mata, harapan, sukacita, berkah, dan celaka. Bola tak ubahnya dunia, tempat segalanya bisa diraih, tetapi juga tempat segala kegagalan bisa terjadi.

Itulah sebabnya, bola itu bundar. Maka, kata penyair Peter Handke, ”Seperti semua yang bundar, sepak bola adalah gambaran bagi ketidakpastian, keberuntungan, dan masa depan.”

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Buku-buku Laris Manis, Selarik Cerita Berbeda

Suhartono

Hari pertama di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 24 tahun lampau, Ahmad Fuadi (39) terkejut dengan kata-kata man jadda wajada yang diteriakkan seorang guru saat mengajar dalam bahasa Arab.

Kata-kata itu kemudian diikuti para santri setiap pelajaran tersebut.

Fuadi yang kini dikenal sebagai penulis novel terlaris Negeri 5 Menara memiliki kenangan peristiwa itu. ”Seru juga waktu pertama kali diteriakkan man jadda wajada. Sebab, itu hal baru dan kita harus mengulang-ulang teriakannya. Waktu itu kita belum tahu apa artinya, sampai kemudian dijelaskan oleh guru,” ungkap Fuadi kepada Kompas, Rabu (27/6).