Helvry Sinaga

Legasi Intelektual

Oleh: SUWIDI TONO

Bagiku, pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, cuma siap bekerja dan dipekerjakan sebagai ahli bayaran.”

Sindiran Profesor Soetandyo Wignjosoebroto ini dicetuskannya lagi saat berbicara pada diskusi Forum ”Menjadi Indonesia”, di Jakarta, 19 Mei lalu, bertajuk ”Kemiskinan Karakter Bangsa”. Beberapa bulan sebelum wafat, ia juga menulis di Facebook: ”Mengapa aku merasa aneh dan asing di kampus? Pembicaraan di mana-mana kok hanya menyangkut pekerjaan teknis, bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan. Apakah kampus lain juga begitu?”

Kemasygulan Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Airlangga itu menyegarkan kembali kekhawatiran Julien Benda tentang the betrayal of intellectual, pengkhianatan kaum intelektual. Di sini, pesan Albert Einstein (1938) ketika revolusi industri bergemuruh melanda Eropa dan Amerika menjadi relevan: ”Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, agar buah ciptaan pemikiran kita merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan”.
Ruh yang tergadai
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Malam Hujan Bulan Desember

Oleh: Guntur Alam
Kompas, 15 September 2013

Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan turun dengan deras. Aku ingat, itu bulan Desember, karena lonceng dan kidung Natal bergema dari gereja sebelah kontrakan kami. Tak ada yang mendengar jeritan Ibu. Gemuruh hujan menenggelamkannya.

Aku tak tahu, apa alasan yang membuat Ayah berbuat sekejam itu. Dari pertengkaran mereka, akulah biang keladinya. Dari dulu, Ibu memang selalu bercerita, kalau Ayah tak menyukaiku. Aku tak tahu kenapa.

Aku juga tidak tahu, siapa nama ayahku. Karena sejak aku lahir, kami baru bertemu malam itu. Kusebut saja namanya Joe. Ibuku bernama Maria (bukan nama sebenarnya). Kami tinggal di Kota J. Kota tempat orang-orang datang mengadu nasib, kata Ibu.

Mulanya, Ibu juga membenciku. Kutahu itu dari setiap cerita yang dia uraikan padaku. Pelbagai cara sudah Ibu lakukan agar aku mati saat di dalam kandungannya. Dari mulai Ibu mengkonsumsi jamu-jamu penggugur kandungan, makan nanas muda, loncat-loncat, naik turun tangga, bahkan Ibu pernah beberapa kali memukul-mukul perutnya dengan keras.

”Tapi kau tetap bertahan di dalam sana. Kau berpegang semakin kuat dan kokoh. Hingga aku luluh,” desisnya setiap kami bertatap mata. ”Kau seolah berkata bahwa kau ingin hidup. Jadi aku membiarkan kau hidup. Aku berhenti berusaha membunuhmu.”

Aku hanya menjawab cerita Ibu dengan kerjapan mata saja. Lalu tersenyum. Aku tak ingin bertanya, apa alasannya ingin membunuhku? Aku juga tak ingin menyalahkannya. Setiap melihatku seperti itu, air mata Ibu akan terburai, kemudian dia akan memelukku dengan lembut. Mengecup keningku dan pada akhirnya akan kembali menangis tanpa suara. Aku akan membiarkan Ibu menuntaskan tangisnya. Pelan-pelan kubalas pelukannya.
Helvry Sinaga

Benny Arnas

Entah bagaimana Maisarah harus marah pada hujan deras yang turun di pengujung Ramadan itu. Lebih sepuluh tahun menghindari Samin, baru kali ini ia dibuat tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang terlalu lancang mengajaknya bicara.

Kehadiran Samin di bawah pohon merbau siang itu hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya makin menggunung.

Sungguh, ketakutan, kebencian, dan trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya kembung. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan, tapi sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.
Helvry Sinaga


Oleh: ABA MARDJANI
Dengan jari-jari tangan mengempit sebatang lisong, Simbad coba menahan hujan yang seolah tak lagi bisa dibendung. Kedua tangannya terangkat ke udara, melambai-lambai seolah memberi isyarat mengusir angin pembawa hujan. Bau kemenyan dan kelembak merebak.
Dari kejauhan terdengar petir bersahutan. Angin berkesiur keras. Keleyang-keleyang dan plastik-plastik beterbangan. Langit tampak pekat. Gelap menyungkup. Beberapa saat kemudian, petir juga berdentuman di sekitar Simbad yang berjalan tak tentu arah dengan lisong yang terus-menerus menyala. Asap putihnya begitu saja menghilang bersama angin. Mulutnya tak henti berkomat-kamit. ”Menjauh... menjauh... menjauh....” Ia berdesis-desis tiada henti. Lalu membaca mantra-mantra, berulang-ulang.

”Kali ini Simbad agaknya takkan lagi bisa tahan. Ambrol semuanya,” gumam Martoyo, bos sebuah kontraktor yang memanfaatkan jasa Simbad untuk menahan hujan selama mungkin di areal proyeknya. Ia duduk terpaku di kursinya, pada sebuah ruang berpendingin udara. Meskipun demikian, dalam hatinya, ia masih tetap berharap Simbad mampu mengatasi persoalan rumit yang tengah dihadapinya seperti hari-hari sebelumnya dalam dua bulan terakhir.

Helvry Sinaga
Mungkin banyak sudah kita melihat foto seperti yang ditunjukkan sebuah majalah berita umum beberapa hari lalu. Pesakitan korupsi Muhammad Nazaruddin tampak semringah, tertawa lebar bersama istrinya yang berkipas-kipas. Di halaman lain terdakwa Djoko Susilo juga tertawa lebar bergaya lari kecil (joging) di antara juru kamera dan foto.

Tentu saja ini bukan panggung teater. Sebagai pelaku ”kejahatan luar biasa”, mereka, sebagaimana umumnya pesakitan/terdakwa korupsi lainnya, tidak memperlihatkan sikap prihatin, menyesal, atau sedih. Mereka senyum dan tertawa seakan memperolok korban (rakyat) yang dicuri hak dan masa depannya, mengejek hukum yang tak cukup berdaya, bahkan lebih dari itu, menikmati ketenaran lebih daripada seorang selebritas atau politikus ternama. Mereka menghina keadilan, tertib sosial, tertib negara, dan—tentu saja—mereka telah menghina diri mereka sendiri.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Pengacara Pikun
Pengarang:


Taksi bandara menurunkan Dewi dan suami serta dua anak yang masih kecil di depan rumah opa mereka. Keduanya duduk dan melapor: ”Kami datang untuk cari kerja di sini, Opa. Sarjana hukum seperti kami berdua sukar dapat kerja di daerah.”

Sang Opa kaget, ”Ah, jauh-jauh terbang untuk cari kerja. Hmm, kalian berdua sarjana hukum. Sawah dan ladang pusaka tak terkelola?” tanya sang Opa.

”Oh, Opa, musim kemarau panjang menyebabkan tanaman di kebun kering. Untung masih ada pohon lontar, gewang, dan kelapa sehingga niranya bisa disadap. Setiap hari kami masak gula, minum nira dan gula cair dan lawar cuka dari daun pepaya, kelor dan rumput laut, bercampur ikan, kerang dan gurita yang diambil ketika laut surut dan tertampung di pematang batu yang dibuat oleh kakek buyut. Kami kenyang, kami tak menganggap ada musim paceklik karena makanan tak pernah putus, tetapi anak-anak kami selalu menangis minta nasi dan roti. Kami menipu anak-anak dengan membelah kelapa yang telah tumbuh berpucuk kecil. Di dalamnya ada tembolok berupa roti,” Dewi menjelaskan.
Helvry Sinaga
Judul: Hujan Bulan Februari
Penulis: Ahmad Muchlish Amrin
Kompas, 14 Juli 2013

1/Ibu, di halaman buku sejarahku bercak merah berdecak, ingatan menyelinap pada masa silam yang tiram. Di matanya tergambar bendera berkibar, urat nadi bertalu, semangat juang berdentang, henyak napas bergegas di bumi yang ranggas.

Ibu, ingatanku senyap gerimis mata waktu, bergambar lelaki mengepalkan tangan, mukanya terlihat merah menyala, berteriak demi tanah kelahiran yang ditinggikan—Ibu tersenyum mendengar igauku. Ia mengusap kepalaku dengan belaian kasih sayang.
Helvry Sinaga
Kenaikan dan Penaikan

Oleh MULYO SUNYOTO

Ini peristiwa ekonomi rutin. Saban harga minyak dunia naik atau konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri meningkat, muncullah wacana tentang perlunya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Koran-koran pun mewartakan wacana itu. Untuk urusan baha- sa, nomina abstrak kenaikan dan penaikan (dalam kancah harga BBM) menjadi kata kunci yang membingungkan beberapa orang. Soalnya, ada satu koran harian terbitan Jakarta yang taat asas mengganti kenaikan dengan penaikan tanpa mempertimbangkan konteks makna kalimat yang hendak dimaksud.

Dua nomina yang dibentuk dari kata dasar yang sama itu mewakili entitas makna yang berbeda sama sekali. Yang pertama berarti ’perihal naik’. Yang terakhir: ’perbuatan menaikkan’. Mari kita periksa kapan koran tersebut secara tepat menggunakan penaikan dan kapan keliru memakai kata benda tanwujud itu.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
MEMBANGUN IKATAN

Taufiq Ismail
Kompas, 14 April 2013

Seorang sahabat menerima Penghargaan Akademi Jakarta 2012, 13 Desember tahun lalu. Penyair Sapardi Djoko Damono (72) mendapat anugerah pencapaian seumur hidup dalam penulisan puisi, esai, terjemahan, penelitian, dan pengajaran sastra. Anugerah terhormat ini telah diberikan Akademi Jakarta mulai 36 tahun yang lalu kepada 15 seniman/budayawan Indonesia.

Penerima pertama (1975) adalah penyair/dramawan Rendra, penerima terbaru (2012) adalah penyair/penerjemah Sapardi Djoko Damono, kedua-duanya dari Solo.

Solo banyak menyumbangkan penyair kepada kita. Di abad ke-19 Ronggowarsito (1802-1873), kemudian di abad ke-20 Hartojo Andangdjaja (1930-1991), Sugiarta Sriwibawa (1932-2009), Rendra (1935-2009), Budiman S Hartoyo (1938-2010), Sapardi Djoko Damono (1940), Slamet Sukirnanto (1941), dan Wiji Thukul (1963-1998), itulah antara lain.

Solo sebagai kota sangat sentimental bagi saya pribadi. Saya dibesarkan di Pekalongan tetapi mulai masuk sekolah dalam umur 6 tahun di Solo, menjelang pendudukan Jepang, di Sekolah Rakyat Muhammadiyah II. Setiap pagi saya diantar ibu saya, menyeberang rel kereta api, membawa sabak (batu tulis) dan grip (anak batu) dalam tas saya, dalam kotak ukiran Jepara yang baunya harum. Kami sekeluarga pindah dari Pekalongan ke Solo. Ayah saya mengajar di Solo. Salah seorang murid ayah saya seorang pemuda Sulawesi Selatan, namanya Kahar Muzakkar (1921-1965), yang belakangan pindah sekolah ke Yogyakarta. Oom Kahar pernah tinggal sebentar di rumah kami di Namburan Kidul, Yogyakarta, yang menjadi asrama PII, menjelang Clash II, 1948.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Sebatang Pohon di Loftus Road
Sungging Raga
Gambar: Sandi Jaya Saputra
Kompas, 14 April 2013

Sungging Raga Bagaimana kau membayangkan seorang wanita yang menjelma sebatang pohon, hidup selama puluhan tahun, dan tak pernah kembali menjadi manusia?

Konon, sering kali ada wanita yang menjelma pohon di sepanjang Loftus Road, sebuah jalan yang di kanan-kirinya dipenuhi baris pepohonan seperti hutan buatan, jalan itu terus memanjang ke arah barat, menuju matahari terbenam. Pohon-pohon itulah, entah siapa yang memulainya, kemudian dicurigai dan diyakini sebagai jelmaan manusia.

Dahulu, sebelum dipenuhi pohon-pohon, di sekitar Loftus Road adalah sebuah hamparan rumput luas yang menjadi tujuan para kekasih untuk berbahagia, tempat kencan dan tukar-menukar rayuan. Namun di tempat itu pula terjadi beberapa ketidakbahagiaan; perpisahan, pertengkaran, dan selebrasi kesedihan. Maka bermunculanlah wanita-wanita yang tak lain hanyalah endemis kesunyian. Mereka adalah wanita patah hati ditinggal kekasihnya, wanita yang terlalu sentimentil, yang menjadikan Loftus Road sebagai tempat menampung air matanya, yang kemudian memilih untuk mengabadikan cintanya dengan menjelma pohon, dan mereka pun akan tumbuh di sana, hanya untuk melihat kekasihnya kembali.