Helvry Sinaga
Memfilmkan Soekarno
Oleh: Asvi Warman Adam

Film Soekarno yang dibuat Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.
Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu, tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film tentang tokoh sejarah. Tentu saja lebih mudah jika film itu merupakan narasi beberapa penutur tentang seorang tokoh; bisa saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan, terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.

Pilihan berikutnya adalah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif, misalnya, sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis, seperti dalam film Sang Kiai, pemuda yang pergi berjuang dan menemui ajal, sementara perempuan yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut agar alur cerita tidak kering.

Lebih sulit kalau sang tokoh sejarah itu yang langsung bertindak dan bertutur. Kegiatan tokoh sekaliber Soekarno telah banyak dikisahkan dalam sejumlah buku dan arsip. Jika semua buku dijadikan rujukan, tentu pembuat film perlu menyadari bahwa semua buku itu tidak sama kualitas dan validitasnya.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Lalu Lintas Besi

Oleh: Acep Iwan Saidi  

Tabrakan maut mengentak kita lagi. Selain berbelasungkawa kepada para korban, marilah kita melihatnya dari perspektif lain. Selama ini para ”pelaku kecelakaan” berasal dari papan atas dan korbannya rakyat biasa. Apa yang terjadi jika posisinya terbalik?

Bagaimana jadinya kalau si ”biasa” menubruk si ”istimewa”? Mungkin alur narasi berbeda: tidak mungkin si biasa membiayai hidup keluarga si istimewa.

Peristiwa berulang itu seolah mengirim pesan ”Marxian” bahwa pertentangan kelas masyarakat sedang terjadi di atas jalan raya, meski obsesi Karl Marx gagal dalam kasus ini: bukan kelas tuan yang kalah, justru kelas hamba yang lumat.
Tubuh yang ditundukkan

Di negeri ini, khususnya Jawa, sejarah jalan raya baru mulai abad ke-19 (Denys Lombard, 2005). Jadi, dibangunnya jalan raya menjadi titik balik peradaban yang amat penting.

Jalan raya adalah salah satu awal modernisasi. Kehadiran sepeda motor dan kendaraan roda empat tidak hanya menggantikan kuda, tetapi juga memunculkan gaya hidup baru.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Tidak Main Dadu

Oleh: L Wilardjo

Di Kompas edisi 17 September lalu, pada halaman 7, Andrianto Handojo, yang Ketua Dewan Riset Nasional, mencerahkan kita dengan opini yang ringkas, bernas, dan jelas tentang ruh pendidikan tinggi.

Guru Besar Fisika Teknik Institut Teknologi Bandung itu, antara lain, mengatakan, dalam melakukan penelitian, pikiran mesti terbuka, tetapi dingin dan tanpa pamrih serta dalam berbagi hasil penelitian melalui publikasi atau presentasi, kita harus obyektif, jujur dan rendah hati. Itulah, kata Andrianto, yang disebut disinterestedness oleh Daoed Joesoef.

Memang pada masa Orde Baru ketika CSIS berpengaruh dalam pemerintahan dan Daoed Joesoef menjadi Mendikbud, ia menekankan bahwa ilmu itu ya proses, ya produk, ya paradigma. Paradigma itulah yang bagaikan bintang pemandu, Leitstern, menuntun proses menuju ke produk.

Begitulah gambaran tentang apa yang oleh Thomas Kuhn disebut masa normal atau masa pemecahan teka-teki. Belum terjadi krisis. Anomali ¾ kalau ada ¾ ya satu atau dua saja, dan dapat ditempelkan secara ad hoc pada teori yang ada sebagai perkecualian kecil.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Karya Seni Sahabat Pencuri

Oleh: AGUS DERMAWAN T

Pada 12 Agustus 2013, di satu koran nasional, saya memublikasikan artikel mengenai rencana pendirian museum musik di Solo. Dalam artikel tersebut saya menekankan bahwa menggagas lahirnya museum adalah mudah.

Tetapi menyosialisasi, mengurus, apalagi menjaganya, sungguh susah. Untuk membuat museum diperlukan keseriusan penyiapan perangkat. Dari sarana promosi, pemeliharaan, sampai (ini yang terpenting): keamanan.

Belum genap sebulan artikel itu dimuat, Museum Nasional Indonesia di Jakarta kecolongan (lagi). Empat benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram (sekitar abad X) raib. Perhiasan berlapis emas diketahui tidak ada di lemari pada 11 September 2013. Dipastikan, karya seni bernilai tinggi itu dicolong maling.

Anehnya, dalam kehebohan itu semua pihak yang bertanggung jawab, seperti Kepala Museum sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berkomentar bahwa sistem keamanan museum lemah. Kehilangan itu seolah bukan tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab ”si sistem” atau ”si alat pengaman” yang tak berdaya.
Imbauan tanpa strategi

Sehari setelah benda-benda seni itu hilang, pihak museum dan kepolisian langsung mengimbau pihak kolektor, galeri, dan biro lelang untuk tidak menerima barang curian itu. Andai menerima, kolektor, galeri, dan biro lelang diminta untuk segera melaporkan kepada pihak berwajib.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Legasi Intelektual

Oleh: SUWIDI TONO

Bagiku, pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, cuma siap bekerja dan dipekerjakan sebagai ahli bayaran.”

Sindiran Profesor Soetandyo Wignjosoebroto ini dicetuskannya lagi saat berbicara pada diskusi Forum ”Menjadi Indonesia”, di Jakarta, 19 Mei lalu, bertajuk ”Kemiskinan Karakter Bangsa”. Beberapa bulan sebelum wafat, ia juga menulis di Facebook: ”Mengapa aku merasa aneh dan asing di kampus? Pembicaraan di mana-mana kok hanya menyangkut pekerjaan teknis, bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan. Apakah kampus lain juga begitu?”

Kemasygulan Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Airlangga itu menyegarkan kembali kekhawatiran Julien Benda tentang the betrayal of intellectual, pengkhianatan kaum intelektual. Di sini, pesan Albert Einstein (1938) ketika revolusi industri bergemuruh melanda Eropa dan Amerika menjadi relevan: ”Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, agar buah ciptaan pemikiran kita merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan”.
Ruh yang tergadai
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Malam Hujan Bulan Desember

Oleh: Guntur Alam
Kompas, 15 September 2013

Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan turun dengan deras. Aku ingat, itu bulan Desember, karena lonceng dan kidung Natal bergema dari gereja sebelah kontrakan kami. Tak ada yang mendengar jeritan Ibu. Gemuruh hujan menenggelamkannya.

Aku tak tahu, apa alasan yang membuat Ayah berbuat sekejam itu. Dari pertengkaran mereka, akulah biang keladinya. Dari dulu, Ibu memang selalu bercerita, kalau Ayah tak menyukaiku. Aku tak tahu kenapa.

Aku juga tidak tahu, siapa nama ayahku. Karena sejak aku lahir, kami baru bertemu malam itu. Kusebut saja namanya Joe. Ibuku bernama Maria (bukan nama sebenarnya). Kami tinggal di Kota J. Kota tempat orang-orang datang mengadu nasib, kata Ibu.

Mulanya, Ibu juga membenciku. Kutahu itu dari setiap cerita yang dia uraikan padaku. Pelbagai cara sudah Ibu lakukan agar aku mati saat di dalam kandungannya. Dari mulai Ibu mengkonsumsi jamu-jamu penggugur kandungan, makan nanas muda, loncat-loncat, naik turun tangga, bahkan Ibu pernah beberapa kali memukul-mukul perutnya dengan keras.

”Tapi kau tetap bertahan di dalam sana. Kau berpegang semakin kuat dan kokoh. Hingga aku luluh,” desisnya setiap kami bertatap mata. ”Kau seolah berkata bahwa kau ingin hidup. Jadi aku membiarkan kau hidup. Aku berhenti berusaha membunuhmu.”

Aku hanya menjawab cerita Ibu dengan kerjapan mata saja. Lalu tersenyum. Aku tak ingin bertanya, apa alasannya ingin membunuhku? Aku juga tak ingin menyalahkannya. Setiap melihatku seperti itu, air mata Ibu akan terburai, kemudian dia akan memelukku dengan lembut. Mengecup keningku dan pada akhirnya akan kembali menangis tanpa suara. Aku akan membiarkan Ibu menuntaskan tangisnya. Pelan-pelan kubalas pelukannya.
Helvry Sinaga

Benny Arnas

Entah bagaimana Maisarah harus marah pada hujan deras yang turun di pengujung Ramadan itu. Lebih sepuluh tahun menghindari Samin, baru kali ini ia dibuat tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang terlalu lancang mengajaknya bicara.

Kehadiran Samin di bawah pohon merbau siang itu hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya makin menggunung.

Sungguh, ketakutan, kebencian, dan trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya kembung. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan, tapi sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.
Helvry Sinaga


Oleh: ABA MARDJANI
Dengan jari-jari tangan mengempit sebatang lisong, Simbad coba menahan hujan yang seolah tak lagi bisa dibendung. Kedua tangannya terangkat ke udara, melambai-lambai seolah memberi isyarat mengusir angin pembawa hujan. Bau kemenyan dan kelembak merebak.
Dari kejauhan terdengar petir bersahutan. Angin berkesiur keras. Keleyang-keleyang dan plastik-plastik beterbangan. Langit tampak pekat. Gelap menyungkup. Beberapa saat kemudian, petir juga berdentuman di sekitar Simbad yang berjalan tak tentu arah dengan lisong yang terus-menerus menyala. Asap putihnya begitu saja menghilang bersama angin. Mulutnya tak henti berkomat-kamit. ”Menjauh... menjauh... menjauh....” Ia berdesis-desis tiada henti. Lalu membaca mantra-mantra, berulang-ulang.

”Kali ini Simbad agaknya takkan lagi bisa tahan. Ambrol semuanya,” gumam Martoyo, bos sebuah kontraktor yang memanfaatkan jasa Simbad untuk menahan hujan selama mungkin di areal proyeknya. Ia duduk terpaku di kursinya, pada sebuah ruang berpendingin udara. Meskipun demikian, dalam hatinya, ia masih tetap berharap Simbad mampu mengatasi persoalan rumit yang tengah dihadapinya seperti hari-hari sebelumnya dalam dua bulan terakhir.

Helvry Sinaga
Mungkin banyak sudah kita melihat foto seperti yang ditunjukkan sebuah majalah berita umum beberapa hari lalu. Pesakitan korupsi Muhammad Nazaruddin tampak semringah, tertawa lebar bersama istrinya yang berkipas-kipas. Di halaman lain terdakwa Djoko Susilo juga tertawa lebar bergaya lari kecil (joging) di antara juru kamera dan foto.

Tentu saja ini bukan panggung teater. Sebagai pelaku ”kejahatan luar biasa”, mereka, sebagaimana umumnya pesakitan/terdakwa korupsi lainnya, tidak memperlihatkan sikap prihatin, menyesal, atau sedih. Mereka senyum dan tertawa seakan memperolok korban (rakyat) yang dicuri hak dan masa depannya, mengejek hukum yang tak cukup berdaya, bahkan lebih dari itu, menikmati ketenaran lebih daripada seorang selebritas atau politikus ternama. Mereka menghina keadilan, tertib sosial, tertib negara, dan—tentu saja—mereka telah menghina diri mereka sendiri.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Pengacara Pikun
Pengarang:


Taksi bandara menurunkan Dewi dan suami serta dua anak yang masih kecil di depan rumah opa mereka. Keduanya duduk dan melapor: ”Kami datang untuk cari kerja di sini, Opa. Sarjana hukum seperti kami berdua sukar dapat kerja di daerah.”

Sang Opa kaget, ”Ah, jauh-jauh terbang untuk cari kerja. Hmm, kalian berdua sarjana hukum. Sawah dan ladang pusaka tak terkelola?” tanya sang Opa.

”Oh, Opa, musim kemarau panjang menyebabkan tanaman di kebun kering. Untung masih ada pohon lontar, gewang, dan kelapa sehingga niranya bisa disadap. Setiap hari kami masak gula, minum nira dan gula cair dan lawar cuka dari daun pepaya, kelor dan rumput laut, bercampur ikan, kerang dan gurita yang diambil ketika laut surut dan tertampung di pematang batu yang dibuat oleh kakek buyut. Kami kenyang, kami tak menganggap ada musim paceklik karena makanan tak pernah putus, tetapi anak-anak kami selalu menangis minta nasi dan roti. Kami menipu anak-anak dengan membelah kelapa yang telah tumbuh berpucuk kecil. Di dalamnya ada tembolok berupa roti,” Dewi menjelaskan.