Helvry Sinaga

Bahasa

Bahasa Ibu dan Bahasa Etnik

Tulisan Saut Poltak Tambunan bertajuk ”Bahasa Ibu, Apa Perlunya?” di rubrik ini (28 Februari 2015), mengingatkan kembali ihwal ancaman kepunahan bahasa-bahasa etnik. Saat ini, tersisa 746 bahasa daerah di Indonesia dan pada akhir abad ke-21 diperkirakan hanya 75 bahasa daerah yang bertahan. Sori Siregar menanggapi dengan tulisan bertajuk ”Pintu Budaya Etnik” (14 Maret 2014). Ia mengaku baru bisa menikmati karya Poltak, Mangongkal Holi, yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage ”setelah buku pemenang itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau dengan bantuan kamus Batak, kalau ada. ”Menurut Sori, ”Bahasa daerah yang kita sebut juga dengan bahasa ibu, seharusnya diberi tempat khusus di dunia pendidikan sejak awal.”

Dua terminologi muncul: bahasa daerah dan bahasa ibu. Pertanyaannya, apakah bahasa daerah identik dengan bahasa ibu? Banyak yang beranggapan demikian. Tentu saja anggapan ini bisa berlaku penuh pada abad-abad lampau ketika migrasi suku-suku belum segencar sekarang, ketika warga suku sekaligus hidup di wilayah dan bahasa sukunya. Orang Batak yang lahir dan dewasa di tanah Batak bisa dipastikan menguasai bahasa Batak secara alamiah.
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Mendorong Renaisans Perkeretaapian Indonesia

Bangsa Indonesia dikenal memiliki banyak potensi, tetapi sulit saling percaya, melayani, apalagi membangun sinergi demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di tengah situasi demikian, Taufik Hidayat (52), ahli perkeretaapian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tak lelah meneriakkan ”sinergi” ini sebagai kata kunci menuju renaisans alias kebangkitan kembali dunia perkeretaapian kita.
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Helvry Sinaga

Sejarah Kereta Api dalam Selembar Peta

Berbekal pendidikan teknik geodesi atau ilmu pemetaan bumi, Artanto Rizky Cahyono (37) berhasil meringkas sejarah panjang jalur perkeretaapian Indonesia dalam selembar peta. Melalui peta itu, pegiat komunitas Indonesian Railway Preservation Society itu mewujudkan kecintaannya pada perkeretaapian yang tumbuh sejak kecil ketika tinggal di dekat Stasiun Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Helvry Sinaga

Kresna Menyusuri Wonogiri

Ketika kian mendekati Stasiun Wonogiri, warga menghambur menyambut bus rel Batara Kresna, 11 Maret 2015. Warga yang kebanyakan berusia lanjut itu menggandeng anak-anak kecil, seakan ingin menunjukkan kereta api adalah masa lalu bagi yang tua, tetapi masa depan bagi anak cucu mereka.
Bus rel Batara Kresna tiba di Stasiun Wonogiri saat peresmian reaktivasi jalur Solo-Wonogiri, Rabu (11/3).
kompas/nawa tunggalBus rel Batara Kresna tiba di Stasiun Wonogiri saat peresmian reaktivasi jalur Solo-Wonogiri, Rabu (11/3).
Dulu, stasiun ini ramai sekali. Sepur kluthuk (berlokomotif mesin uap) mengangkut gamping (batu kapur) dari Baturetno dan bakul-bakul sayur," ujar Mbah Talem (80) dengan wajah berseri.
Ia turut bergembira menyambut bus rel (variasi dari kereta dengan bahan lebih ringan) yang digunakan sebagai Kereta Api Perintis Batara Kresna. Kereta itu akan mengaktifkan kembali jalur Stasiun Purwosari di Solo, Jawa Tengah, hingga Stasiun Wonogiri, Jateng.
Mbah Talem berdagang makanan ringan dan minuman di sebuah warung yang letaknya persis di muka pintu masuk stasiun. Pada pagi menjelang siang pertengahan Maret lalu itu, Mbah Talem sibuk melayani para pembeli.
Helvry Sinaga

Ngabean Menanti Reaktivasi

Hampir sepanjang 3.000 kilometer jalur rel kereta api kita telah dimatikan. Reaktivasi begitu indah untuk dibayangkan demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Namun, ternyata tidak mudah menemukan sosok pemimpin yang berani menghidupkan kembali jalur-jalur rel mati itu.
Bekas Stasiun Kereta Api Ngabean, Yogyakarta, dibangun pada sekitar tahun 1895. Saat ini digunakan wargauntuk layanan perjalanan wisata ke Keraton Yogyakarta.
kompas/nawa tunggalBekas Stasiun Kereta Api Ngabean, Yogyakarta, dibangun pada sekitar tahun 1895. Saat ini digunakan wargauntuk layanan perjalanan wisata ke Keraton Yogyakarta.
Suatu siang pertengahan Maret 2015, Manajer Sekretariat Koperasi Pariwisata Ngabean Yogyakarta Krisnadi menyambut Kompas untuk memotret dan melihat-lihat kondisi bekas Stasiun Ngabean, di sebelah barat kawasan Keraton Yogyakarta. Bangunan yang diperkirakan didirikan sekitar tahun 1895 itu kini digunakan untuk mengelola paket perjalanan wisata dengan mobil minibus menuju Pagelaran, Keben, Magangan, dan Taman Sari, area wisata utama Keraton Yogyakarta.
”Pemerintah daerah sudah pernah membahas masalah pengaktifan kembali jalur kereta api melalui Stasiun Ngabean ini. Waktu itu tujuannya untuk menambah daya tarik pariwisata di Yogyakarta,” kata Krisnadi.
Stasiun Ngabean juga menyimpan sejarah penting. Menurut Tjahjono Rahardjo, anggota Indonesian Railway Preservation Society Semarang, yang juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, Stasiun Ngabean pernah dilintasi kereta api jenazah Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono X menuju tempat pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1939.
Paku Buwono X lahir 29 November 1866 dan dinobatkan menjadi Raja Kasunanan Surakarta, 30 Maret 1893, pada usia 27 tahun. Masa kepemimpinannya 46 tahun hingga wafat pada 1 Februari 1939.
KOMPASStasiun Ngabean salah satu stasiun kereta api di tengah Kota Yogyakarta yang menyimpan sejarah menarik. Stasiun ini menjadi bagian dari lintasan rel kereta api yang menghubungkan Stasiun Tugu, Yogyakarta, sampai Stasiun Srandakan, Bantul, dibangun salah satu perusahaan swasta Hindia Belanda pada tahun 1895.
Semasa hidupnya, dia banyak bekerja di balik layar untuk mendukung pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya, dia menyokong pendirian organisasi Serikat Dagang Islam di Surakarta pada tahun 1905.
Selain sebagai penjaga kuat tradisi Jawa, Paku Buwono X juga dikenal sebagai pendorong modernisasi Jawa. Pada masanya, ia menciptakan sistem kredit rumah bagi warga kurang mampu.
Sejumlah pasar, stasiun kereta, rumah sakit, dan sekolah, seperti sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan, juga dibangun. Pasar Klewer dan Stasiun Solo Balapan termasuk warisannya.
content
,
Kenangan lain adalah dia dinilai berhasil mempersatukan trah Kerajaan Mataram, yang sejak 1755 terpecah jadi Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Pundong dan Sewugalur
Rel dari arah Stasiun Tugu Yogyakarta ke Stasiun Ngabean, bercabang ke dua arah, yaitu rel menuju stasiun akhir di Pundong, Bantul, dan ke Sewugalur, Kulon Progo. Pada 1943 sampai 1944, rel dari Ngabean sampai ke Pundong sepanjang 27 kilometer dipreteli Jepang. Nasib tragis serupa dialami percabangan lain, yaitu rel dari Stasiun Palbapang di Bantul hingga Sewugalur sepanjang 5 kilometer.
Pada masa Hindia Belanda, keberadaan jalur rel tersebut berperan meningkatkan produksi tebu dan gula. Sebelum kereta api beroperasi saja, pada 1884 dilaporkan ekspor gula dari Yogyakarta mencapai 34.408 ton.
Produksi gula dari wilayah Yogyakarta pada masa Hindia Belanda mampu menyumbang 17 persen dari total ekspor gula dari Pulau Jawa ke Eropa. Ini diungkap Waskito Widi Wardojo dalam bukunya, Spoor Masa Kolonial (2014).

Dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Iman Subarkah memaparkan, perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), membangun lintasan rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta ke Pundong dan Sewugalur tersebut. Pelaksanaannya bertahap.
Rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Srandakan sepanjang 23 kilometer mulai digunakan pada 21 Mei 1895. Pembangunan rel berlanjut di Srandakan ke Brosot sepanjang 2 kilometer dan mulai digunakan pada 1 April 1915. Rel dari Brosot ke Sewugalur sepanjang 3 kilometer mulai digunakan pada 1 April 1916.
Pembangunan jalur Ngabean-Pundong juga terbagi dua tahap. Ngabean-Pasar Gede sepanjang 6 kilometer, mulai digunakan 15 Desember 1917. Kemudian dilanjutkan Pasar Gede-Pundong sepanjang 21 kilometer yang dioperasikan sejak 15 Januari 1919.

Bersama Asep Suherman, seorang pencinta kereta api yang pernah tergabung di Indonesian Railway Preservation Society, Kompas menyusuri bekas kedua jalur rel dari Stasiun Ngabean tersebut.
Jejak lintasan rel kereta api Ngabean-Pundong hampir tidak berbekas sama sekali. Asep lantas menunjukkan salah satu bekas fondasi jembatan rel kereta api di dekat Jalan Lingkar Selatan Yogyakarta, di Jalan Ngipik Raya, Karanglo, Banguntapan, Bantul.

Ketika menyusuri bekas jalur tersebut, Asep memanfaatkan penggabungan peta terkini dari Google Earth dengan peta lama jalur rel kereta api peninggalan Hindia Belanda.
Ada beberapa bekas jembatan sungai kecil untuk melintasi rel ke Pundong. Jembatan di Kali Bulus, Desa Paten, Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, misalnya, masih memperlihatkan fondasi kunonya. Namun, jalur rel lain sulit dikenali karena telah berubah menjadi lahan sawah atau jalan.
Untuk jalur Ngabean-Sewugalur, tidak terlalu sulit untuk melacaknya hingga Stasiun Palbapang, Bantul. Relnya masih ada, tetapi sebagian besar terpendam di dalam tanah.

Dari Palbapang, melewati Srandakan, lintasan rel kemudian menyeberang Kali Progo. Jembatan bekas jalur rel masih ada dan masih bisa dimanfaatkan warga. Namun, bagian tengah jembatan amblas sehingga kondisi beton di bagian tengah jembatan itu melengkung.
Di sebelah selatannya, sekarang dibangun jembatan baru untuk jalur utama kendaraan. Jejak jalur rel setelah menyeberangi Kali Progo juga masih terlacak. Di antaranya, berupa jembatan-jembatan kecil jalur rel untuk melintasi parit yang ada hingga menuju Sewugalur.

”Dulunya memang pernah ada rel kereta api di sini,” kata Hadi Subandi (78), warga Sewugalur. Jejak rel di Sewugalur sudah tidak berbekas.
Berdasarkan peta yang ditunjukkan Asep, perkiraan lokasi Stasiun Sewugalur sekarang sudah berubah menjadi SMP Negeri 2 Galur.
”Setiap stasiun yang ada di lintasan Ngabean ke Pundong dan Sewugalur ini hampir selalu memiliki percabangan lintasan rel ke sebuah pabrik gula. Itu sebabnya mengapa di Yogyakarta produksi gula terus meningkat sewaktu ada jalur rel kereta api yang juga digunakan untuk angkutan tebu ke pabrik-pabrik gula,” tutur Asep.

Baturetno
Titik akhir jalur rel kereta api di sebelah timur Pundong berada di Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Bersama ahli transportasi Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik Soegijaranata, Semarang, Kompas berhasil melacak bekas Stasiun Baturetno, yang berjarak 19 kilometer dari Stasiun Wonogiri tersebut.
Untuk mencapai lokasi Stasiun Baturetno, kami harus memutar arah ke sisi timur Waduk Gajah Mungkur. Jalur relnya sekarang terendam waduk itu.
”Reaktivasi jalur rel yang terbenam waduk bisa dibuat dengan konstruksi jembatan di atas air. Jika dilakukan, ini menjadi potensi wisata yang menarik, menambah potensi wisata lain di Waduk Gajah Mungkur,” kata Djoko.

Suyati (61), salah satu warga yang tinggal di dekat bekas bangunan Stasiun Baturetno, mengatakan, terakhir kali kereta api bisa digunakan dari Baturetno ke Surakarta ketika ia duduk di kelas IV SD tahun 1966. Setelah itu tidak bisa lagi karena ada banjir besar yang merusak beberapa jembatan jalur rel kereta.
Krisnadi di Ngabean berpandangan serupa dengan Djoko Setijowarno. Keduanya menilai, jika pemerintah mampu menghidupkan dan memanfaatkan kembali jalur-jalur kereta api yang pernah ada itu, ada potensi pariwisata yang menguntungkan. Hanya saja, untuk itu, perlu keberanian.
 
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 12 dengan judul "Ngabean Menanti Reaktivasi".
Helvry Sinaga

CATATAN BUDAYA
Berkesenian Itu Sendiri dan Kesepian

Oleh: Gunawan Raharja 

...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari masalah sosial (WS Rendra)

Beberapa awak panggung Ketoprak Klana Bakti Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung dibersihkan. Para penabuh gamelan yang sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang. Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.

Didik dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini. Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh tiga penonton dibagi enam
puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Dosen Tak (Boleh) Hanya Mengajar

Oleh: Elisabeth Rukmini 2 Komentar FacebookTwitter  
TERTIDUR di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai. 
  Saya terus saja kuliah dengan prinsip mahasiswa adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya adalah tidur di ruang kuliah, silakan dengan merdeka memilih hal itu.
Meski demikian, saya merasa tertampar sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis interaktif.
 
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Catatan Budaya

Sebuah Kemungkinan bagi Sastra Asia Tenggara

Harapan untuk menjadi bagian dari sastra dunia, sejak beberapa tahun belakangan, beralih-rupa menjadi keresahan dalam ranah sastra Indonesia. Banyak sastrawan mengeluh lantaran sulitnya akses untuk penerjemahan karya-karya mereka ke dalam bahasa asing. Organisasi penerbit lebih tampak berperan sebagai EO (event organizer) pameran buku ketimbang merancang program-program yang terukur, guna mengantarkan sastra Indonesia ke gerbang sastra dunia.
Begitu juga lembaga pemerintah yang berperan menjalankan kerja diplomasi kebudayaan, belum menunjukkan perhatian pada sastra, sebagai bagian dari identitas Indonesia. Satu-dua novel Indonesia telah diterbitkan oleh penerbit major label di luar negeri, namun diupayakan oleh individu sastrawan yang bersangkutan.

Para sastrawan gelisah, karena tidak maju-maju, tak berpeluang terseleksi oleh komite juri Nobel sastra, dan merasa tertinggal oleh tradisi sastra di negara-negara Asia lainnya. Inferioritas semacam ini cukup membebani
iklim kekaryaan. Seolah-olah, penerjemahan itu satu-satunya jalan guna membuat sastra kita go international. Muncul kesan, sastra Indonesia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jika belum tersedia dalam bahasa asing, sehingga upaya menawarkan buku-buku sastra ke penerbit-penerbit asing adalah
harga mati yang tak mungkin dihindari.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

TENUN INDONESIA

Ada Ulos, Ada Batak

Bagi masyarakat Karo, uis gara (ulos dalam bahasa Batak) telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama berkaitan dengan acara adat, termasuk upacara pemakaman.


Sebagai artefak budaya, ulos mencoba terus beradaptasi dalam titian zaman. Kesetiaan dan kreativitas petenun menjadi penggerak keberlangsungan ulos. Sebab, tanpa ulos, tiada pula yang disebut sebagai Batak.Kabut pagi yang tipis masih membayangi permukaan Danau Toba ketika tiga petenun muda di Samosir pergi mandi dan mencuci baju. Dina Simbolon (24), Royani Turnip (19), dan Bunga Nainggolan (18) berjalan beriring sembari membawa perlengkapan mandi. Hari itu, suplai air pipa di Desa Lumban Suhi-suhi di Pulau Samosir tak mengalir. Mandi di danau menjadi solusi praktis.
Sambil mencuci baju, Nani menyetel lagu di ponselnya. Lagu era 1990-an dari Michael Bolton, ”Said I Loved You but I Lied”, terdengar di antara suara kecipak air di tepian danau. Sementara itu, Dina dan Bunga sudah asyik mandi dan berenang di danau. ”Rencana saya sebenarnya pingin kuliah di fakultas hukum,” kata Nani dengan rona wajah malu-malu.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Penyair dan Keruntuhan Sejarah

Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah? Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.

Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski dipuja tetapi tak cukup didengar.

Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu, kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik, beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori” kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.
Labels: 0 comments | | edit post