Helvry Sinaga
Judul: Indah Alam Semesta (berdasarkan Mazmur 8:4-10)
Lagu: Tulus TSA Gultom, SE
Syair dan Aransemen: Bonar Gultom (GORGA) Tahun 1995





Posted by Picasa
helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga

Pada sebuah jalan...
ada barisan penyangga yang melindungi
Pada sebuah jalan...
ada persimpangan yang mengelabui
Pada sebuah jalan...
ada setitik sinar yang berdiri
Pada sebuah jalan
ada kedamaian menghampiri

helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga
Judul: Di Persimpangan Pantura
Penulis: Tantri Pranash
Link: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/12/11/di-persimpangan-pantura/

Sepertinya tempat itu yang saya perhatikan ketika berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan bis malam. Di sepanjang jalan pantura terdapat warung-warung yang isinya kebanyakan adalah wanita yang digambarkan dalam cerpen ini yaitu bergincu dan berbusana bahu terbuka.

Dalam cerpen ini diceritakan dari sisi perempuan yang menjalani profesi tersebut. Kita tidak tahu apa yang menjadi motifnya namun kebanyakan dikarenakan faktor ekonomi. Menurut tulisan dari artikel ini keadaan tersebut begitu umum di Kabupaten Subang, namun keadaan tersebut sulit untuk ditertibkan dikarenakan mendapat dukungan dari masyarakat.

Dari cerpen ini dapat kita ketahui bahwa keadaan ekonomi para penjaja cinta ini tidak jauh berbeda dengan kita. Mereka juga diliputi banyak masalah, terutama kemiskinan. Pilihan mereka tinggal menjadi seperti itu, atau menjadi buruh tani, atau kasarnya: mati.

Membuat mereka berbalik dari pekerjaannya adalah sesuatu hal yang sulit. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan pendidikan pada ibu muda, dan para wanita di desa untuk mengembangkan diri mereka. Walaupun tidak menuntaskan, tetapi paling tidak akan mengurangi jumlah input ke profesi itu.

Helvry Sinaga
Judul: Lukisan Kematian
Pengarang: Andhy Kh
Kompas, 21 Agustus 2011
sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/21/lukisan-kematian/

Kapan kita mati, kita tak pernah tahu. Dalam cerpen ini ada satu hal yang bisa digali dari pelukis, bahwa ia memimpikan bertemu dengan ibunya. Ia membuat gambaran ibunya dengan melukiskannya di lukisannya. Satu hal yang saya syukuri bahwa saya masih bisa melihat kedua orangtua saya.

Dari segi cerita, menurut saya agak hambar. Terlalu fiksi dan tidak menimbulkan cara berpikir yang logis. Namun satu pesan dari sang pelukis adalah bahwa cara ia mengunjungi pusara bapaknya adalah dengan menggambar lukisannya.

Helvry Sinaga
Judul: “Pakiah” dari Pariangan
Pengarang: Gus tf sakai
Kompas, 28 Agustus 2011
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/28/pakiah-dari-pariangan/

Cerpen yang membingungkan saya. Mungkin karena saya tidak berlatar belakang sumatra barat, jadi agak susah mencerna cerpen Gus tf sakai ini. Bercerita tentang sebuah tradisi silat yang tadinya adalah wibawa kebanggan karena bisa bertarung di sumatra barat, namun berubah menjadi pertunjukan. sebuah pemikiran positif tentang siapa itu pakiah-yang kemudian digambarkan:

Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.

Pakia bukan sekedar bisa bertarung dengan kemampuan silat, tetapi juga menunjukkan keteladan berupa kerendahan hati.

Helvry Sinaga
Judul: Terbukalah
Pengarang: Fransisca Dewi Ria Utari
Kompas, 13 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/07/terbukalah/

Ada suatu bagian dalam hidup yang ditempati oleh pengalaman. Pengalaman itu tidak akan diperoleh atau tidak akan dirasakan bila tidak ada usaha aktif. Bila masa telah berlalu, merenungkan pengalaman entah itu bahagia atau sedih adalah proses kita menuju kebijaksanaan.

Narator menceritakan pengalamannya bersama pria idaman hatinya. Dewi Ria Utari menulis sangat baik pada saat menggambarkan suasana kencan pertama kali mereka di taman.

Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.

Toh ketertarikan narator bukan pada tamannya. Kembali pada siapa manusianya. Tempat hanyalah mediasi kasih disampaikan dan dikomunikasikan. Dan narator merasa perlu mengunjungi taman itu untuk menemukan kembali apa yang hilang dari prianya, yaitu matanya.

sumber: http://jhonrhonda.blogspot.com/2009/11/lelaki-tua-di-bangku-taman.html
Helvry Sinaga
Judul: Hujan yang Indah
Pengarang: Kurnia JR
Kompas, 14 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/14/hujan-yang-indah/

Setiap orang punya cara unik menikmati hujan. si penulis menggambarkan hujan sebagai berikut:

Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.


Saya sendiri memaknai hujan tergantung rumah kontrakan. Di Slipi, saya selalu berharap supaaya hujan jngan terlalu lama, sebab atap rumah kontrakan kami bocor. Berkali-kali sudah datang ke pemilik rumah, namun tidak ada tindak lanjut. Sekarang lebih mendingan, walau deg-degan kalau hujan tak berhenti.

Saya hanya membayangkan menyaksikan hujan dari balik ruangan kaca. saya membayangkan melihat titik-titik air mencoba menerobos kaca meninggalkan jejak-jejak air. Atau duduk di beranda rumah menyaksikan tetesan air dan menghujam ke bumi meninggalkan bau tanah yang harum.

Membayangkan terjadinya hujan bagi saya waktu kecil adalah imajinasi unik. Saya membayangkan di atas sana (merujuk pada surga), lantai surga itu dibolongi sebesar paku. Lalu para malaikat menumpahkan air dari ember lewat bolongan tadi. Itulah yang menjadi hujan di bumi.

Bagaimana memaknai hujan, saya tidak seperti pengarang cerpen ini melihat keindahan hujan. Walau terkesan agak berlebihan, kemungkinan ia penggemar hujan. Sebenarnya hujan bisa dinikmati, dan cara menikmatinya itu indah. Saya membayangkan dari teras belakang rumah saya sembari memandang sawah yang hijau dijatuhi air. Batang padi meliuk sesuai arah angin, dan anak gadis di rumah pojok bersegera membawa pakaian di jemuran.

Namun tidak perlu sampai jadi kakek-kakek untuk menceritakan keindahan hujan seperti pada cerpen ini. Justru itu membuat hilangnya keindahan cerpen ini.

Bagaimana dengan Anda?

Helvry Sinaga
Judul: Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
Penulis: Putu Wijaya
Kompas, 17 Juli 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/07/17/bersiap-kecewa-bersedih-tanpa-kata-kata/


Bukanlah sesuatu yang sukar sebenarnya mengucapkan selamat. Bukankah ungkapan positif akan membuat si pemberi dan penerima salam berbahagia? Entahlah kalau masih ada rasa tak rela atau tak tulus, namun pemberian selamat sebenarnya tidak menganggu kita sama sekali.

Putu Wijaya mengutip puisi Goenawan Muhamad "Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi"
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” berikut puisi lengkapnya.

"Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi"
Oleh Goenawan Mohamad

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966

Putu Wijaya cerdas mengemas percakapan antara si pembeli bunga dan penjual bunga. Saya jadi bertanya-tanya apakah ini realita ataukah khayalan? apapun jawabannya saya masih terkagum.


Helvry Sinaga
Judul: Wiro Seledri
Pengarang: GM Sudarta
Kompas, 10 Juli 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/07/10/wiro-seledri/


"Wariskanlah cerita masa lalu pada kami, agar kami bijaksana memaknai hidup kami."

Mbah Wiro menceritakan dimana pasukan berbaju hijau adalah sesuatu kekuasaan yang otoriter di masa lalu. Tidak ada kompromi. Sebuah isu dicuatkan untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintahan. Rasa kemanusiaan seharusnya terusik, tetapi kebanyakan orangpun diam. Takut. Takut suatu saat dialah yang akan menjadi korban selanjutnya.

Bila boleh menggunakan istilah kejam, maka saya memakainya untuk menyatakan tindakan aparat zaman dulu. Dampak-dampaknya sangat luar biasa. Perampasan kemerdekaan individu sebagai warga negara, relasi sosial rusak akibat prasangka, kemiskinan akibat kehilangan pekerjaan dan harta benda. Apakah itu semua disadari atau disesali oleh pemerintah masa lalu?

Apakah tindakan bunuh diri Mbah Wiro itu dapat diterima atau tidak itu tidak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi permasalahan adalah penyebabnya. Kenapa itu bisa terjadi, dan sepantasnya siapa yang bertanggung jawab?

Mungkin yang agak kurang dalam cerpen ini penyampaiannya yang terlalu lugas. Tidak banyak berpikir untuk menerjemahkan kalimat-kalimatnya.


Helvry Sinaga
Judul: Biografi Kunang-kunang
Penulis: Sungging Raga
Kompas, 3 Juli 2011
sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/07/03/biografi-kunang-kunang/


Saya termasuk terlambat melihat kunang-kunang. Di asrama tempat tinggal saya kecil, tidak pernah sekalipun saya melihat kunang-kunang. Dengan malu saya katakan bahwa kunang-kunang dengan jelas saya lihat baru di tahun 2011, di perkemahan Curug Cilember, Bogor.

Cuma dari dulu saya pernah baca dari Bobo, kalau ada mitos orang meninggal akan jadi kunang-kunang. Entah seperti apa rupanya, yang jelas saya memang saat itu kurang percaya. Cerita ini sebenarnya sedikit lagi berhasil memancing emosi pembaca, jika saja tidak dibuka identitas siapakah narator. Pembukaan jati diri sang ibu yang diungkap pada akhir cerita ini, membuat cerita ini kehilangan gregetannya. Padahal pembukaan hingga ke tengah, narator berhasil mengusik saya dengan betapa sedihnya ketika ia tidak memiliki pemeran ibu dalam hidupnya.

Yaahh..saya juga berharap dapat bertemu kunang-kunang lagi...




Helvry Sinaga
Judul: Payung
Penulis: Veridiana
Kompas, 26 Juni 2011

sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/06/26/payung/

Saya baru tahu istilah ojek payung setelah bermukim di Jakarta. Sebelumnya saya pernah mendengar cerita dimana ada ibu yang memiliki dua orang anak. Ia selalu resah bila hari hujan, maka anakny yang pegang payung akan menyewakan payungnya, sementara anak satunya yang berjualan es krim tidak akan laku. Demikian juga sebaliknya, ketika hari panas, anaknya yang berjualan es krim saja yang mendapat rezeki, sementara yang menyewakan payung tidak ada.

Cerpen ini menggambarkan mimpi seorang anak kecil yang berkeinginan untuk memiliki lebih dari satu payung. Payung sebagai simbol pencari rezeki. Sungguh kasihan melihat anak-anak seusia muda sekali sudah memikirkan betapa beratnya hidup. Ia terlalu cepat untuk mengetahui kejamnya dunia.

Lewat cerita ini, paling tidak saya bisa bersyukur. Tuhan memelihara orang tua dan lewat pendidikan. Suatu saat ketika saya melihat ojek payung menawarkan jasa payungnya, saya akan tahu mimpi anak-anak pengojek payung.


Helvry Sinaga
Judul: Pilihan Sastri Handayani
Pengarang: Sori Siregar
Kompas, 19 Juni 2011

Seorang wartawati di sebuah radio diminta membuat skenario untuk drama. Drama tentang Sir Stanford Raffless yang datang ke Indonesia pada awal abad 19. Sastri Handayani, wartawati berusia 24 tahun itu menolak. Ia beralasan bahwa Rafless adalah seorang penjajah, dan ia cukup berat menulis naskah sandiwara itu. Ia sempat berargumentasi dengan pimpinannya, Harold Dickens, perihal apa tujuan dan maksud kedatangan Rafless hampir 3 abad lalu ke nusantara. Penugasan dirubah. Sastri ditugaskan untuk membuat naskah Shakespeare.

Sepertinya Sori Siregar kurang memutakhirkan pengetahuan sejarahnya.
Helvry Sinaga
Judul: Sematku Patah di Cungking
Pengarang: Ema Rianto
Kompas, 12 Juni 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/06/12/sematku-patah-di-cungking/

Sebuah kenangan bisa membuat seseorang kembali pada masa lalu. Entah sudah berapa banyak orang mencoba kembali ke masa lalu, membuat seolah pilihan-pilihan masa lalu itu sesuatu yang perlu dikoreksi. Terlalu terjebak dalam bayang masa lalu dapat membuat gila.

Pelaku pada cerita pendek ini kembali dari perantauannya dari Prancis ke kampung halamannya. Ia mencari kembali gadis pujaannya. Mengherankan, mengapa ia meninggalkan walau dalam hatinya tidak bermaksud untuk menceraikan istrinya, tetapi ia telah berselingkuh dalam hatinya.

Cerita ini terlalau gamblang, penulis cerpen ini 'memamerkan' kemampuan bahasa Prancisnya atau memang tidak ada lagi istilah yang menggantikan?

Ah..saya kecewa


Helvry Sinaga
Judul: Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Kompas, 5 Juni 2011

Berprasangka yang tidak diikuti dengan berpikir kritis, seringkali merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam erpen ini, sekelompok orang yang menyatakan dirinya baik 'menyerbu' sebuah desa. Desa yang akan diserang diduga terdapat pemerkosa Mirah, anak Lurah. Isu itu diangkat karena tidak ada alasan lain untuk menyerang desa yang di dalamnya ada pencuri, penjahat, dan pelacur. Tanpa mengkritisi kebenaran informasi yang diterima, mereka menyerang dengan ganas. Tujuannya: membunuh seluruh penduduk desa tersebut.

Sebenarnya sudah dikonfirmasi kepada Mirah, siapakah pelakunya, namun Mirah tidak menjawab.

Helvry Sinaga
Judul: Air Matamu, Air Mataku, Air Mata Kita
Pengarang: Ayi Jufridar
Kompas, 29 Mei 2011

Ayi Jufridar adalah seorang penulis kelahiran Aceh. Ia telah menulis Novel Alon Buluek (dalam bahasa Aceh yang berarti: Gelombang Laut yang Dahsyat)yang terinspirasi dengan peristiwa tsunami 2004 di Aceh. Novel tersebut tersendat-sendat penulisannya sebab ia kadang terlarut dalam kesedihan ketika mengerjakannya, dan ia biarkan kesedihan itu terlarut dahulu.

Dalam cerpen kali ini, ia mengisahkan cinta seorang perempuan pada laki-laki yang sudah beristri. Perempuan itu menceritakan pada sahabatnya (narator) betapa ia sangat sedih sebab cintanya tak bersambut dan tak mungkin dilanjutkan. Narator menjadi tempat curahan air mata.

Helvry Sinaga
Kamus Cerita Abdul Muin
Koran Tempo, 29 May 2011
Pengarang: Raudal Tanjung Banua

Cerpen ini cukup mengkritik para orang-orang yang membuat buku atau karya tulis dengan copy-paste. Sekarang ini memang banyak buku-buku yang berjudul populer tetapi sumbernya adalah internet atau karya orang lain yang dibuat seolah-olah atas namanya.

Kamus yang disusun oleh pencerita/narator ini adalah istilah yang diperoleh selama di Jogja. Ada banyak istilah, namun sangat minim dicari artinya di internet. Si narator berusaha menyampaikan ke pembaca dengan cara yang unik, sebab sahabat yang menyusun kamus ini telah meninggal. menurut saya, cerpen ini unik penyampaiannya. Silakan disimak.

Helvry Sinaga
Desentralisasi Perayaan Buku
Ditulis oleh: Agus Irkham

Salah satu ukuran keberhasilan gerakan membaca adalah jika kegiatan literasi (membaca dan menulis) tidak hanya terpusat di ibukota. Tapi di daerah. Mulai dari provinsi hingga kabupaten. Bahkan kecamatan dan desa/kelurahan.

Apa pasal bisa dijadikan ukuran keberhasilan?

Karena letak persoalan literasi di Indonesia bukan pada rendah tingginya, tapi pada pemerataannya. Di satu tempat, ada begitu banyak orang yang sudah sadar dan tergerak untuk membaca buku. Tapi di lain tempat, gairah orang untuk beraktivitas menulis dan membaca (buku) masih rendah. Tak jarang justru dianggap tidak penting dan hanya buang waktu saja.

Helvry Sinaga
Judul: Tuan Alu dan Nyonya Lesung
Pengarang: Zelfeni Wimra
Koran Tempo, 15 Mei 2011

Pada awalnya saya tidak menduga jika Zelfeni akan menceritakan pohon kopi dan batu dengan perumpaan sebagus ini. Konsep pertemuan yang memang "jodoh"nya, tak dapat diduga-duga dan rasanya ajaib. Seperti kutipan berikut:

Apakah Tuan Alu didatangkan dari belantara untuk Nyonya Lesung? Atau sebaliknya, Nyonya Lesung didatangkan dari sungai untuk Tuan Alu

Baik Tuan Alu dan Nyonya Lesung berasal dari latar belakang berbeda, punya cerita kesepian dan cerita cinta, namun mereka bekerja sama dalam tangan satu orang.

Pengalaman masa lalu turut membentuk kearifan. Apa yang dahulu boleh jadi sesuatu hal yang pahit, sedih, indah, bagus, namun bila dibandingkan dengan keadaan 'kekinian' tampaknya hal-hal tersebut tidaklah berarti. Perhatikan yang dialami Tuan Alu:

Helvry Sinaga
Judul: Ikan Kaleng
Pengarang: Eko Triono
/1/

Sepertinya cerita ini seperti membaca berita. Tidak saya temukan nuansa sastra atau keindahan bercerita di sini. Biasa saja...datar...tidak perlu permenungan.
Memang harus diakui kedatangan tenaga guru dari Jawa di tempat-tempat seperti di Papua sangat membantu pendidikan.

bagaimanapun, persoalan ekonomi adalah persoalan yang tidak sederhana. Ini masalah yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia. Seperti dalam cerita ini, membuat ikan kaleng adalah keahlian mereka, supaya bisa makan dan hidup, mereka tidak menyadari bahwa pendidikan adalah cara untuk mengangkat diri dari kemiskinan dan kebodohan.

Helvry Sinaga
Judul: Belati dan Hati
Pengarang: Chairil Gibran Ramadhan
Kompas, 1 Mei 2011

Penulis dengan cerdas mengemas penantiannya pada dambaan hati. Rasa cinta yang tulus akan memampukan seseorang bergerak di luar kekuatan biasanya. "Aku" mengetahui dengan baik, bahwa untuk merebut gadis dambaannya, ia harus menukar tempat hatinya. Ia tak lupa ingin membekali Sang Gadis dengan sebilah belati, untuk melindunginya dari orang-orang yang hanya suka pada tubuhnya.

Helvry Sinaga
Judul: Nenek
Pengarang:Lie Charlie
Kompas, 24 April 2011

Tidak ada manusia yang sempurna. Karena sejak dilahirkan manusia sudah memiliki keberdosaan yang tinggal menunggu waktunya berbuah. Cerita ini berlatar seorang cucu yang menulis tentang pengalamannya bersama si Nenek. Nenek yang mungkin sebagian orang tidak beruntung bertemu dengannya, namun si Aku mengisahkan si Nenek dengan luka hati yang cukup dalam.

Helvry Sinaga
Judul: Ulat Bulu
Pengarang:  Romi Zarman
Korantempo, 24 April 2011

Dasar ulat bulu. Ulah siapakah yang menyebabkan populasinya meningkat? Akhirnya ulat bulu datang ke Senayan. Turut membuat gerah para anggota wakil rakyat. Cerita ini sebenarnya terlalu ringan, hanya menuangkan peristiwa terkini mengenai ulat bulu dalam sebuah kisah kecil seorang anggota DPR(D). Apakah cerita ini bermaksud "menyindir" anggota yang terhormat, karena setiap sidang paripurna, mereka akan memperoleh uang sidang.

Siapa ulat bulu sebenarnya? apakah ia perwujudan dari ketidakadilan? ataukah ia akibat dari penindasan? ulat bulu tidak mematikan, cukup membuat gerah saja. Itulah yang terjadi. Ulat bulu membuat gatal kulit penguasa.

Helvry Sinaga
Sang Penulis
Noor H. Dee
Koran Tempo, 17  April 2011

Seorang penulis yang merasa frustasi karena karya tulisnya tidak membawa perubahan. Mungkin setiap orang berbeda tujuannya menulis. Bagi saya, menulis menjadi keasyikan tersendiri karena saya tidak perlu dihakimi dengan segala macam kaidah menulis seperti di sekolahan.

Jadi, saya tak perlulah yaa menghentikan hobi menulis saya.


Helvry Sinaga
Judul: Orang-orang Larenjang
Pengarang: Damhuri Muhammad
Kompas, 17 April 2011

Kali ini saya mencoba untuk menarik cerita pendek kompas minggu tersebut ke sini. Sehingga nanti reviewnya bisa sekalian dengan apa isi cerpennya. Dalam suatu masyarakat tertentu, katakanlah seperti batak, tidak diperbolehkan menikah dengan semarga, bukan berarti tidak bisa dengan keluarga dekat seperti cerita ini. Sampai sekarang, saya belum memeroleh pemahaman mengapa tidak diperbolehkan. Apakah mungkin pelanggaran akan aturan adat menyebabkan karma di kemudian hari? saya belum pernah membaca kajian atau penelitian akan hal tersebut. Dalam cerita ini, saya mencermati, bahwa urusan adat dan nikah menikah adalah permasalahan sosial, kalaupun ada hal-hal di luar kemampuan manusia seperti kematian, itu adalah urusan Si Pemberi Hidup. Bukan manusia sama sekali. Seberapa banyakkah terjadi seperti Julfahri dan Nurhusni, yang atas nama cinta tidak memedulikan lagi penghargaan pada manusia lain. Apakah dengan status sosial dan pendidikan tinggi seolah tidak menghargai lagi hukum lokal? Harus diakui, memang ada aturan tradisional yang memang tidak relevan dan tidak rasional lagi dilakukan. Namun, bukan berarti mengatakan tidak setuju atau tidak sependapat dengan cara merendahkan sesama. Pelajaran ini yang sering terlupa bagi mereka yang ingin "menabrak" aturan adat.

Helvry Sinaga

Penulis : Uli Kozok
ISBN : 978-979-461-776-2
Dimensi : 14 x 21 cm
Jenis Cover : soft cover
Berat Buku : 210
Jenis Kertas : Book Paper
219 halaman
Harga Rp50.000,-

Masih dalam rangkaian membaca bersama tentang Sumatra, buku ini saya beli ketika acara bedah buku Sumatra Tempo Doeloe yang diselenggarakan di Kantor Berita Antara. Membaca kata pengantar buku ini cukup menarik, sebab buku ini diterbitkan, ternyata sudah dilakukan seminar di Universitas Negeri Medan tentang kesahihan bukti-bukti yang diungkap oleh Uli Kozok. Salah satu yang mempertanyakan keaslian naskah yang menjadi bukti Kozok adalah Profesor Bungaran Simanjuntak, namun Kozok berhasil mendapatkan arsip itu dan menjadi lampiran buku ini.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Botol Kubur
Pengarang: Arman AZ
Kompas, 10 April 2011

Siapa yang rela terlahir sebagai orang miskin? Siapa yang pernah bermimpi menjadi orang miskin? Apakah menghilangkan kemiskinan seolah melukis langit? Membaca cerita pendek ini saya mendapat gambaran dari pencerita bagaimana dari hari ke sehari rezeki diperjuangkan. Bukan maksud mau mencederai prinsip orang yang mengatakan: rezeki nggak kemana. Saya menyaksikan sendiri orang-orang (kebanyakan anak-anak) yang mengais tempat sampah, berkeliling memanggul karung mencari botol plastik atau botol kaca yang bisa mereka jual. Saya menduga mereka tidak bersekolah karena harus membantu orangtua untuk "memperjuangkan" rezeki. Tidak mencari sama dengan tidak makan. Suatu konsekwensi berat yang kejam. Saya juga mendengar cerita abang saya yang sewaktu kecil pas liburan harus bekerja memasukkan tanah ke dalam polyback dan diupah beberapa ratus rupiah per polyback yang diisi. Sekali lagi karena harus berjuang. Saya menilai diri saya, apa yang saya lakukan seusia itu?

Helvry Sinaga
Judul: Pusara
Pengarang: Yovantra Arief

Sebuah siklus di muka bumi, orang merayakan kelahiran dan meratapi kematian. Tetapi mungkin itulah penyeimbang bumi. Bumipun tak akan sanggup menampung seluruh manusia sekaligus.

Si penulis memaparkan sebuah keadaan awal dimana peristiwa kematian meninggalkan duka mendalam. Kematian adik dari Togar, sahabat dekatnya, membuat "aku" memahami kesedihan yang dialami Togar. Sebelumnya ada kakek dan neneknya yang meninggal. Dan sebuah pemandangan yang memilukan ketika di depannya sebuah truk melindas pengemudi sepeda motor dan tewas seketika.

Helvry Sinaga
Posted on March 29, 2011 by bukunya

by Okta Wiguna

Kerongkongan saya baru saja dimanjakan tegukan pertama ice cappuccino seorang kawan menyodorkan buku yang ditulis teman dekatnya. Tujuan pertemuan kami di sore itu memang buku yang berisi kisah perjalanan di mancanegara itu.

Kawan itu menyampaikan harapan penulis buku agar bisa mendapat kesempatan diresensi. “Cuma bisa meneruskan ya, tidak bisa janji akan dimuat,” kata saya. “Tidak apa-apa, dicoba saja,” jawabnya.

Buku itu memang terbilang unik dari segi isi, tapi desain sampulnya memang tak mendukung bahkan penulisnya sendiri tak terlalu menyukainya. Si penulis juga terbilang mau berkeringat. Berkeliling ke toko buku melihat bukunya, mengadakan kuis di akun Twitter sendiri dan juga lewat akun penerbitnya. Mati-matian dia berusaha agar bukunya itu terus hidup.

Helvry Sinaga
Lagi musim menurunkan pemimpin di Timur Tengah. Zine el-Abidine Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, Muammar Khadafi di Libya. Seperti diketahui, rakyat menuntut agar pemimpin yang sudah lama duduk di puncak tertinggi pemerintahan di negara itu untuk bersedia diganti dengan pemimpin baru.

Apa kira-kira penyebabnya? tidak bisa dipungkiri, akibat perkembangan teknologi informasi yang luar biasa tidak dapat membendung informasi luar yang masuk ke negara mereka. Saya bertemu dengan seorang sejarawan yang mengatakan bahwa satu kebodohan yang dilakukan oleh penguasa orde baru adalah dengan menguasai sejarah. Mereka melegitimasi sejarah yang direkayasa demi kepentingan si bapak yang suka tersenyum itu. Dulu tidak ada namanya internet, majalah atau buku yang mengabarkan informasi yang dinilai menentang pemerintah, disikat habis. Pemerintah menguasai informasi dengan ketat lewat Departemen Penerangan-nya yang hebat itu.

Helvry Sinaga
Judul: Tradisi Telur Merah
Pengarang: Sanie B. Kuncoro
Kompas, 27 Maret 2011

Pesta telur merah dan jahe berasal dari budaya Tiongkok kuno. Sama seperti di negara negara lain, angka kematian bayi di Tiongkok zaman dahulu cukup tinggi sebelum berkembangnya ilmu pengobatan modern pada abad ke 20. Oleh karenanya, seorang bayi yang telah berusia satu bulan kemungkinan besar dapat bertahan hidup sampai dewasa, makanya diadakan sebuat pesta untuk merayakan hal itu. (Sumber dari sini). Satu butir telur untuk penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.

Helvry Sinaga
Judul: Mar Beranak di Limas Isa
Pengarang Guntur Alam
Kompas, 20 Maret 2011

Bercerita tentang Bi Maryam yang akrab disapa Bi Mar bersama suaminya Mang Isa. Mereka berdua mengharapkan anak laki-laki, padahal sudah punya 14 anak perempuan yang cantik-cantik.

Bi Mar mengikuti saran tetangganya yang menyuruh Bi Mar untuk mencuri sereket dari kayu milik perempuan yang telah beranak laki-laki dan sereket itu digunakan untuk menanak nasi. Nasi yang lengket di sereket itu dimakan, dan sereket itu ditaruh di bawah kasur kapuk.

Helvry Sinaga
Saya sedang tidak bersemangat membaca sekarang. Kebanyakan baca dokumen laporan dan angka-angka di file excel, membuat agak eneg baca banyak. Masih ada satu bahan lagi yang harus saya baca. Kok masih berasa males yaa. Nggak enak dapat message dari teman kemarin, "Kok nggak ada bau-baunya, kok belum ada belajar-belajarnya?" jiaaaah...tertohok sodara sodara.

memang godaan itu sungguh membuat iman goyang. Kadang kala mengikuti godaaan lebih mengasyikkan...:)

Helvry Sinaga
Di tengah keprihatinan terhadap tidak adanya keseriusan pemerintah terhadap kekayaan literatur Indonesia, saya harap generasi muda tidak demikian. Bisa saja dong ketemuan di perpustakaan atau di toko buku. Tidak mesti di kafe atau mall.
Eh...apalagi seperti begini...Romantis bangetsss....


Helvry Sinaga

Judul: Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka
Judul Asli: Witnesses to Sumatra: A Travellers' Anthology
Penyusun: Anthony Reid
Penyunting: Dewi Anggraeni
ISBN13: 9789793731940
xxiv+ 424 hlm
Penerbit: Komunitas Bambu, 2010

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari orang-orang yang pernah tinggal di Sumatra. Berbagai laporan, kesan serta kenangan ditulis sebagai warisan yang berharga bagi kita. Ditulis oleh 39 orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis terbanyak berasal dari Inggris, yaitu 11 orang. Posisi kedua terbanyak yang berasal dari Portugis dan Belanda masing-masing 5 orang. Posisi ketiga berasal dari Amerika dan Italia, masing-masing 3 orang. Dan dari dalam negeri sendiri, tulisan Tan Malaka serta Muhammad Radjab turut memperkaya kupasan tentang Deli pada awal abad 20. Profesi para penulis ini bermacam-macam. Yang paling banyak adalah sebagai pedagang. Profesi lainnya adalah sebagai wartawan, arkeolog, misionaris, masinis kapal, seniman, pegawai VOC, pegawai EIC, wakil gubernur, pembuat layar kapal, pelancong, ahli bedah, sejarawan, utusan Raja,petualang, penulis, dan sebagainya.

Periode penulisan catatan ini juga berbeda-beda. Tulisan paling awal adalah Sulayman, seorang pedagang Arab yang menceritakan tentang Kerajaan Sriwijaya pada Tahun 851. Periode Abad 13-14 ditulis oleh Marco Polo dan Ibn. Batutta. Abad ke 15 ditulis oleh 5 orang. Abad 17 ditulis 10 orang. Abad 18 oleh 3 orang, abad 19 oleh 10 orang, serta periode abad 20 ditulis oleh 8 orang.

Anthony Reid menyusun tulisan-tulisan tersebut dalam 7 bagian. Bagian Pertama dimulai dengan pendaratan pertama di Asia Tenggara dan diakhiri Bagian Tujuh yaitu Sumatera sebagai Tanah Jajahan dan Keruntuhannya. Jika kita memilah-milah Sumatra dengan provinsi yang ada sekarang, maka provinsi Nanggroe Aceh Darusallam-lah yang paling banyak diceritakan, yaitu 17 tulisan. Selanjutnya Provinsi Sumatra Utara, 11 tulisan, Provinsi Sumatra Barat, 4 tulisan, Provinsi Sumatra Selatan 3 tulisan, Provinsi Bengkulu dan Riau masing-masing 2 tulisan.

Bagaimana orang menyebut Sumatra mula-mula?
Pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib). Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatra sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai (Barus).

Pertanyaan utama ialah, apa yang menarik bagi para orang zaman dulu datang ke Sumatra? Jawabannya: Karena emas. Selain itu, selama abad 16 dan 17, Sumatra menjadi penghasil lada terbesar di pasar internasional. Tidak diketahui bagaimana lada bisa menjadi komoditi utama, namun diduga pedagang dari India yang membawa lada ke Sumatra untuk ditanam sebab sebelumnya sudah berhasil ditanam di Malabar. Selanjutnya Sumatra menjadi koloni yang menguntungkan bagi Belanda karena hasil tanahnya yang diolah dalam perkebunan karet, kelapa sawit, teh, coklat, dan tembakau menjadi komoditas dagang yang paling populer.

Catatan Perjalanan
Dalam buku ini, Orang Eropa yang pertama kali mengunjungi Sumatra adalah Marco Polo. Karena tulisannyalah, akhirnya menyebabkan banyak orang Eropa mendatangi Pulau yang tersohor karena emas dan keindahan alamnya ini. Diperkirakan ia mengunjungi Sumatra pada Tahun 1290an. Selanjutnya diikuti oleh Cornelis de Houtman dari Belanda pada tahun 1596 di Malaka. Pada awalnya orang-orang dari Eropa datang ke Sumatra tujuannya adalah berdagang. Namun tidak hanya perdagangan yang dibawa oleh orang-orang itu, namun juga agama dan budaya. Baik Portugis, Belanda, maupun Inggris tidak ada yang berani menguasai kerajaan-kerajaan (Islam) yang ada di Sumatera. Inggris membuat pangkalan dagang di Bencoleen (Bengkulu) sejak 1700, dan Belanda membuat pangkalan dagang di Padang (sejak 1660an), sedangkan Inggris mendapat keistimewaan berdagang dengan Aceh. Pelayaran berbulan-bulan di laut, masuk dan keluar pelabuhan, kesan pada alam dan orang di daerah baru, membuat salah seorang dari rombongan untuk membuat tulisan perjalanan.

Jalur perdagangan untuk mencapai Sumatra terdiri dari tiga jalur, lewat Selat Malaka, Selat Sunda, atau melewati Semenanjung Malaya. Jalur Selat Malaka menjadi favorit sebab lautnya tidak seganas barat sumatra, komoditas yang diperdagangkan lebih bervariasi seperti lada, kapur barus, kain sutra, emas.

Emas yang disebut-sebut di Sumatra diincar oleh pendatang yang datang ke Minangkabau. Tempat yang diduga banyak mengandung emas ada di daerah Tanah Datar. Thomas Dias, utusan VOC, merasa perlu menjalin hubungan dengan raja di Pagaruyung agar memperoleh akses dagang dengan penambang emas di sana. William Damper (Inggris) mencatat bahwa di Aceh karena tambang emas dan seringnya orang asing datang, orang Aceh jadi hidup kaya dan berlimpah (h.133). Dampier mengatakan bahwa emas di Aceh dari gunung yang letaknya jauh dari Aceh,letaknya lebih dekat ke pantai barat daripada Selat Malaka (h.134).

Kejayaan Sriwijaya yang pernah gemilang juga memikat Sir Thomas Stanford Rafless mengunjungi Minangkabau untuk mencari sisa-sisa peradaban kuno tersebut. Kunjungannya ke kerajaan Pagaruyung untuk mendapat sekutu dari raja-raja disana, ia tuliskan dalam laporannya ke Inggris pada 1818.

Penelitian mencari reruntuhan kerajaan tersebut digeluti oleh Friedrich Schnitger, arkeolog asal Belanda yang menyusuri sungai Barumun di Padang Lawas. Ia menemukan candi yang dinamakan Candi Sangkilon, yang menyimpulkan bahwa pengaruh Hindu dan Budha terdapat wilayah Batak bagian selatan. Schnitger melanjutkan penelitian dua orang geolog sebelumnya yaitu Junghuhn (1847), Von Rosenberg (1878), dan P.V. van Stein Callenfels yang mengunjungi area ini pada 1920.

Populernya tanaman perkebunan karet dan tembakau di awal abad 20, menyebabkan Belanda mendirikan perkebunan di tanah Deli. Manajemen perkebunan yang mendatangkan kuli kontrak dari Jawa dan kehidupan para administrateur perkebunan ditulis oleh suami istri Laslo Szekeley dan Madelon Szekely Lulofs serta Tan Malaka.

Prasangka
Francois Bernier (1620-1688) pernah menyarankan di majalah ilmiah Journal des Scavants agar manusia dikategorikan menurut warna kulit, postur dan bentuk muka.Bangsa Eropa merasa bahwa peradaban mereka lebih tinggi dan ras kulit putih lebih unggul dari ras kulit berwarna. Dan sepertinya pengaruh Belanda di nusantara membawa dampak sosial yang tidak sedikit.Pembedaan kelas masyarakat karena status sosial menjadi warisan hingga sekarang ini. Orang Sumatra dalam tulisan orang yang berkunjung ke sini digambarkan dalam stereotipe negatif. Umumnya mereka menggambarkan bahwa orang sumatra adalah bangsa kanibal.

Marco Polo mencatat bahwa penduduk Sumatra adalah penyembah berhala dan pemakan orang. Jika ada yang sakit, maka mereka akan memanggil penyihir (h.10) dan jika yang sakit itu mati, mereka akan menyantap tubuh yang mati hingga ke sumsum dan tulang-tulang orang itu (h.11). Emilio Modigliani, seorang ilmuwan penjelajah asal Italia, menyelidiki Tanah Toba dan mempelajari bagaimana air danau Toba dapat keluar. Ia mendapat kesulitan karena daerah yang berdekatan sedang terjadi perang. Ia bertemu dengan Guru Somalaing, Modigliani tidak dibunuh karena ia dianggap utusan Raja Rum (Roma, Italia) yang dipercaya orang Batak sebagai bangsa yang mengusir Belanda. Modigliani mencatat bahwa pada umumnya, Orang Batak sangat curiga dengan pendatang asing dan tidak segan-segan membunuhnya, namun jika orang Batak sudah mengenal Anda dan persaudaraan sudah terjalin, maka ia rela membela anda dengan nyawanya. (h.252)

Memang ada anggapan di benak orang Eropa bahwa orang batak terkenal kanibal, namun pengalaman Burton mencatat bahwa yang dialaminya justru sebaliknya. Orang Batak di lembah Silindung sangat cinta damai. sampai pada suatu kesimpulan,Richard Burton misionaris yang bertugas di Tanah Toba mencatat bahwa perilaku orang batak yang cinta damai kemungkinan adalah wujud ketakutan dan pengaruh takhyul jahat yang mengekang.(h.221). Selain itu Burton berkesimpulan mengapa Orang Batak tidak penakut, karena dalam konsep berpikir Orang Batak tidak ada pahala dan hukuman di masa depan, mereka membayangkan akan semakin kuat jika roh berpisah dari raga (h.228).

Dampier juga mencatat perilaku orang Cina di Aceh. Jika aktivitas dagang sedang susah, maka aktivitas judi yang meningkat. Orang Cina suka dan pandai berjudi, diibaratkan Hidup tanpa judi sama dengan hidup tanpa makan (h.137).

Inferior
Sekalipun bangsa Eropa beranggapan bahwa ras mereka adalah ras yang unggul dibanding ras lain, namun untuk alasan tertentu mereka harus mengikuti aturan dimana mereka berpijak. Beberapa Penulis kisah perjalanan ini menuliskan betapa wibawa raja di Sumatra diterima dengan takut dan hormat oleh para pedagang yang hendak berniaga di sana. Ini menunjukkan bahwa budaya timur tidak inferior pada budaya barat yang (katanya) maju.

Francois Martin (Prancis) mencatat pada Tahun 1602 di Aceh, setelah memberikan barang pecah belah dan hadiah pada raja, raja menghadiahkan pakaian khas daerah Aceh kepada Jenderal kapal Monsieur de la Berdelieredan meminta supaya dikenakan di hadapan raja (h.73). Senada dengan hal itu, Thomas Bowrey (Inggris) mencatat pada tahun 1678, pada masa pemerintahan ratu Aceh, mereka menghadap sang ratu. Setelah memberi hadiah pada Ratu, Ratu juga menghadiahkan pakaian dan sorban kepada komandan kapal Inggris. Para pejabat istana akan membantu komandan kapal mengenakan pakaian hadiah tersebut karena ia harus mengenakannya saat itu juga (h.126). Thomas Forrest (Inggris) mencatat ketika ia menghadap raja Aceh, ia duduk dalam keadaan telanjang kaki lalu bersila dengan menekuk kaki dalam-dalam. menurut saya pose duduk seperti ini melelahkan (h.273). Walter Murray Gibson, petualang dari Amerika mencatat ketika ia menerima jamuan dari raja Palembang, ia mencicipi hidangan sarang burung walet. Bayangkan, wadah untuk meletakkan dan menetaskan telur, dan tempat bagi anak-anak burung membuang kotoran beberapa hari sebelumnya, kini disajikan kepada perut saya yang beradab sebagai wujud kemewahan dari perjamuan ala Timur! (h.296).

Nasib Buruh Kebun Deli
Dua penulis Indonesia ini awalnya tidak masuk dalam daftar para penulis buku ini. Namun, Anthony Reid mengusulkan kepada Oxford University Press supaya memasukkan tulisan Tan Malaka dan Muhammad Radjab ke dalam buku ini. Kedua penulis ini sama-sama menyoroti perlakuan yang tidak fair para pelaku bisnis perkebunan kepada para kuli kontrak. Apa yang dituliskan (walaupun fiksi) oleh suami istri Lulofs, tidak jauh berbeda dengan tulisan Tan Malaka dan Radjab. Tan Malaka sempat menjadi asisten inspektur sekolah khusus buruh Indonesia di perkebunan Senembah Company, sedangkan Rajab menulis laporan perjalanannya untuk tempat kerjanya, Kantor Berita Antara.

Tema yang diangkat kedua penulis ini mengenai perkebunan Deli adalah kemiskinan kaum buruh. Rajab mencatat bahwa kemiskinan disebabkan bukan karena produksi perkebunan yang kurang, tapi keserakahan para pemilik kebun pribumi yang tidak kenal belas kasihan memeras tenaga buruh untuk kekayaan pribadi (h.374). Sementara Tan Malaka menyoroti gaji buruh pribumi yang rendah. Gaji yang rendah menyebabkan si buruh berutang, dan utang menyebabkan si buruh berjudi, dan akibat kalah judi, si buruh harus mengikat kontrak lagi. Malaka menambahkan 90% dari buruh tersebut tak punya harapan untuk naik pangkat (h.334).

Kritis
Satu hal telah terbukti dengan membaca kisah tulisan ini bahwa ungkapan yang dikatakan Bung Karno bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 3,5 abad adalah tidak benar. Kolonialisme baru terjadi pada abad 18. Selain itu, dulu belum ada konsep negara kesatuan Indonesia, Yang terjadi sesungguhnya adalah Belanda dibuat pusing dengan perlawanan rakyat (Sumatra) yang dahsyat, sebut saja Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Padri (1821-1837).

Pohon geulumpang atau kelumpang (Sterculia foetida, LINN), yang tumbuh di halaman Mesjid Raya, oleh pihak Belanda dinamakan Kohlerboom (pohon Kohler) karena tak jauh dari situ Jenderal Kohler tewas pada tanggal 14 April 1873.


Kehadiran terjemahan buku ini cukup menambah perbendaharaan buku-buku sejarah yang sudah ada, Walau disusun untuk para pembaca Eropa, buku ini tidak kalah menarik, sebab kita membaca dari tulisan orang pertama yang menyaksikan dan yang berkunjung langsung ke Sumatra, walaupun akan ada perbedaan konteks karena jarak penulisan yang cukup jauh dengan zaman sekarang dan mungkin terjadi perbedaan makna karena telah melalui proses penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa inggris baru ke bahasa indonesia. Masih banyak misteri yang belum terungkap pada Sumatra. Tugas kita selaku pembaca (generasi) sekarang adalah mengkritisi dan mempersempit jarak, Mengkritisinya dengan cara membaca sumber-sumber lain, mendiskusikan, serta merekonstruksi Sumatra menjadi suatu pemahaman yang utuh. Sebab Sumatra juga adalah kekayaan Indonesia.

@hws22032011


Labels: 3 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Baru saya menyadari di kedua lagu Michael Jackson ini mengandung kalimat yang sama, yaitu: Just Call My Name and I'll Be There.
Mari kita saksikan



One day in your life
you'll remember a place
Someone's touching your face
You'll come back and you'll look around you

One day in your life
You'll remember the love you found here
You'll remember me somehow
Though you don't need me now
I will stay in your heart
And when things fall apart
You'll remember one day...

One day in your life
When you find that you're always waiting
For the love we used to share
Just call my name
And I'll be there

(Oh-oh-oh-oh-oh...)

You'll remember me somehow
Though you don't need me now
I will stay in your heart
And when things fall apart
You'll remember one day...

One day in your life
When you find that you're always longing
for the love we used to share
Just call my name
And I'll be there

(Ohh...)



You and I must make a pact, we must bring salvation back
Where there is love, I'll be there
I'll reach out my hand to you, I'll have faith in all you do
Just call my name and I'll be there
Chorus:
And oh - I'll be there to comfort you,
Build my world of dreams around you, I'm so glad that I found you
I'll be there with a love that's strong
I'll be your strength, I'll keep holding on - yes I will, yes I will
Let me fill your heart with joy and laughter
Togetherness, well that's all I'm after
Whenever you need me, I'll be there
I'll be there to protect you, with an unselfish love I respect you
Just call my name and I'll be there
(chorus)
If you should ever find someone new, I know he'd better be good to you
'Cos if he doesn't, I'll be there
Don't you know, baby, yeah yeah
I'll be there, I'll be there, just call my name, I'll be there
(Just look over your shoulders, honey - ooh)
I'll be there, I'll be there, whenever you need me, I'll be there
Don't you know, baby, yeah yeah
I'll be there, I'll be there, just call my name, I'll be there...
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Sedihnya film Indonesia jka dibanding dengan film-film dari luar. Kelas film Indonesia sepertinya hanya seputar arwah, pocong, dan kemolekan tubuh.

Saya belum tahu apakah itu menggambarkan selera tontonan masyarakat pada umumnya, mengingat jumlah rakyat Indonesia yang terbesar justru di kalangan menengah ke bawah. Sama halnya seperti di televisi, penonton disuguhi dengan sinetron-sinetron yang memiliki jalan cerita tidak jelas. Akhirnya orang-orang (termasuk saya) beralih ke saluran televisi berbayar untuk menonton tayangan bermutu.

Terlalu naif jika kita mengatakan bahwa itu sepatutnya adalah tanggung jawab pemerintah. Anehnya, tidak ada masyarakat yang mengkritisi bahwa seharusnya perihal tontonan itu bagus atau tidak itu adalah hak kita sebagai konsumen. Dilihat dari segi ekonomi, seharusnya tidak ada barang yang gratis. Kalaupun gratis, kita membayarnya bukan dengan sejumlah uang, tapi dengan membuang waktu kita dengan percuma dengan menonton iklan komersil dari televisi tersebut.

Sebenarnya masyarakat kita terlalu enak dengan menikmati siaran olahraga sepakbola dengan gratis. menonton konser dengan gratis. Nah apakah berani kita bilang untuk tayangan lainnya, seperti sinetron atau reality show yang memuakkan adalah tanggung jawab pemerintah atau stasiun televisi itu juga?

Kembali ke film tadi. Semoga tayangan Indonesia semakin bermutu. Sudah banyak putra Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk belajar syuting, penyutradaraan, sinematografi, dan sebagainya, dan kabar baik lainnya banyak film yang diangkat ke layar lebar berasal dari novel-novel karya putra bangsa. Saya berharap karya seperti Laskar Pelangi, Rumah Tanpa Jendela. Ketika Cinta Bertasbih, dan sebagainya bisa menembus pasar internasional.

Semoga
@hws17032011
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Judul: Malam di Kota Merah
Pengarang: Toni Lesmana

Bersudut pandang seorang yang ditodong oleh perampok di suatu tempat, dimana ternyata sang perampok belum mahir menggunakan pisau sebagai alat bantu rampok.
Pisau itu akhirnya menancap di kening sang pemuda, dan pemuda itu membawa pisau yang tertancap itu kemana-mana.

Orang-orang menjadi takut melihatnya sebab darah begitu banyak keluar dari kepalanya, namun tidak ada yang berusaha mengobatinya.
Si pemuda tidak rela mati begitu saja karena pisau itu, ia ingin mati dalam kebahagiaan, mati karena rindu yang mendalam pada kekasih, dan menghadap Tuhan dalam keadaan hidup.

Apakah karena cerita ini bersastra tinggi, saya tak mampu mencernanya dengan baik. Kelihatannya si tokoh utama sangat gelisah. Peristiwa perampokan yang berujung pada penikaman, adalah pemicu dari konflik yang terjadi dalam dirinya. Tokoh utama sangat kesepian, bahkan di kota yang ramai seperti Kota Merah. Apakah mungkin sebuah kritikan pada kota metropolitan yang sudah kehilangan toleransi pada sesama yang tertindas? atau menggambarkan sebuah kepasrahan yang membuat akal sehat menjadi hilang?

Mungkin saja....
@hws16112011

Helvry Sinaga
date:

rsvp by:
venue:
t

ype:
added by:
March 13, 2011 01:00PM -- March 13, 2011 03:00PM
March 13, 2011 01:00PM
Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta, Gd. Nyi Ageng Serang Lt. VII-VIII Jl. HR Rasuna Said Kav. C22 Jakarta Selatan, ID
author appearance


Sobat Perpus

Hai Sobat Perpus,

Sudah baca artikel Kembali Ke Perpustakaan oleh Amang Suramang (Penulis kreatif, mantan moderator komunitas pembaca aktif Goodreads Indonesia periode 2008-2010, inisiator berdirinya gerakan Sobat Perpus)? Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa untuk mengaktifkan perpustakaan publik yang ada diperlukan partisipasi aktif masyarakat. Salah satunya dengan program Sobat Perpus. Kegiatannya berupa mendata dan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan yang ada, mengenal pustakawannya dan melihat koleksi-koleksi buku yang ada.

Menindaklanjuti hal tersebut, Goodreads Indonesia mengajak teman semua untuk mengikuti kegiatan sobat perpus dengan mengunjungi:

Tempat: Perpustakaan Umum Daerah DKI Jakarta
Alamat: Gd. Nyi Ageng Serang Lt. VII-VIII Jl. HR Rasuna Said Kav. C22 Jakarta Selatan
Hari/Tanggal: Minggu/ 13 Maret 2011
Waktu: 13.00-15.00 WIB
Kegiatan: Mendaftar sebagai anggota perpustakaan (gratis), berkeliling perpustakaan sambil melihat dan membaca koleksi buku yang ada dan diakhiri dengan diskusi bersama pustakawan (Lucky Astarani)

Kegiatan ini tidak dipungut biaya sama sekali. Bagi anda yang ingin ikut, bisa langsung datang ke tempat acara atau bisa berkumpul di area foodcourt Pasar Festival Kuningan Jakarta Selatan. Dari pasar festival tersebut kita akan berangkat bareng ke perpustakaan pada pukul 12.50 WIB.

Yuk kembali ke Perpustakaan!!!

CP: Harun Harahap 085692593710
Link Thread Terkait
Labels: 0 comments | | edit post