Helvry Sinaga

Gaya Tutur Novel Metropop Semakin Mengglobal

jakarta,kompas Perkembangan ilmu teknologi yang pesat mengakibatkan hilangnya batas-batas sekat komunikasi di seluruh penjuru dunia. Dalam khazanah novel populer Indonesia, muncul karya-karya metro populer atau metropop yang banyak menggunakan judul-judul berbahasa Inggris. 

Diah Ariani Arimbi, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan, dulu pada awal kemerdekaan hingga 1970-an, segala sesuatu yang "berbau" Barat selalu diidentikkan dengan hal-hal negatif, potensial mengakibatkan dominasi dunia Barat, dan mengancam hilangnya akar budaya. Namun, generasi muda saat ini tidak lagi melihat dengan persepsi itu karena siapa pun kini bisa menjadi lokal sekaligus transnasional karena antara lokal dan global tak lagi terpisahkan.

"Ini fenomena urban di mana perkembangan media sosial dan teknologi memberi pengaruh besar. Meski demikian, menggunakan bahasa Inggris tidak berarti bahwa seseorang tidak lagi cinta dengan Indonesia," kata Diah, pekan lalu, di Surabaya, Jawa Timur.
Novel-novel metropop menyasar pembaca berumur sekitar 20 tahun yang rata-rata sangat dekat dengan penggunaan bahasa Inggris, baik melalui gawai, komunikasi sehari-hari dengan temanteman, maupun aktivitas mereka di sekolah atau kampus. Unsur kedekatan dengan bahasa Inggris inilah yang dimanfaatkan para penulis untuk mendekatkan novel-novel mereka dengan anakanak muda tersebut.
Gaya bahasa novel metropop ringan dan populer serta menyentuh fenomena kehidupan urban di metropolitan. Novel-novel jenis ini kini sedang marak.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Novel Sastra Populer untuk Tumbuhkan Minat Baca

JAKARTA, KOMPAS — Novel fiksi bergaya bahasa ringan kian laris di pasaran. Beberapa penerbit menjadikan jenis buku ini sebagai salah satu produk unggulan. Novel jenis ini cocok untuk dijadikan media untuk menumbuhkan minat baca seseorang.
Toto S
CEO Penerbit Mizan Sari Muetia, Senin (21/9), menjabarkan ada beberapa buku sastra populer yang tengah digandrungi masyarakat, seperti Dilan I dan Dilan II karya Pidi Baiq yang diterbitkan hingga 56.000 eksemplar atau Ayah karya Andrea Hirata yang dicetak hingga 60.000 eksemplar.
"Untuk penyerapannya sendiri berkisar 13.000 per bulan. Dalam kondisi ekonomi seperti ini, penjualan sebesar itu masih bisa dikatakan sukses," ujarnya.
Tingginya penyerapan buku sastra populer ini membuktikan bahwa minat masyarakat untuk membaca buku yang bergaya bahasa ringan dan menekankan unsur rekreatif cukup besar.

Sari mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan buku jenis ini semakin populer, antara lain ketenaran novelis. Terdapat pembaca novel yang sangat fanatik pada karya novelis tertentu.
Hal ini terlihat dari beberapa nama yang selalu ditunggu hasil ciptaannya. Andrea Hirata, misalnya, karyanya yang berjudul Ayah kini termasuk menjadi salah satu novel terlaris. Itu tidak lepas dari banyaknya penggemar novel yang menilai karya Andrea sangat inspiratif, salah satu karya yang paling populer adalah Laskar Pelangi. "Bahkan, buku Laskar Pelangi diperkirakan terjual hingga 5 juta eksemplar," ujarnya.

Keterkaitan film dan novel juga tak bisa dipisahkan, keduanya seakan memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Saat novel itu laku di pasaran, maka akan diangkat ke perfilman. Sebaliknya, novel ada juga yang sebelumnya tidak dikenal tetapi setelah dibuat versi filmnya akan laku di pasaran.

Komunitas dan media sosial
Keberadaan komunitas juga cukup berpengaruh pada minat seseorang untuk membaca sebuah novel. Hal ini terlihat pada novel Dia adalah Dilanku. Selain gaya bahasanya yang unik dan ringan untuk dibaca, peran komunitas juga cukup berpengaruh.
"Bahkan, ada kelompok yang membela Dilan, ada juga kelompok yang membela Milea. Secara tidak langsung perdebatan ini akan menimbulkan rasa penasaran bagi orang yang belum membacanya," kata Sari.
Sang penulis, Pidi Baiq, pun merupakan novelis yang aktif di media sosial membuat karyanya semakin populer. Ada beberapa penulis yang belum begitu dikenal, tetapi karyanya dibaca banyak orang karena media sosial.

Editor Senior Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Candra Gautama mengatakan, tingginya angka penjualan novel fiksi bergaya bahasa ringan menunjukkan bahwa kecenderungan minat baca masyarakat tidak lagi mementingkan kedalaman cerita. "Kaum muda saat ini lebih memilih bacaan yang tidak perlu mengerutkan dahi," katanya.
Bahkan, beberapa buku yang isinya hanya berupa kutipan pun tetap diburu, seperti buku 88 Love Life karya Diana Rikasari, misalnya, sudah dicetak hingga berkali-kali karena jumlah peminatnya tergolong tinggi. "Buku jenis ini diminati karena berisi tentang resep-resep bagaimana menjalankan kehidupan," kata Candra.

Buku bernilai sejarah
Candra mengatakan, selain novel percintaan bergaya bahasa ringan, buku yang berisikan tentang kisah-kisah sejarah juga diminati. Ada beberapa buku terbitan KPG yang laris, seperti Kota di Djawa Tempo Doeloe, Seri Tempo: Aidit, Seri Tempo Tan Malaka, Seri Tempo Benny Moerdani, Sejarah Melayu, dan buku berisi kisah sejarah lainnya.
Hal ini membuktikan ada kerinduan dari sebagian kalangan untuk mengingat kembali sejarah masa lalunya dan mengambil inspirasi dari tokoh tersebut. Mereka menganggap kehidupan masa lalu jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan zaman sekarang. "Dengan membaca buku jenis ini, biasanya mereka kerinduan untuk mencari akar bangsa," ujar Candra.
Pengamat sastra Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengatakan, tren ini bukanlah hal-hal baru karena sejak dulu novel jenis ini memang sudah digemari.

Misalnya novel Lupus yang menceritakan kehidupan remaja, termasuk cerita-cerita cinta khas SMA. Novel itu bisa bertahan hingga satu dasawarsa. Novel jenis ini menekankan pada fungsi rekreatif, yaitu menghadirkan hiburan dan rasa senang bagi pembacanya karena jalan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Tak heran, banyak buku jenis ini lebih dicetak hingga berkali-kali.
Namun, ada beberapa kelemahan dari novel populer ini, yakni kebanyakan ceritanya tidak berdasarkan realitas yang terjadi. Kebanyakan dari novel seperti ini menghadirkan cerita yang menjual mimpi.

Berbeda dengan buku sastra yang lebih mengedepankan realitas dan menggiring pembacanya untuk berpikir, merenungkan bahkan menguat pada cerita yang disajikan. Misalnya novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Slamet Hidayat Adrai yang berisikan tentang kehidupan anak jalanan yang berada di pinggiran rel. "Kisah ini menampilkan kehidupan yang benar-benar terjadi di masyarakat," ujarnya.

Maman mengatakan, tidak ada yang salah dengan cerita yang disajikan karena memang memiliki pangsa pasar yang berbeda. Bahkan, keduanya bisa saling melengkapi. Maman menjelaskan, untuk pembaca pemula, cerita populer memang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan minat baca. Jika telah terbiasa, mereka akan tertantang untuk membaca buku yang lebih berkualitas dan memancing pembaca untuk lebih berpikir.
Helvry Sinaga

Popularitas Perpustakaan Semakin Pudar Dilibas Digital

Perkembangan teknologi semakin memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi. Sumber ilmu pengetahuan yang pada masa lalu berada di ruang-ruang perpustakaan, kini berada dalam genggaman gawai. Internet menjadi jalan pintas bagi publik untuk mengonsumsi informasi. Popularitas perpustakaan di tengah masyarakat semakin pudar.
Peserta mengikuti lomba membuat menara buku dalam rangkaian peringatan Hari Kunjung Perpustakaan 2015 di Museum Bank Indonesia di Surabaya, Minggu (13/9). Melalui sejumlah permainan edukatif bertema buku, kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia ini mengajak masyarakat umum khususnya generasi muda untuk gemar ke perpustakaan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTAPeserta mengikuti lomba membuat menara buku dalam rangkaian peringatan Hari Kunjung Perpustakaan 2015 di Museum Bank Indonesia di Surabaya, Minggu (13/9). Melalui sejumlah permainan edukatif bertema buku, kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia ini mengajak masyarakat umum khususnya generasi muda untuk gemar ke perpustakaan.
Selama beberapa tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan terus turun. Hal itu setidaknya tampak dari merosotnya jumlah kunjungan masyarakat ke Perpustakaan Nasional selama lima tahun terakhir.
Perpustakaan terbesar dan memiliki koleksi paling lengkap di Indonesia itu rata-rata hanya dikunjungi 403.000 orang per tahun. Kondisi ini jauh di bawah negara Singapura. Di negara tetangga yang jumlah penduduk jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Indonesia itu,
Helvry Sinaga

Literasi Tinggi untuk Pengetahuan dan Hiburan

Minat remaja untuk membaca guna mencari informasi dan pengetahuan ternyata tinggi. Bacaan di luar buku pelajaran rajin dilahap. Ini adalah kabar gembira menyambut Hari Literasi Internasional pada tanggal 8 September mendatang.
Warga mengisi waktu dengan membaca buku di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta, Rabu (8/7). Membaca buku merupakan aktivitas yang menyenangkan dan menambah pengetahuan.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGWarga mengisi waktu dengan membaca buku di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta, Rabu (8/7). Membaca buku merupakan aktivitas yang menyenangkan dan menambah pengetahuan.
Kedekatan anak muda dan kegiatan membaca terekam dalam survei Litbang Kompas melalui telepon terhadap siswa dan siswi SMA di lima kota besar pada awal Agustus lalu. Delapan dari 10 responden siswa mengaku masih meluangkan waktu khusus untuk membaca selain buku pelajaran sekolah.

Semangat membaca di kalangan remaja selaras dengan hasil survei UNESCO tahun 2011. Menurut survei ini, semakin muda kelompok usia penduduk di Indonesia, kian tinggi tingkat literasi. Kadar literasi menggambarkan kemampuan membaca sekaligus memahami isi tulisan. Hasil survei juga menunjukkan minat baca orang Indonesia secara keseluruhan hanya bernilai 0,001. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang masih punya minat baca tinggi.
Helvry Sinaga

Dongeng Menumbuhkan Minat Baca Anak

JAKARTA, KOMPAS — Dongeng dapat menumbuhkan minat membaca pada anak-anak. Kebiasaan mendengarkan cerita lewat cara yang menyenangkan juga dapat merangsang daya imajinasi dan kreativitas mereka.
"Minat baca anak Indonesia masih rendah karena pendekatan, akses, dan kesempatan anak pada bahan bacaan masih minim dan tak menarik. Mendongeng adalah pendekatan terbaik untuk mengajak anak membaca buku," kata Manajer Program dan Pengembangan Yayasan Literasi Anak Lebah Indonesia Rismadhani Chaniago di Jakarta, Jumat (21/8).

Menurut dia, orangtua dapat menerapkan teknik mendongeng saat membacakan buku-buku cerita. Dengan metode bertutur, anak akan menangkap isi cerita dengan cara yang menyenangkan serta mampu menangkap alur dengan baik. Orangtua juga dapat menyelipkan nyanyian dan permainan ketika bercerita.
Helvry Sinaga


Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir

Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca (buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca, adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir, menjadi tinggal kenangan?
Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan, kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak. Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”

Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....
Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter, mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah jadi.

Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan, proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan, hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak sebergegas sekarang.

Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan. Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik, tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.
Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di layar laptop atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.

Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru. Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2015, di halaman 12 dengan judul "Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir".
Helvry Sinaga

 

Energi Perubahan di Pos Ronda

Gerakan literasi yang tumbuh dari inisiatif masyarakat tak sekadar menumbuhkan kegemaran membaca buku, tetapi bergerak maju untuk memberdayakan masyarakat. Episentrum gerakan bermula di pos-pos ronda di kampung-kampung. Semua digerakkan oleh energi masyarakat, kecintaan terhadap buku, dan kerinduan akan terjadinya perubahan.
Anak-anak membaca di Taman Bacaan Masyarakat Gubug Pintar di Nitikan Timur, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan memanfaatkan pos ronda, perlahan minat baca ditumbuhkan pada semua warga.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULUAnak-anak membaca di Taman Bacaan Masyarakat Gubug Pintar di Nitikan Timur, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan memanfaatkan pos ronda, perlahan minat baca ditumbuhkan pada semua warga.
Berbekal semangat menumbuhkan rasa suka membaca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar hadir di atas bekas pembuangan sampah warga di tepi Sungai Gajahwong di Dusun Nologaten, Catur Tunggal, Depok, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah pos ronda sederhana dari bambu berukuran 5 meter x 10 meter didirikan di tepi Sungai Gajahwong pada 2003. Pos ronda itulah yang merangkap sebagai taman bacaan.

Meskipun masih ada penolakan, pos ronda yang berfungsi sebagai perpustakaan itu bisa dihadirkan. Koleksi buku milik penggagas taman bacaan itu, Muhsin Kalida, menghiasi dinding-dinding bambu. Muhsin yang warga di kawasan itu juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Helvry Sinaga

Muhsin Kalida

Menggagas Gerakan Literasi

Membangun gerakan literasi untuk menumbuhkan minat baca sekaligus memberdayakan masyarakat sesungguhnya bisa dimulai dari hal sederhana. Muhsin Kalida (45), dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memulainya dengan mengajak masyarakat Dusun Nologaten, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyulap tempat pembuangan sampah di sekitar permukiman warga jadi perpustakaan masyarakat dengan konsep bangunan pos ronda.
Meskipun awalnya tidak mudah mengubah kebiasaan warga membuang sampah sembarangan di Sungai Gajahwong yang tidak jauh dari rumah Muhsin, pada 2003 akhirnya bisa dibangun perpustakaan. Lokasinya, disatukan dengan pos ronda. Perpustakaan yang berisi buku koleksi Muhsin ini, dikenal dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar.
Kehadiran TBM Cakruk Pintar mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang awalnya tak banyak bersentuhan dengan buku, jadi mulai suka membaca.

Helvry Sinaga

 

Tumbuhkan Kebiasaan Membaca di Keluarga

YOGYAKARTA, KOMPAS — Budaya membaca masih perlu ditingkatkan bagi masyarakat Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan membaca di keluarga oleh orangtua kepada anak-anaknya. Langkah ini diyakini efektif untuk menumbuhkan minat, kegemaran, hingga budaya baca.
"Mengajak anak untuk membaca buku bersama sejak kecil merupakan investasi yang berharga untuk masa depan anak. Kami menyambut senang jika 'Gerakan Membaca 10 Menit' didukung Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) supaya bisa diterapkan di semua keluarga," kata Heni Wardatur Rohmah, pendiri Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara, dalam acara seminar "Membangun Kebiasaan Membaca Anak sejak Dini" di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (30/5).
Heni dan suaminya, Nuradi Indra Wijaya, mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak kedua anak mereka dalam kandungan. Hingga kini, kedua buah hati mereka yang duduk di bangku SMP dan SD itu sangat suka membaca.

Helvry Sinaga

Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan

Berikut analisis penulis.
Sebagai seorang pendidik di Indonesia, perlu diutarakan dan dibuktikan bahwa pernyataan yang tertera dalam judul itu salah. Selain itu, perlu diinformasikan, perkembangan ilmu pendidikan, sebagaimana sudah terjadi sekarang, belum sepenuhnya disadari oleh tokoh-tokoh tertentu.

Tantangan dari teori pendidikan yang modern adalah dipersoalkannya interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek dari modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Diperlukan kesadaran baru setelah merefleksikan secara obyektif efek modernisasi terhadap kehidupan serta diperlukan sikap baru terhadap realitas kehidupan ataupun terhadap diri sendiri (Semiawan, C, 2011).
Ilmu pendidikan yang mekar di dunia sekarang adalah neuro-education. Tulisan penulis pernah dimuat di Kompas (17/2/2011) yang berjudul ”Neuro-education, Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan”. Pendapat penulis bertolak dari premis bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan luarbiasa untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Minat Baca Anak Masih Rendah

JAKARTA, KOMPAS — - Hingga sekarang minat baca pada anak-anak di Indonesia masih rendah. Untuk itu, perlu adanya pendekatan yang dapat menarik minat anak-anak kepada buku, salah satunya lewat mendongeng.
Terkait dengan persoalan tersebut, akan digelar Festival Storytelling Internasional bertajuk "The First Indonesia Internasional Storytelling Festival 2015" pada 10-11 Oktober 2015. Acara ini bertujuan untuk memopulerkan mendongeng serta meningkatkan minat baca anak-anak.
"Anak-anak dapat menikmati alur cerita dengan senang. Itu juga metode yang efektif untuk menyampaikan pesan dalam cerita," kata Ketua Panitia Pelaksana BookStech 2015, Rismadhani Chaniago.
Selama ini, banyak orangtua yang menganggap berdongeng butuh keterampilan khusus. Akibatnya, mereka enggan mendongengkan cerita rakyat pada anak-anak. Padahal, mendongeng bisa dilakukan oleh siapa pun.
"Orangtua perlu diajak untuk membiasakan dongeng sebelum tidur. Mereka bisa mengarang cerita atau membacakan buku cerita pada anak," katanya.
Helvry Sinaga


Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir. Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.
Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci. Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya, sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang menciptakannya.

Helvry Sinaga

ARIEL HERYANTO

Identitas "Asli" Adalah Fiksi

Indonesia telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan kemasyarakatan dan kebudayaan, tetapi juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang.
 
Berbagai gagasan ini merupakan hasil persaingan sekaligus percampuran berbagai pandangan dari orang-orang berwawasan kosmopolitan yang berupaya menjelajahi bentuk lokal modernitas hybrid.
”Sayangnya sejak pertengahan abad lampau, kekayaan budaya ini banyak yang telah dihapus dari sejarah resmi ingatan bersama,” ujar Prof Ariel Heryanto (61), peneliti, pengajar pada Jurusan Budaya, Sejarah dan Bahasa, College Asia-Pasifik, The Australian University, di Canberra, Australia.
Itulah pesan utama bukunya, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (KPG, 2015), hasil terjemahan kritikus film Eric Sasono dari buku Identity and Pleasure: The Politics of Indonesia Screen Culture (NUS Press, 2014).
Ariel ditemui seusai peluncuran bukunya di Jakarta, awal Juli 2015.

Helvry Sinaga

 Membaca sebagai Jendela untuk Melihat Dunia

Dua hari lalu, Minggu (17/5), Indonesia merayakan Hari Buku Nasional. Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan kali ini berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar mengentak atau menyulut kesadaran baru tentang buku.
Pengunjung membaca pada Hari Buku Nasional di perpustakaan kota yang dibangun di Taman Flora, Kota Surabaya, Minggu (17/5). Untuk meningkatkan minat membaca buku, selain membangun perpustakaan umum di Taman Kota, Pemerintah Kota Surabaya juga mengerahkan perpustakaan keliling yang mampu menjangkau setiap pelosok kota.
Kompas/Bahana Patria GuptaPengunjung membaca pada Hari Buku Nasional di perpustakaan kota yang dibangun di Taman Flora, Kota Surabaya, Minggu (17/5). Untuk meningkatkan minat membaca buku, selain membangun perpustakaan umum di Taman Kota, Pemerintah Kota Surabaya juga mengerahkan perpustakaan keliling yang mampu menjangkau setiap pelosok kota.
Perhatian kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya, kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar akan me-reshuffle Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor sekian.
Helvry Sinaga

Pengajaran Sejarah



Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.

Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas, 25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai kepribadian bangsa diperlukan.
Helvry Sinaga
Sastra ”Survive” dalam Perubahan Perangai Media
I Nyoman Darma Putra


Tulisan Bre Redana dalam Kompas Minggu (15/3) dengan tersurat dan tersirat menyampaikan bahwa dewasa ini media kian sulit menjalankan fungsinya dalam mendukung kehidupan sastra serta polemik kritik sastra seperti pada masa lalu. Selain masalah teknis yang dihadirkan dunia digital dengan ciri media yang berkarakter cepat, quickness, juga karena perubahan selera publik dari hal-hal yang serius menjadi yang ringan atau ”yang enteng- enteng” saja.

Setelah memaparkan dengan lugas perubahan situasi yang memengaruhi kehidupan media yang berkutat memenuhi selera baru masyarakat, Bre mengungkapkan kegalauannya dalam nada tanya apakah ke depan kerja sama media, sastra, debat dan kritik sastra di media akan tancep kayon, berakhir? Dia tidak saja berharap jawaban dari pekerja media, tetapi juga kepada kalangan luas, termasuk kita.

Sebagai pekerja media dan penulis sastra, Bre dengan cermat menangkap fenomena yang ada. Apa yang disampaikan bisa dikatakan representatif untuk kehidupan sastra dan kritik sastra dalam arena media cetak. Tapi, yang perlu dicatat adalah bahwa kehidupan sastra tidak saja terjadi di media cetak, tetapi juga di radio dan televisi dalam bentuk apresiasi; tak hanya sastra Indonesia tetapi juga sastra daerah; tak hanya di Jakarta tetapi juga di daerah-daerah.

Memang, sejarah mencatat bahwa media cetak pernah memainkanperanan penting dalam mempromosikan karya baru, dan juga dalam mendorong polemik sastra dan seni budaya umumnya. Majalah Sastra dan Horison memiliki acara pemilihan karyaterbaik yang sangat bergengsi. Banyak penulis seperti terbaptis sebagai penulis setelah karyanya dimuat di media tertentu.
Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Bahasa

Bahasa Ibu dan Bahasa Etnik

Tulisan Saut Poltak Tambunan bertajuk ”Bahasa Ibu, Apa Perlunya?” di rubrik ini (28 Februari 2015), mengingatkan kembali ihwal ancaman kepunahan bahasa-bahasa etnik. Saat ini, tersisa 746 bahasa daerah di Indonesia dan pada akhir abad ke-21 diperkirakan hanya 75 bahasa daerah yang bertahan. Sori Siregar menanggapi dengan tulisan bertajuk ”Pintu Budaya Etnik” (14 Maret 2014). Ia mengaku baru bisa menikmati karya Poltak, Mangongkal Holi, yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage ”setelah buku pemenang itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau dengan bantuan kamus Batak, kalau ada. ”Menurut Sori, ”Bahasa daerah yang kita sebut juga dengan bahasa ibu, seharusnya diberi tempat khusus di dunia pendidikan sejak awal.”

Dua terminologi muncul: bahasa daerah dan bahasa ibu. Pertanyaannya, apakah bahasa daerah identik dengan bahasa ibu? Banyak yang beranggapan demikian. Tentu saja anggapan ini bisa berlaku penuh pada abad-abad lampau ketika migrasi suku-suku belum segencar sekarang, ketika warga suku sekaligus hidup di wilayah dan bahasa sukunya. Orang Batak yang lahir dan dewasa di tanah Batak bisa dipastikan menguasai bahasa Batak secara alamiah.
Labels: 1 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Mendorong Renaisans Perkeretaapian Indonesia

Bangsa Indonesia dikenal memiliki banyak potensi, tetapi sulit saling percaya, melayani, apalagi membangun sinergi demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Di tengah situasi demikian, Taufik Hidayat (52), ahli perkeretaapian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tak lelah meneriakkan ”sinergi” ini sebagai kata kunci menuju renaisans alias kebangkitan kembali dunia perkeretaapian kita.
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Helvry Sinaga

Sejarah Kereta Api dalam Selembar Peta

Berbekal pendidikan teknik geodesi atau ilmu pemetaan bumi, Artanto Rizky Cahyono (37) berhasil meringkas sejarah panjang jalur perkeretaapian Indonesia dalam selembar peta. Melalui peta itu, pegiat komunitas Indonesian Railway Preservation Society itu mewujudkan kecintaannya pada perkeretaapian yang tumbuh sejak kecil ketika tinggal di dekat Stasiun Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Helvry Sinaga

Kresna Menyusuri Wonogiri

Ketika kian mendekati Stasiun Wonogiri, warga menghambur menyambut bus rel Batara Kresna, 11 Maret 2015. Warga yang kebanyakan berusia lanjut itu menggandeng anak-anak kecil, seakan ingin menunjukkan kereta api adalah masa lalu bagi yang tua, tetapi masa depan bagi anak cucu mereka.
Bus rel Batara Kresna tiba di Stasiun Wonogiri saat peresmian reaktivasi jalur Solo-Wonogiri, Rabu (11/3).
kompas/nawa tunggalBus rel Batara Kresna tiba di Stasiun Wonogiri saat peresmian reaktivasi jalur Solo-Wonogiri, Rabu (11/3).
Dulu, stasiun ini ramai sekali. Sepur kluthuk (berlokomotif mesin uap) mengangkut gamping (batu kapur) dari Baturetno dan bakul-bakul sayur," ujar Mbah Talem (80) dengan wajah berseri.
Ia turut bergembira menyambut bus rel (variasi dari kereta dengan bahan lebih ringan) yang digunakan sebagai Kereta Api Perintis Batara Kresna. Kereta itu akan mengaktifkan kembali jalur Stasiun Purwosari di Solo, Jawa Tengah, hingga Stasiun Wonogiri, Jateng.
Mbah Talem berdagang makanan ringan dan minuman di sebuah warung yang letaknya persis di muka pintu masuk stasiun. Pada pagi menjelang siang pertengahan Maret lalu itu, Mbah Talem sibuk melayani para pembeli.
Helvry Sinaga

Ngabean Menanti Reaktivasi

Hampir sepanjang 3.000 kilometer jalur rel kereta api kita telah dimatikan. Reaktivasi begitu indah untuk dibayangkan demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Namun, ternyata tidak mudah menemukan sosok pemimpin yang berani menghidupkan kembali jalur-jalur rel mati itu.
Bekas Stasiun Kereta Api Ngabean, Yogyakarta, dibangun pada sekitar tahun 1895. Saat ini digunakan wargauntuk layanan perjalanan wisata ke Keraton Yogyakarta.
kompas/nawa tunggalBekas Stasiun Kereta Api Ngabean, Yogyakarta, dibangun pada sekitar tahun 1895. Saat ini digunakan wargauntuk layanan perjalanan wisata ke Keraton Yogyakarta.
Suatu siang pertengahan Maret 2015, Manajer Sekretariat Koperasi Pariwisata Ngabean Yogyakarta Krisnadi menyambut Kompas untuk memotret dan melihat-lihat kondisi bekas Stasiun Ngabean, di sebelah barat kawasan Keraton Yogyakarta. Bangunan yang diperkirakan didirikan sekitar tahun 1895 itu kini digunakan untuk mengelola paket perjalanan wisata dengan mobil minibus menuju Pagelaran, Keben, Magangan, dan Taman Sari, area wisata utama Keraton Yogyakarta.
”Pemerintah daerah sudah pernah membahas masalah pengaktifan kembali jalur kereta api melalui Stasiun Ngabean ini. Waktu itu tujuannya untuk menambah daya tarik pariwisata di Yogyakarta,” kata Krisnadi.
Stasiun Ngabean juga menyimpan sejarah penting. Menurut Tjahjono Rahardjo, anggota Indonesian Railway Preservation Society Semarang, yang juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, Stasiun Ngabean pernah dilintasi kereta api jenazah Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono X menuju tempat pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1939.
Paku Buwono X lahir 29 November 1866 dan dinobatkan menjadi Raja Kasunanan Surakarta, 30 Maret 1893, pada usia 27 tahun. Masa kepemimpinannya 46 tahun hingga wafat pada 1 Februari 1939.
KOMPASStasiun Ngabean salah satu stasiun kereta api di tengah Kota Yogyakarta yang menyimpan sejarah menarik. Stasiun ini menjadi bagian dari lintasan rel kereta api yang menghubungkan Stasiun Tugu, Yogyakarta, sampai Stasiun Srandakan, Bantul, dibangun salah satu perusahaan swasta Hindia Belanda pada tahun 1895.
Semasa hidupnya, dia banyak bekerja di balik layar untuk mendukung pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya, dia menyokong pendirian organisasi Serikat Dagang Islam di Surakarta pada tahun 1905.
Selain sebagai penjaga kuat tradisi Jawa, Paku Buwono X juga dikenal sebagai pendorong modernisasi Jawa. Pada masanya, ia menciptakan sistem kredit rumah bagi warga kurang mampu.
Sejumlah pasar, stasiun kereta, rumah sakit, dan sekolah, seperti sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan, juga dibangun. Pasar Klewer dan Stasiun Solo Balapan termasuk warisannya.
content
,
Kenangan lain adalah dia dinilai berhasil mempersatukan trah Kerajaan Mataram, yang sejak 1755 terpecah jadi Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Pundong dan Sewugalur
Rel dari arah Stasiun Tugu Yogyakarta ke Stasiun Ngabean, bercabang ke dua arah, yaitu rel menuju stasiun akhir di Pundong, Bantul, dan ke Sewugalur, Kulon Progo. Pada 1943 sampai 1944, rel dari Ngabean sampai ke Pundong sepanjang 27 kilometer dipreteli Jepang. Nasib tragis serupa dialami percabangan lain, yaitu rel dari Stasiun Palbapang di Bantul hingga Sewugalur sepanjang 5 kilometer.
Pada masa Hindia Belanda, keberadaan jalur rel tersebut berperan meningkatkan produksi tebu dan gula. Sebelum kereta api beroperasi saja, pada 1884 dilaporkan ekspor gula dari Yogyakarta mencapai 34.408 ton.
Produksi gula dari wilayah Yogyakarta pada masa Hindia Belanda mampu menyumbang 17 persen dari total ekspor gula dari Pulau Jawa ke Eropa. Ini diungkap Waskito Widi Wardojo dalam bukunya, Spoor Masa Kolonial (2014).

Dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Iman Subarkah memaparkan, perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), membangun lintasan rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta ke Pundong dan Sewugalur tersebut. Pelaksanaannya bertahap.
Rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Srandakan sepanjang 23 kilometer mulai digunakan pada 21 Mei 1895. Pembangunan rel berlanjut di Srandakan ke Brosot sepanjang 2 kilometer dan mulai digunakan pada 1 April 1915. Rel dari Brosot ke Sewugalur sepanjang 3 kilometer mulai digunakan pada 1 April 1916.
Pembangunan jalur Ngabean-Pundong juga terbagi dua tahap. Ngabean-Pasar Gede sepanjang 6 kilometer, mulai digunakan 15 Desember 1917. Kemudian dilanjutkan Pasar Gede-Pundong sepanjang 21 kilometer yang dioperasikan sejak 15 Januari 1919.

Bersama Asep Suherman, seorang pencinta kereta api yang pernah tergabung di Indonesian Railway Preservation Society, Kompas menyusuri bekas kedua jalur rel dari Stasiun Ngabean tersebut.
Jejak lintasan rel kereta api Ngabean-Pundong hampir tidak berbekas sama sekali. Asep lantas menunjukkan salah satu bekas fondasi jembatan rel kereta api di dekat Jalan Lingkar Selatan Yogyakarta, di Jalan Ngipik Raya, Karanglo, Banguntapan, Bantul.

Ketika menyusuri bekas jalur tersebut, Asep memanfaatkan penggabungan peta terkini dari Google Earth dengan peta lama jalur rel kereta api peninggalan Hindia Belanda.
Ada beberapa bekas jembatan sungai kecil untuk melintasi rel ke Pundong. Jembatan di Kali Bulus, Desa Paten, Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, misalnya, masih memperlihatkan fondasi kunonya. Namun, jalur rel lain sulit dikenali karena telah berubah menjadi lahan sawah atau jalan.
Untuk jalur Ngabean-Sewugalur, tidak terlalu sulit untuk melacaknya hingga Stasiun Palbapang, Bantul. Relnya masih ada, tetapi sebagian besar terpendam di dalam tanah.

Dari Palbapang, melewati Srandakan, lintasan rel kemudian menyeberang Kali Progo. Jembatan bekas jalur rel masih ada dan masih bisa dimanfaatkan warga. Namun, bagian tengah jembatan amblas sehingga kondisi beton di bagian tengah jembatan itu melengkung.
Di sebelah selatannya, sekarang dibangun jembatan baru untuk jalur utama kendaraan. Jejak jalur rel setelah menyeberangi Kali Progo juga masih terlacak. Di antaranya, berupa jembatan-jembatan kecil jalur rel untuk melintasi parit yang ada hingga menuju Sewugalur.

”Dulunya memang pernah ada rel kereta api di sini,” kata Hadi Subandi (78), warga Sewugalur. Jejak rel di Sewugalur sudah tidak berbekas.
Berdasarkan peta yang ditunjukkan Asep, perkiraan lokasi Stasiun Sewugalur sekarang sudah berubah menjadi SMP Negeri 2 Galur.
”Setiap stasiun yang ada di lintasan Ngabean ke Pundong dan Sewugalur ini hampir selalu memiliki percabangan lintasan rel ke sebuah pabrik gula. Itu sebabnya mengapa di Yogyakarta produksi gula terus meningkat sewaktu ada jalur rel kereta api yang juga digunakan untuk angkutan tebu ke pabrik-pabrik gula,” tutur Asep.

Baturetno
Titik akhir jalur rel kereta api di sebelah timur Pundong berada di Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Bersama ahli transportasi Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik Soegijaranata, Semarang, Kompas berhasil melacak bekas Stasiun Baturetno, yang berjarak 19 kilometer dari Stasiun Wonogiri tersebut.
Untuk mencapai lokasi Stasiun Baturetno, kami harus memutar arah ke sisi timur Waduk Gajah Mungkur. Jalur relnya sekarang terendam waduk itu.
”Reaktivasi jalur rel yang terbenam waduk bisa dibuat dengan konstruksi jembatan di atas air. Jika dilakukan, ini menjadi potensi wisata yang menarik, menambah potensi wisata lain di Waduk Gajah Mungkur,” kata Djoko.

Suyati (61), salah satu warga yang tinggal di dekat bekas bangunan Stasiun Baturetno, mengatakan, terakhir kali kereta api bisa digunakan dari Baturetno ke Surakarta ketika ia duduk di kelas IV SD tahun 1966. Setelah itu tidak bisa lagi karena ada banjir besar yang merusak beberapa jembatan jalur rel kereta.
Krisnadi di Ngabean berpandangan serupa dengan Djoko Setijowarno. Keduanya menilai, jika pemerintah mampu menghidupkan dan memanfaatkan kembali jalur-jalur kereta api yang pernah ada itu, ada potensi pariwisata yang menguntungkan. Hanya saja, untuk itu, perlu keberanian.
 
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2015, di halaman 12 dengan judul "Ngabean Menanti Reaktivasi".