Judul: Air Matamu, Air Mataku, Air Mata Kita
Pengarang: Ayi Jufridar
Kompas, 29 Mei 2011
Ayi Jufridar adalah seorang penulis kelahiran Aceh. Ia telah menulis Novel Alon Buluek (dalam bahasa Aceh yang berarti: Gelombang Laut yang Dahsyat)yang terinspirasi dengan peristiwa tsunami 2004 di Aceh. Novel tersebut tersendat-sendat penulisannya sebab ia kadang terlarut dalam kesedihan ketika mengerjakannya, dan ia biarkan kesedihan itu terlarut dahulu.
Dalam cerpen kali ini, ia mengisahkan cinta seorang perempuan pada laki-laki yang sudah beristri. Perempuan itu menceritakan pada sahabatnya (narator) betapa ia sangat sedih sebab cintanya tak bersambut dan tak mungkin dilanjutkan. Narator menjadi tempat curahan air mata.
Tidak digambarkan dalam cerpen itu apakah sahabat perempuan itu adalah laki-laki ataukah perempuan juga. Melihat dari ungkapan yang dituliskannya:
saya melihat adanya suasana melankolis dan sedih yang biasanya diwakili oleh perasaan feminin. Menilik dari karya Ayu yang membawakan dunia nyata dalam sastra, besar kemungkinan, kisah cerpen ini adalah terinspirasi kisah nyata.
berikut salah satu puisinya:
Laut Yang Ramai
Laut mendadak ramai
deburan ombak terseret angin
ke tengah samudera itu
sedang di bibir pantai
orang saja menari-nari
Laut mengundang sehamparan gunung samudera
datanglah dari penjuru segala
melihat kami menari
menjelang akhir sodorkan air
ketika tubuh bermandi peluh
tapi jangan sugguhkan seudati*
sebab ia sudah mati
di telan televisi penuh warna
Datang,
datanglah dari segala penjuru
ramaikan laut kami yang sepi
dengan lagumu yang sarat cinta
Lhokseumawe, Juni 2005
* nama salah satu tarian tradisional di Aceh
Pengarang: Ayi Jufridar
Kompas, 29 Mei 2011
Ayi Jufridar adalah seorang penulis kelahiran Aceh. Ia telah menulis Novel Alon Buluek (dalam bahasa Aceh yang berarti: Gelombang Laut yang Dahsyat)yang terinspirasi dengan peristiwa tsunami 2004 di Aceh. Novel tersebut tersendat-sendat penulisannya sebab ia kadang terlarut dalam kesedihan ketika mengerjakannya, dan ia biarkan kesedihan itu terlarut dahulu.
Dalam cerpen kali ini, ia mengisahkan cinta seorang perempuan pada laki-laki yang sudah beristri. Perempuan itu menceritakan pada sahabatnya (narator) betapa ia sangat sedih sebab cintanya tak bersambut dan tak mungkin dilanjutkan. Narator menjadi tempat curahan air mata.
Tidak digambarkan dalam cerpen itu apakah sahabat perempuan itu adalah laki-laki ataukah perempuan juga. Melihat dari ungkapan yang dituliskannya:
Ketika kamu bercerita tentang apa yang dilakukan lelaki tua itu terhadapmu, kita menangis bersama dalam sebuah kamar bermandikan cahaya. Hujan di luar telah mengembunkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menggoreskan namaku dan namamu di permukaannya. Cahaya lampu kendaraan bergerak buram di bawah sana. Dari gerak cahaya yang lamban dan kadang berhenti, aku tahu kemacetan sedang terjadi. Hujan selalu menimbulkan kemacetan, tetapi air mata kita telah melegakan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Dada kita tak jauh beda.
saya melihat adanya suasana melankolis dan sedih yang biasanya diwakili oleh perasaan feminin. Menilik dari karya Ayu yang membawakan dunia nyata dalam sastra, besar kemungkinan, kisah cerpen ini adalah terinspirasi kisah nyata.
berikut salah satu puisinya:
Laut Yang Ramai
Laut mendadak ramai
deburan ombak terseret angin
ke tengah samudera itu
sedang di bibir pantai
orang saja menari-nari
Laut mengundang sehamparan gunung samudera
datanglah dari penjuru segala
melihat kami menari
menjelang akhir sodorkan air
ketika tubuh bermandi peluh
tapi jangan sugguhkan seudati*
sebab ia sudah mati
di telan televisi penuh warna
Datang,
datanglah dari segala penjuru
ramaikan laut kami yang sepi
dengan lagumu yang sarat cinta
Lhokseumawe, Juni 2005
* nama salah satu tarian tradisional di Aceh
Post a Comment