Showing posts with label cerpen kompas. Show all posts
Showing posts with label cerpen kompas. Show all posts
Helvry Sinaga


Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir. Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.
Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci. Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya, sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang menciptakannya.

Helvry Sinaga

Malam Hujan Bulan Desember

Oleh: Guntur Alam
Kompas, 15 September 2013

Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan turun dengan deras. Aku ingat, itu bulan Desember, karena lonceng dan kidung Natal bergema dari gereja sebelah kontrakan kami. Tak ada yang mendengar jeritan Ibu. Gemuruh hujan menenggelamkannya.

Aku tak tahu, apa alasan yang membuat Ayah berbuat sekejam itu. Dari pertengkaran mereka, akulah biang keladinya. Dari dulu, Ibu memang selalu bercerita, kalau Ayah tak menyukaiku. Aku tak tahu kenapa.

Aku juga tidak tahu, siapa nama ayahku. Karena sejak aku lahir, kami baru bertemu malam itu. Kusebut saja namanya Joe. Ibuku bernama Maria (bukan nama sebenarnya). Kami tinggal di Kota J. Kota tempat orang-orang datang mengadu nasib, kata Ibu.

Mulanya, Ibu juga membenciku. Kutahu itu dari setiap cerita yang dia uraikan padaku. Pelbagai cara sudah Ibu lakukan agar aku mati saat di dalam kandungannya. Dari mulai Ibu mengkonsumsi jamu-jamu penggugur kandungan, makan nanas muda, loncat-loncat, naik turun tangga, bahkan Ibu pernah beberapa kali memukul-mukul perutnya dengan keras.

”Tapi kau tetap bertahan di dalam sana. Kau berpegang semakin kuat dan kokoh. Hingga aku luluh,” desisnya setiap kami bertatap mata. ”Kau seolah berkata bahwa kau ingin hidup. Jadi aku membiarkan kau hidup. Aku berhenti berusaha membunuhmu.”

Aku hanya menjawab cerita Ibu dengan kerjapan mata saja. Lalu tersenyum. Aku tak ingin bertanya, apa alasannya ingin membunuhku? Aku juga tak ingin menyalahkannya. Setiap melihatku seperti itu, air mata Ibu akan terburai, kemudian dia akan memelukku dengan lembut. Mengecup keningku dan pada akhirnya akan kembali menangis tanpa suara. Aku akan membiarkan Ibu menuntaskan tangisnya. Pelan-pelan kubalas pelukannya.
Helvry Sinaga

Benny Arnas

Entah bagaimana Maisarah harus marah pada hujan deras yang turun di pengujung Ramadan itu. Lebih sepuluh tahun menghindari Samin, baru kali ini ia dibuat tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang terlalu lancang mengajaknya bicara.

Kehadiran Samin di bawah pohon merbau siang itu hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya makin menggunung.

Sungguh, ketakutan, kebencian, dan trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya kembung. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan, tapi sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.
Helvry Sinaga


Oleh: ABA MARDJANI
Dengan jari-jari tangan mengempit sebatang lisong, Simbad coba menahan hujan yang seolah tak lagi bisa dibendung. Kedua tangannya terangkat ke udara, melambai-lambai seolah memberi isyarat mengusir angin pembawa hujan. Bau kemenyan dan kelembak merebak.
Dari kejauhan terdengar petir bersahutan. Angin berkesiur keras. Keleyang-keleyang dan plastik-plastik beterbangan. Langit tampak pekat. Gelap menyungkup. Beberapa saat kemudian, petir juga berdentuman di sekitar Simbad yang berjalan tak tentu arah dengan lisong yang terus-menerus menyala. Asap putihnya begitu saja menghilang bersama angin. Mulutnya tak henti berkomat-kamit. ”Menjauh... menjauh... menjauh....” Ia berdesis-desis tiada henti. Lalu membaca mantra-mantra, berulang-ulang.

”Kali ini Simbad agaknya takkan lagi bisa tahan. Ambrol semuanya,” gumam Martoyo, bos sebuah kontraktor yang memanfaatkan jasa Simbad untuk menahan hujan selama mungkin di areal proyeknya. Ia duduk terpaku di kursinya, pada sebuah ruang berpendingin udara. Meskipun demikian, dalam hatinya, ia masih tetap berharap Simbad mampu mengatasi persoalan rumit yang tengah dihadapinya seperti hari-hari sebelumnya dalam dua bulan terakhir.

Helvry Sinaga
Judul: Pengacara Pikun
Pengarang:


Taksi bandara menurunkan Dewi dan suami serta dua anak yang masih kecil di depan rumah opa mereka. Keduanya duduk dan melapor: ”Kami datang untuk cari kerja di sini, Opa. Sarjana hukum seperti kami berdua sukar dapat kerja di daerah.”

Sang Opa kaget, ”Ah, jauh-jauh terbang untuk cari kerja. Hmm, kalian berdua sarjana hukum. Sawah dan ladang pusaka tak terkelola?” tanya sang Opa.

”Oh, Opa, musim kemarau panjang menyebabkan tanaman di kebun kering. Untung masih ada pohon lontar, gewang, dan kelapa sehingga niranya bisa disadap. Setiap hari kami masak gula, minum nira dan gula cair dan lawar cuka dari daun pepaya, kelor dan rumput laut, bercampur ikan, kerang dan gurita yang diambil ketika laut surut dan tertampung di pematang batu yang dibuat oleh kakek buyut. Kami kenyang, kami tak menganggap ada musim paceklik karena makanan tak pernah putus, tetapi anak-anak kami selalu menangis minta nasi dan roti. Kami menipu anak-anak dengan membelah kelapa yang telah tumbuh berpucuk kecil. Di dalamnya ada tembolok berupa roti,” Dewi menjelaskan.
Helvry Sinaga
Judul: Hujan Bulan Februari
Penulis: Ahmad Muchlish Amrin
Kompas, 14 Juli 2013

1/Ibu, di halaman buku sejarahku bercak merah berdecak, ingatan menyelinap pada masa silam yang tiram. Di matanya tergambar bendera berkibar, urat nadi bertalu, semangat juang berdentang, henyak napas bergegas di bumi yang ranggas.

Ibu, ingatanku senyap gerimis mata waktu, bergambar lelaki mengepalkan tangan, mukanya terlihat merah menyala, berteriak demi tanah kelahiran yang ditinggikan—Ibu tersenyum mendengar igauku. Ia mengusap kepalaku dengan belaian kasih sayang.
Helvry Sinaga

Sebatang Pohon di Loftus Road
Sungging Raga
Gambar: Sandi Jaya Saputra
Kompas, 14 April 2013

Sungging Raga Bagaimana kau membayangkan seorang wanita yang menjelma sebatang pohon, hidup selama puluhan tahun, dan tak pernah kembali menjadi manusia?

Konon, sering kali ada wanita yang menjelma pohon di sepanjang Loftus Road, sebuah jalan yang di kanan-kirinya dipenuhi baris pepohonan seperti hutan buatan, jalan itu terus memanjang ke arah barat, menuju matahari terbenam. Pohon-pohon itulah, entah siapa yang memulainya, kemudian dicurigai dan diyakini sebagai jelmaan manusia.

Dahulu, sebelum dipenuhi pohon-pohon, di sekitar Loftus Road adalah sebuah hamparan rumput luas yang menjadi tujuan para kekasih untuk berbahagia, tempat kencan dan tukar-menukar rayuan. Namun di tempat itu pula terjadi beberapa ketidakbahagiaan; perpisahan, pertengkaran, dan selebrasi kesedihan. Maka bermunculanlah wanita-wanita yang tak lain hanyalah endemis kesunyian. Mereka adalah wanita patah hati ditinggal kekasihnya, wanita yang terlalu sentimentil, yang menjadikan Loftus Road sebagai tempat menampung air matanya, yang kemudian memilih untuk mengabadikan cintanya dengan menjelma pohon, dan mereka pun akan tumbuh di sana, hanya untuk melihat kekasihnya kembali.
Helvry Sinaga
Oleh Noviana Kusumawardhani

Awan bergerak dengan pola yang tak beraturan. Kota ini seperti tidak asing. Warna-warna perak yang terpantul di ujung-ujung genting seperti menyisakan ingatan dari sebuah masa.

Warna perak dengan ukiran pujian para malaikat untuk yang Maha Indah secara acak berganti-ganti dengan kepul asal kendaraan deru pikuk berteriak tentang banyak hati yang sepi. Aneh. Seperti amat sangat mengenal kesunyian yang berbicara atas nama sepi dan terus berbaur bersama udara, seperti senja yang begitu akrab melahirkan ketakutan akan sunyi, dan dari jendela kereta yang baru saja berhenti tepat menjelang matahari lenyap di batas hari, kubaca lagi alasan mengapa aku begitu saja mau datang ke kota ini.

”Babe, kalau kamu di sini, mungkin hanya kamu yang tahu betapa kesunyian ini sangat seperti detak jantung para penunggu ajal ketika mereka sekarat tetapi tidak tahu kapan sang pembebas itu datang untuk memisahkan rohku dari jiwa yang kerontang. Datanglah ya.”
Helvry Sinaga


Vika Kurniawati

”Lagipula siapa yang akan memperkosa dan membunuh lelaki yang sudah renta ini?” Dan anak bungsu yang kena pulung ini hanya bisa menghela nafas mendengarnya.

Tak ada gunanya membangkitkan argumen dengan Papa, ikatan batin dengan rumah abu sudah terlalu mendarah dagingnya. Sebenarnya tak mengherankan Papa sangat berkeras memintaku menggantikannya.

Dari lima bersaudara, hanya tinggal aku yang ada di Indonesia. Sejak kerusuhan Mei yang dialami sepupu, membuat Cece Olivia dan suaminya mengungsikan keluarga kecil mereka ke Singapura. Papa bersikukuh tak turut serta karena rasa tanggungjawab kepada ribuan abu yang tersimpan rapi. Sebuah loyalitas yang aneh.
Helvry Sinaga

Bulan Biru
Gus tf Sakai

Aku tahu, kau mengenal bulan biru. Bulan bulat sempurna kedua pada kalender Masehi di bulan yang sama. Purnama ke-13 yang muncul periodik dua atau tiga tahun karena selisih 10,6 hari setiap tahunnya. Tetapi, pernahkah kau melihat purnama kedua itu, dalam setiap 106 kali kemunculan, mengembalikan apa pun kejadian ke suatu malam lain di lain zaman?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, seorang gadis cilik disuruh ibunya ke sumur, mengambil belanga. ”Belanga yang sudah Ibu cuci ya Nak, telungkup di atas bantalan.”

Si gadis menjawab, ”Ya Bu,” seraya bergegas melangkah ke sumur. Tetapi, saat menjulurkan tangan meraih belanga, di bawah terang pendar purnama, ia terkejut. Belanga itu bergerak, merayap turun dari bantalan.
Helvry Sinaga

Hatarakibachi
Penulis: Awit Radiani
Gambar Zico Aibaquni
Kompas, 25 November 2012

Bahasa Inggris dengan pengucapan payah petugas bandara membuat aku semakin sakit kepala. Sebenarnya aku enggan datang ke negeri ini. Tapi Satoshi-san mengirim undangan kehormatan kongres seni budaya Asia, yang mewajibkanku hadir. Atau aku dianggap tak menghargai hubungan baik antar negara.

Angin musim semi mengibarkan ujung rambutku. Kesejukan Tokyo ramah menyambut. Sebuah airport limousine menghampiri, membuka pintu dan membawaku ke Tobu Levant di Sumida-ku. Daerah pinggiran kota itu ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Aku sedikit mual, mabuk perjalanan. Penyakit kampungan yang menunjukkan asal-usulku. Seniman kampung yang tiba-tiba menjadi duta seni mewakili negaraku. Sebenarnya aku tak siap dengan perjalanan ini.

Di sepanjang jalan kulihat banyak kedai makanan yang membuatku sumringah. Aku ingin mencoba semuanya. Mencicipi sushi asli di tempat asalnya. Pengalaman yang tak bisa dinikmati setiap hari. Dari jendela kamar 1820, Tokyo Sky Tower berdiri menusuk langit. Ah, lagi-lagi sebuah menara landmark kota yang pamer ketinggian. Aku selalu menemukan bangunan seperti itu di setiap negara yang kukunjungi. Menara-menara yang saling adu tinggi, semuanya menyuguhkan pengalaman yang sama. Pemandangan kota dari tempat tinggi atau bentuk khas dari menara itu sendiri.
Helvry Sinaga


Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku
Penulis: Martin Aleida
Kompas, 18 November 2012


Queenaraku, Kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu...
Helvry Sinaga


Tulisan Kelinci Merah
Afrizal Malna
Kompas, 11 November 2012


Bau tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.

Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.

Helvry Sinaga



Banjir di Cibaresah
Aba Mardjani
Gambar: Zusfa Roihan

Jika manusia memperlakukan alam dalam status yang sejajar sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, maka akan tercipta keseimbangan yang harmonis. Istilah alam sedang murka, atau alam tidak bersahabat, seharusnya menjadi pengingat bahwa sebenarnya alam juga makhluk yang dapat bersahabat. Banjir bukanlah datang begitu saja, tanpa sebab. Ia datang, karena keseimbangannya terganggu.


Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.
Helvry Sinaga

Tipikal cerita yang dibuat oleh Sori Siregar adalah menceritakan kehidupan nyata. Saya berpikir ada apakah yang terjadi dengan kondisi nyaman dan terjamin? apakah justru itu akan membuat nilai-nilai prinsipil menjadi tidak dikritisi lagi ataukah tetap kuno? Dalam cerita ini siapakah yang harus berubah? Dan apa yang berubah? Apakah dengan konsekwensi pahit, baru akan mengerti?



Malam telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Hujan rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih tidak dapat tidur. Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.

Risiko seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu. Ia, istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh ini untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah. Ketika itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di negeri yang jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun setelah itu.
Helvry Sinaga


Kurma Kiai Karnawi
Agus Noor
Kompas, 7 Oktober 2012
Gambar: Hanafi


TUBUH orang itu menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering penuh sisik kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada yang mencengkeram rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang begitu mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan. Orang-orang yakin: dia terkena teluh, dan hanya kematian yang bisa menyelamatkan.

Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astagfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang menyaksikan, ”Biarkan dia istirahat.”
Helvry Sinaga
Peristiwa G30S menyisakan banyak trauma dan kesedihan. Ketidakjernihan berpikir menyebabkan ketidakkritisan atas suatu keadaan. Dan bila disisipkan dengan dendam, maka tercipta suatu ramuan yang pas untuk menghilangkan seseorang dari bumi ini. Bagaimanakah rekonsiliasi tercipta? jika kebenaran yang mendahuluinya.
Helvry Sinaga

Rumah
Penulis: Ahimsa Marga
Gambar: S. Sarwoko
Kompas, 23 September 2012

Cerpen ini saya tidak berkomentar...bingung.....

Entah sejak kapan aku suka main ke rumah tetangga. Aku hanya ingat, waktu kecil aku suka melamun di mulut jendela, memandang rumah-rumah tetanggaku yang asri dengan anak-anak sebayaku yang bermain di halaman.

Rumahku sangat nyaman. Sepanjang bisa mengingat, rumahku selalu terbuka, tetapi tak ada anak yang bermain di situ. Mungkin karena aku juga tak pernah bermain ke rumah mereka. Ibuku tak pernah melarang, tetapi aku enggan. Pintu tak pernah dikunci tetapi kakiku tertahan di batas pagar.
Helvry Sinaga

Norman Erikson Pasaribu
Gambar: Denden Hendan Durahman
Kompas, 9 September 2012

Bagaimana rasanya menjadi benda-benda yang dekat dengan kehidupan manusia seperti handphone, blackberry, kendaraan, dan sebagainya. Seandainya mereka dapat berdialog, tentu saja mereka akan memberi kesaksian tentang bagaimana perilaku majikannya. Kadangkala ketika kita menyelami hal-hal seperti yang diceritakan Norman ini, yang dinamakan benda-benda 'mati' pun punya permasalahannya sendiri.



KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Helvry Sinaga

Penakluk Lebah
Penulis: S Prasetyo Utomo
Gambar: Yuswantoro Adi
Kompas, 2 September 2012

Saya bingung menarik kesimpulan tentang apa pesan yang hendak diutarakan oleh penulis. Kisahnya menurut saya sangat biasa, dan sangat cocok diceritakan kepada anak-anak. Barangkali pesan yang bisa disampaikan adalah pertama, agar tidak mengganggu hewan-hewan yang secara insting juga tidak mengganggu kita. Kedua, agar bermurah hati kepada orang yang memerlukan pertolongan, dan ketiga agar menggunakan akal sehat dalam menimbang sesuatu. Kiai Sodik sepertinya hanya beruntung didatangi lebah, bagaimana jika tidak? mungkin lain ceritanya.