Helvry Sinaga

Nirwan Ahmad Arsuka


Carolus Linnaeus, pendiri taksonomi modern, memberi nama ilmiah untuk spesies manusia yang bertahan hidup saat ini: Homo sapiens (manusia bijak, manusia berpikir). Ada banyak teori yang coba menjelaskan mengapa spesies-spesies lain punah, tetapi ada satu hal yang jelas mengapa Homo sapiens menjadi satu-satunya spesies manusia yang lestari dan siap menghuni Mars pada abad ini.

Yuval Noah Harari, penulis Sapiens: Brief History ofHumankind (2014), menunjuk kunci keberhasilan manusia pada kesanggupannya menyusun fiksi, membayangkan hal-hal yang tak ada, dan menciptakan yang belum pernah ada. Yang kurang diulas oleh Harari, kunci lain yang tak kalah penting dari kemampuan kreatif menyusun fiksi, yakni kemampuan kritis untuk melepaskan diri dari satu fiksi, membedakan fiksi dari fakta, lalu bergerak sistematis menyusun semesta lain melampaui faktisitas.

Namun, intinya keunggulan Sapiens adalah revolusi kognitifnya, karakter yang membuat seluruh individu normal dari spesies ini selalu ingin tahu. Tak berlebihan jika Jorge Luis Borges, salah satu pembaca paling rakus pada abad ke-20, lewat tokoh Pierre Menard, menulis, ”Berpikir, menganalisis, mencipta, bukanlah tindakan istimewa, melainkan pernapasan alami dalam kehidupan mental manusia”.

Minat baca

UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB) didirikan antara lain oleh semangat menjaga keberadaan Homo sapiens. Sejak lima dekade lalu, organisasi ini mengikuti perkembangan literasi dunia dan terus mengumumkan hasil penelitiannya. Salah satu buah riset mereka yang banyak beredar, khususnya di dunia pendidikan, adalah minat baca. UNESCO selalu menegaskan, meskipun tingkat buta huruf di Indonesia berhasil dikurangi, minat baca tetap sangat rendah.
Helvry Sinaga

CHRISTINA M UDIANI


Generasi orang- orang dangkal akan segera lahir.

Demikianlah Haidar Bagir dalam artikel di harian ini (28 April 2016) menggambarkan apa yang bakal terjadi apabila industri perbukuan tidak lagi bertahan.

Era digital yang kini meluas merambah kehidupan belum terlihat menawarkan kedalaman pikir, sementara industri perbukuan tengah terhuyung akibat rupa-rupa soal. Beberapa yang menonjol adalah rendahnya peringkat Indonesia dalam literasi, masih dominannya budaya tutur, dan kurangnya minat baca buku. Jika industri penerbitan ambruk, maka, menurut Haidar, ”ada ancaman besar generasi muda menderita kekurangan besar dalam kedalaman dan keluasan ilmu”.

Kecemasan Haidar cukup beralasan. Ia tak sendiri; relawan pegiat komunitas baca kian bertambah jumlah dan ragamnya. Meski demikian, melihat soal ini semata-mata dari kacamata perbukuan kuranglah memadai. Beberapa peneliti memperlihatkan tarik ulur teks dan digital di atas sesungguhnya adalah cermin soal klasik persinggungan dua hal, kelisanan dan keberaksaraan, yang berulang. Thomas Pettitt, ahli sastra abad pertengahan dari University of Southern Denmark, menyatakan hal itu bisa dirunut sekurangnya hingga ke masa Shakespeare. Marshall McLuhan memperlihatkan hal itulah yang terjadi pada dekade 1960-an.

Kelisanan dan keberaksaraan

Belum terlalu lama kita diliputi kegembiraan sekaligus tanda tanya besar setelah jumlah pemirsa televisi melonjak tinggi pada akhir 1960-an. Orang bertanya-tanya, apa yang akan terjadi dengan media cetak jika proporsi iklan televisi membesar dan jumlah pemirsa berlipat. Marshall McLuhan, filsuf dari Kanada sekaligus peneliti terkemuka dalam media komunikasi, menggambarkan keadaan masa itu dengan jernih dalam setidaknya dua bukunya, Gutenberg Galaxy (1962) dan Understanding Media (1964). Meski ucapannya ”the medium is the message” kerap dikutip, kebanyakan para pengutip, termasuk pengkaji media, berhenti pada kesimpulan, antara lain, bahwa medium atau teknologi membentuk format pesan itu sendiri.