John W Gardner dalam bukunya Can We Be
Equal and Excellent Too menyatakan ”Tidak ada negara bangsa yang dapat
menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang
diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan
peradabannya”.
Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas
sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik,
meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan
membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika
Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan
diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.
Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk
bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas,
25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan
keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden
mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan
dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa
Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik
mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna
mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen
responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara
lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai
kepribadian bangsa diperlukan.
Sebagai institusi agama dan bakti sosial yang amat besar, Muhammadiyah terpaksa menjalin hubungan dengan pemerintah yang ada. Pada zaman kolonial isu ini agak rumit.
Di satu sisi Muhammadiyah kurang se- nang dengan ”netralitas” pemerintah kolo- nial dalam bidang agama, yang memungkinkan misi-misi Kristen mencari pengi- kut baru dalam masyarakat Indonesia. Di sisi lain Muhammadiyah merangkul pendekatan pendidikan modern pemerintah: bekerja sama dengan pemerintah dalam pendidikan, bahkan meniru kegiatan misi Kristen dalam amal usahanya.
Selama periode Revolusi dan Orde Lama Soekarno, Muhammadiyah berusaha memperkuat masyarakat madani dan menolong kaum fakir dan miskin. Pada masa itu, organisasi yang semakin besar ini harus menghadapi pertentangan dari pihak komunis dan kompetitor—terutama pada tingkat akar rumput di pedalaman– dari kaum tradisionalis, yang terutama di- wakili oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pemerintah waktu itu cukup lemah dan kacau sehingga Muhammadiyah bisa jalan terus dengan kegiatannya tanpa harus memperhatikan sikap pemerintah.
Pasar Sejarah Nusantara
(Menanggapi Binhad Nurrohmat)
Ahda Imran
ESAI Binhad Nurrohmat atau BN ”Menerawang Kotak Hitam Nusantara” (Kompas, 11 November 2012) menyasar hubungan karya sejarah di Nusantara dan karya sastra. Hubungan yang diletakkannya sebagai persekutuan imajinasi dan nalar manakala keduanya melakukan penerawangan atas fakta dan data sejarah.
Meminjam latar penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 perihal ruang kosong sejarah Nusantara yang bisa dihampiri oleh para sastrawan, BN seolah mewaspadai bahwa ruang kosong itu berpotensi dimasuki oleh karya para pseudonovelis yang mewartakan sejarah gadungan. Para pseudonovelis yang mendasarkan karyanya pada data-fakta yang didapat serampangan, atau melulu fantasi-imajinasi serta menistakan logika sejarah. Di ujung kewaspadaannya itu, BN seolah membuat semacam seruan bahwa diperlukan moral untuk menarasi dan mewartakan sejarah melalui novel.
Menerawang Kotak Hitam Nusantara
Binhad Nurrohmat
Kompas,11 November 2012
Pena sejarawan menyisakan banyak lembaran kosong sejarah Nusantara. Banyak tokoh dan peristiwa pada masa lampau di Nusantara mengemuka saat ini dan tak sedikit yang antre panjang untuk dituliskan atau telanjur terpendam di balik ingatan. Bentangan masa dua milenium di Nusantara (sekurangnya sejak Kerajaan Salakanegara di Jawa Barat pada abad II hingga abad XXI ini) banyak memiliki lubang hitam besar menganga. Apalagi kalau dari sejarah diharapkan kebenaran absolut.
Sejarawan menulis karya sejarah dan bukan menuliskan kebenaran absolut. Sejarah adalah upaya melacak jejak atau merekam gema dari kejauhan ruang dan waktu. Sebagai upaya, penulisan sejarah kerap berada di bawah bayang-bayang rezim kebenaran. Kebenaran semacam ini bisa dianggap kuno dan tiranik, tetapi ternyata hal ini dianut banyak orang.