Helvry Sinaga
Melawan Budaya Korupsi
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

SUDAH terlalu banyak korupsi di negeri ini. Dari korupsi mini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena gaji yang juga mini sampai korupsi sistemik, yaitu korupsi yang sudah dianggap sebagai bagian dari sistem, misalnya: gratifikasi. Bahkan korupsi maksi (di atas Rp 1 miliar) karena nafsu serakah seperti yang dilakukan para terpidana KPK.

KPK memang sudah bekerja keras. Sejauh ini hasilnya sudah sama-sama kita saksikan. Vonis hakim memang bersifat relatif, bisa dianggap adil atau tidak adil, karena keadilan itu banyak versinya. Namun, yang jelas, korupsi tetap saja berlanjut. Tidak ada efek jera seperti yang diharapkan, apalagi mengingat keterbatasan jumlah tenaga dan dana. KPK mesti bikin prioritas dan prioritas ini dalam dunia politik artinya tebang-pilih.

Baru-baru ini saya mengikuti sebuah diskusi intern yang diadakan di suatu kementerian dalam rangka sosialisasi pemberantasan korupsi. Di situ dibahas beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen) tentang pemberantasan korupsi.


Kesan saya dari diskusi itu: para peserta (umumnya birokrat eselon I dan II) terlalu banyak— atau bahkan hanya—bicara soal hukum (UU, peraturan) dan penegakan hukum. Acuannya teori-teori yang di ilmu kriminologi mutakhir sudah ditinggalkan. Padahal hukum, UU dan peraturan yang dibuat sudah banyak, tumpang tindih, bahkan ada yang berlawanan sehingga para pejabat pusing melaksanakannya, bagaimana pula akan menyosialisasikannya?

Tak dianggap salah
Menghukum koruptor tak salah. Jera atau tidak, mereka patut dapat ganjaran. Namun, mengharapkan korupsi berkurang dari negeri ini, jangan diharapkan. Seribu KPK tak akan menuntaskan masalah korupsi karena di Indonesia korupsi sudah menjadi budaya, bukan sekadar perilaku orang per orang, seperti yang diatur oleh hukum pidana. KPK (juga polisi, jaksa, dan hakim) yang pada dasarnya melaksanakan KUHP (plus aksesorinya), hanya bekerja di bagian hilir dari budaya korupsi (perilaku individual), tak termasuk bagian hulunya (cara berpikir masyarakat).

Kebudayaan, menurut antropolog Koentjaraningrat, terdiri atas tiga komponen: kepercayaan (dalam psikologi disebut kognisi), perilaku, dan artefak (benda- benda budaya) yang berlaku, diikuti dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat tertentu.

Korupsi memenuhi ketiga komponen itu. Di Indonesia, korupsi tidak dianggap (kognitif) sebagai sesuatu yang salah. Bahkan jika seseorang jadi pejabat, ia wajib membagi keberuntungannya dengan keluarga di kampung (perilaku). Naik haji begitu pentingnya (kognitif) sehingga ada Haji Abidin (atas biaya dinas). Agama itu utama, karena itu tiap Jumat masjid penuh, tetapi korupsi juga tidak apa-apa, jadi Kementerian Agama pun terlibat korupsi Al Quran (perilaku). Artefak-artefak dari budaya korupsi adalah materi (mobil, rumah mewah, artis cantik, tanda pangkat, lambang-lambang jabatan di dada), dan hal itulah yang dijadikan ukuran keberhasilan seseorang, bahkan dipuja dalam budaya korupsi.

Artefak budaya korupsi
Melawan budaya korupsi, jadinya, harus dengan budaya juga (anti-korupsi). Caranya dengan mengintervensi ketiga komponen budaya tersebut.

Pertama, tentu saja melalui komponen kognitif, termasuk melalui program pendidikan umum, agama, maupun budi pekerti, lengkap contoh-contohnya. Tapi metode ini biasanya terlalu lama, tidak cepat hasil, dan hasilnya pun tidak kasatmata. Karena itu sering dianggap sia-sia.

Cara yang lebih cepat dan efisien melalui artefak dan/atau perilaku. Dulu ada pepatah, ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Dalam pepatah itu tersirat bahwa zaman dulu cara kencing yang baik ya jongkok. Tetapi sekarang semua laki-laki kencing berdiri karena sudah ada teknologi (artefak) toilet yang mencegah air kencing muncrat ke mana-mana.

Dalam pemberantasan budaya korupsi juga perlu diciptakan artefak yang memaksa orang berperilaku tertentu (anti-korupsi), yang dalam tempo tak terlalu lama akan diinternalisasikan sebagai keyakinan. Salah satu contoh artefak yang sudah dilaksanakan pemerintah adalah e-KTP. Dengan e-KTP, tak mungkin lagi ada KTP bodong atau KTP palsu (sumber korupsi).

Contoh intervensi perilaku yang sudah dilakukan pemerintah adalah lelang jabatan oleh Pemprov DKI. Dengan lelang jabatan, tak ada lagi peluang kolusi atau nepotisme dan pejabat-pejabat yang terpilih pun nyatanya sudah berprestasi bagus.

Mungkin instansi-instansi pemerintah sekarang perlu berlomba kreativitas untuk menciptakan metode intervensi perilaku ataupun artefak untuk mencegah korupsi sehingga pada suatu hari anak-anak gaul pun bisa bicara seperti ini: ”Hari gini..., masih korupsi?”

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog Sosial
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment