Helvry Sinaga

Bahasa

Bahasa Ibu dan Bahasa Etnik

Tulisan Saut Poltak Tambunan bertajuk ”Bahasa Ibu, Apa Perlunya?” di rubrik ini (28 Februari 2015), mengingatkan kembali ihwal ancaman kepunahan bahasa-bahasa etnik. Saat ini, tersisa 746 bahasa daerah di Indonesia dan pada akhir abad ke-21 diperkirakan hanya 75 bahasa daerah yang bertahan. Sori Siregar menanggapi dengan tulisan bertajuk ”Pintu Budaya Etnik” (14 Maret 2014). Ia mengaku baru bisa menikmati karya Poltak, Mangongkal Holi, yang memperoleh Hadiah Sastra Rancage ”setelah buku pemenang itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau dengan bantuan kamus Batak, kalau ada. ”Menurut Sori, ”Bahasa daerah yang kita sebut juga dengan bahasa ibu, seharusnya diberi tempat khusus di dunia pendidikan sejak awal.”

Dua terminologi muncul: bahasa daerah dan bahasa ibu. Pertanyaannya, apakah bahasa daerah identik dengan bahasa ibu? Banyak yang beranggapan demikian. Tentu saja anggapan ini bisa berlaku penuh pada abad-abad lampau ketika migrasi suku-suku belum segencar sekarang, ketika warga suku sekaligus hidup di wilayah dan bahasa sukunya. Orang Batak yang lahir dan dewasa di tanah Batak bisa dipastikan menguasai bahasa Batak secara alamiah.


Realitas sosiologis-geografis kini berubah pesat. Kini tak semua keluarga Batak menetap di tanah Batak, dan sehari-hari berbahasa Batak dalam komunikasi keluarga. Bahkan, yang tinggal di tanah Batak pun tak selalu menggunakan bahasa Batak dalam berkomunikasi di lingkungan keluarganya. Di kota-kota apalagi, semakin banyak keluarga berbahasa Indonesia sehingga bahasa nasional inilah yang menjadi bahasa ibu dan bahasa utama anak-anak mereka. Pendidikan, migrasi suku-suku, dan media massa berpengaruh memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam kehidupan keluarga dan pergaulan sosial. Globalisasi telah pula memperluas ruang-ruang pergaulan sosial antarbangsa sejak seseorang masih kanak-kanak. Keluarga bilingual, misalnya berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris, atau berbahasa Jerman dan berbahasa Indonesia, kian banyak ditemukan di kota-kota besar atau dalam keluarga pasangan berbeda ras atau bangsa. Dulu bilingual adalah bahasa etnik dan bahasa nasional, kini bahasa nasional dan bahasa asing.
Bahasa Inggris menyebut bahasa ibu sebagai mother tongue atau mother language. Orang yang berbahasa ibu disebut penutur asli, native speaker, yakni yang lahir di sebuah negara, menguasai bahasa negara tersebut sejak anak-anak secara alamiah dan menggunakannya sebagai bahasa pertama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, bahasa ibu adalah ”bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya”, sedangkan bahasa daerah adalah ”bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah; bahasa suku-bangsa, seperti bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Sunda.”
Hadiah Sastra Rancage berkaitan dengan pelestarian dan atau pengembangan bahasa dan sastra daerah. Wikipedia mencatat, ”Hadiah Sastra Rancage adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah.” Di sini tak disebut bahasa ibu, melainkan bahasa dan sastra daerah.
Bahasa etnik tak semata-mata lestari oleh adanya aksara, sastra, tetapi juga para penuturnya. Bahasa Latin tetap bertahan karena, selain memiliki aksara Latin yang bisa dipelajari semua orang, juga menjadi teks-teks keagamaan dan keilmuan. Bahasa etnik akan langgeng hidup bila jumlah penuturnya tidak menyusut dari waktu ke waktu. Memang orang Sunda atau orang Batak sendirilah yang paling pas melestarikan atau mengembangkan bahasa dan sastra daerahnya, sebab penguasaan bahasa etnik meliputi pula aspek rasa, cara berpikir, dan budaya.

Rainy MP Hutabarat
Cerpenis, Pekerja Media

Labels: | edit post
1 Response
  1. Istiwulan Says:

    Selamat pagi. Apakah Anda mengetahui informasi lengkap mengenai ibu Rainy MP Hutabarat?


Post a Comment