Helvry Sinaga

CHRISTINA M UDIANI


Generasi orang- orang dangkal akan segera lahir.

Demikianlah Haidar Bagir dalam artikel di harian ini (28 April 2016) menggambarkan apa yang bakal terjadi apabila industri perbukuan tidak lagi bertahan.

Era digital yang kini meluas merambah kehidupan belum terlihat menawarkan kedalaman pikir, sementara industri perbukuan tengah terhuyung akibat rupa-rupa soal. Beberapa yang menonjol adalah rendahnya peringkat Indonesia dalam literasi, masih dominannya budaya tutur, dan kurangnya minat baca buku. Jika industri penerbitan ambruk, maka, menurut Haidar, ”ada ancaman besar generasi muda menderita kekurangan besar dalam kedalaman dan keluasan ilmu”.

Kecemasan Haidar cukup beralasan. Ia tak sendiri; relawan pegiat komunitas baca kian bertambah jumlah dan ragamnya. Meski demikian, melihat soal ini semata-mata dari kacamata perbukuan kuranglah memadai. Beberapa peneliti memperlihatkan tarik ulur teks dan digital di atas sesungguhnya adalah cermin soal klasik persinggungan dua hal, kelisanan dan keberaksaraan, yang berulang. Thomas Pettitt, ahli sastra abad pertengahan dari University of Southern Denmark, menyatakan hal itu bisa dirunut sekurangnya hingga ke masa Shakespeare. Marshall McLuhan memperlihatkan hal itulah yang terjadi pada dekade 1960-an.

Kelisanan dan keberaksaraan

Belum terlalu lama kita diliputi kegembiraan sekaligus tanda tanya besar setelah jumlah pemirsa televisi melonjak tinggi pada akhir 1960-an. Orang bertanya-tanya, apa yang akan terjadi dengan media cetak jika proporsi iklan televisi membesar dan jumlah pemirsa berlipat. Marshall McLuhan, filsuf dari Kanada sekaligus peneliti terkemuka dalam media komunikasi, menggambarkan keadaan masa itu dengan jernih dalam setidaknya dua bukunya, Gutenberg Galaxy (1962) dan Understanding Media (1964). Meski ucapannya ”the medium is the message” kerap dikutip, kebanyakan para pengutip, termasuk pengkaji media, berhenti pada kesimpulan, antara lain, bahwa medium atau teknologi membentuk format pesan itu sendiri.


Dalam Gutenberg Galaxy, McLuhan menjelaskan, yang dia maksudkan dengan medium adalah segala teknologi yang merupakan perpanjangan indra dan tubuh manusia, mulai dari pakaian hingga komputer. Tiga teknologi yang berpengaruh pada manusia dan lingkungannya: aksara, cetak, dan telegraf yang ditemukan pada 1814. Bagi McLuhan, penemuan aksara seperti penemuan bom. Ia membawa perubahan mendasar pada masyarakat lisan menjadi masyarakat beraksara, tapi penemuan selanjutnya, aksara cetak, jauh lebih dahsyat dampaknya, ”ibarat 100 megaton bom hidrogen”. Keberaksaraan cetak mengubah manusia lisan yang terbiasa hidup dengan seluruh indranya menjadi manusia yang terbatas pada indra visual.

Bagaimana dengan teknologi elektronik dan digital? Kehadiran telegraf dan teknologi turunannya membuka jalan kembali menuju keseimbangan indra, tidak berhenti pada ”manusia Gutenberg” yang terpetak-petak. Dalam wawancara dengan Playboy (Maret 1969), McLuhan menegaskan, ”The use of the electronic media constitutes a break boundary between fragmented Gutenberg man and integral man, just phonetic literary was a break boundary between oral-tribal man and visual man.”

Hal sama ditegaskan rekanMcLuhan, Walter J Ong. Kehadiran media elektronik dan digital, menurut Ong, mengembalikan sifat kelisanan pada bahasa; bukan membawa orang ke zaman sebelum Gutenberg, tetapi menghadirkan kembali kelisanan pada orang yang telah kenal aksara. Ia menyebutnya sebagaiKelisanan Kedua.Kelisanan bahasa sungguh vital dan lebih berterima mengingat komunikasi lewat artikulasi suara mengungguli cara komunikasi lain, termasuk melalui teks atau gerak tubuh. Sedemikian berterima sehingga dari sekitar 3.000 bahasa di dunia, hanya 78 yang menghasilkan tulisan sastra.

Bersyukurlah kita karena persinggungan kelisanan dan keberaksaraan di Nusantara telah dikaji banyak peneliti dunia. Almarhum Amin Sweeney, misalnya, bertungkus-lumus mencoba memahami interaksi tradisi lisan dengan keberaksaraan lewat kajian Melayu. Dengan pendekatan Noetika, Amin memperlihatkan budaya lisan dan budaya aksara menentukan cara pandang dunia seseorang dan mengelola pengetahuan.

Dalam budaya lisan, yang terutama ialah menjaga kelestarian pengetahuan agar tak lekas punah. Informasi, pengetahuan, petuah disampaikan langsung kepada khalayak pendengar oleh pencerita tanpa mediasi. Interaksi terbangun intim dan dua arah. Pencerita menuturkan; pendengar menerima dan menimpali. Keduanya bertemu dalam suatu pengalaman. Agar cerita atau informasi itu tetap bertahan, diperlukan jembatan keledai sehingga baik penutur maupun pendengar mudah mengingat. Rima dalam pantun, misalnya. Pengingat lain: narasi. Tanpa jalan cerita menarik, informasi akan mudah terlupakan.

Dalam budaya aksara cetak, orang menghadapi teks yang tak lekang waktu. Teks bisa dibaca ulang; gagasan ditinjau kembali, ditabrakkan, dan diuji, kapan saja dan dalam konteks berbeda. Namun, media cetak tak menyuguhkan kedekatan, melainkan jarak yang kukuh antara pencipta dan khalayak pembaca. Sedemikian berjarak sehingga teks memungkinkan, bahkan meminta, suatu analisis, bukan sekadar pengulangan atau penghafalan.

Maka, tak mengherankan bila Sweeney menggarisbawahi bahwa mampu membaca dan menulis belum tentu membuat seseorang sepenuhnya memasuki dunia keberaksaraan. Jika seorang murid yang sudah pandai baca tulis tahu bahwa matahari terbit dari timur karena ”Kata Bu Guru begitu”, bisa dibilang ia belum sepenuhnya berbudaya aksara. Ia masih menghafal. Mengulang. Demikian juga seorang mahasiswa atau peneliti yang pandai mengutip sumber tanpa paham maknanya sehingga kutipan itu kosong belaka; ia sudah bisa membaca dan menulis, tapi belum sepenuhnya beraksara.

Kelisanan kedua

Era digital adalah niscaya. Ponsel menyuguhkan alat komunikasi yang seimbang: membaca pesan, mendengar telepon, menonton video sambungan jarak jauh. Ratusan buku elektronik juga tertampung dalam gawai itu. Orang bisa berteriak, bertanya langsung kepada pengarang favoritnya melalui Twitter atau Facebook. Tak ada lagi jarak, tak ada lagi jeda. Tidak individual, tetapi kerumunan. Bahkan, blog memungkinkan pembaca membelokkan jalan cerita sekehendak hatinya, lewat karangan fanfiction, yang tak menutup kemungkinan lebih populer ketimbang cerita yang asli. Teks tak lagi sakral. Buku tak lagi satu-satunya otoritas penyebar pengetahuan.

Lalu, di manakah peran buku dan di manakah kedalaman pengetahuan bisa didapat?

Semakin berkurangnya buta huruf adalah awal bagus menuju beraksara. Namun, di masa Kelisanan Kedua ini, yang sesungguhnya kita butuhkan bukan hanya bisa membaca ataupun minat baca. Minat beraksara, minat bernalar, jauh lebih mendesak.

Buku merupakan salah satu sumber rujukan memupuk keberaksaraan, tetapi era digital membuka ruang yang berlipat lebih luas mengasah kedalaman penalaran. Sebab itu, sudah saatnya menutup jurang antara buku dan dunia digital. Buku perlu keluar dari kungkungan bentuk wadaknya—medium cetak—dan kembali pada hakikatnya—konten. Konten itulah yang akan hidup dan ditangkap penglihatan, pendengaran, perabaan, dan mungkin penciuman khalayak. Jika itu bisa diraih, boleh jadi, sementara buku pamit undur ke belakang, penerbit akan tetap berada di garda depan.

Di sisi lain, kita perlu bukan hanya memberi tempat, tetapi menumbuhkembangkan, budaya partisipatif. Jilid-jilid ensiklopedia kini sudah hampir sama sekali tergantikan Wikipedia, buah nyata suatu participatory culture. Siapa pun tak bisa lagi hanya bersandar pada buku kemudian menjadi pemegang kunci pintu gerbang kebenaran. Otoritas adalah hasil kerja, dan itu adalah kerja bersama, hasil dialog, dan keterbukaan. Jika itu bisa terjadi, boleh jadi, sementara digital terus berkembang, buku akan tetap dibutuhkan mendampingi.

Christina M Udiani, Editor Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Buku dan Keberaksaraan".
Labels: , | edit post
0 Responses

Post a Comment