Menerawang Kotak Hitam Nusantara
Binhad Nurrohmat
Kompas,11 November 2012
Pena sejarawan menyisakan banyak lembaran kosong sejarah Nusantara. Banyak tokoh dan peristiwa pada masa lampau di Nusantara mengemuka saat ini dan tak sedikit yang antre panjang untuk dituliskan atau telanjur terpendam di balik ingatan. Bentangan masa dua milenium di Nusantara (sekurangnya sejak Kerajaan Salakanegara di Jawa Barat pada abad II hingga abad XXI ini) banyak memiliki lubang hitam besar menganga. Apalagi kalau dari sejarah diharapkan kebenaran absolut.
Sejarawan menulis karya sejarah dan bukan menuliskan kebenaran absolut. Sejarah adalah upaya melacak jejak atau merekam gema dari kejauhan ruang dan waktu. Sebagai upaya, penulisan sejarah kerap berada di bawah bayang-bayang rezim kebenaran. Kebenaran semacam ini bisa dianggap kuno dan tiranik, tetapi ternyata hal ini dianut banyak orang.
Ada warisan naskah dari masa lalu yang menggambarkan peristiwa dan tokoh yang terjadi dan hidup pada paruh pertama milenium kedua Masehi di Nusantara, sebagai misal Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa, Sutasoma karya Empu Tantular, Negarakretagama karya Empu Prapanca, dan karya anonim Pararaton.
Apakah semua informasi dari naskah-naskah itu sahih merupakan pertanyaan yang bisa jadi perlu diajukan. Babad dan serat tersebut adalah naskah-naskah kanon yang lahir sebelum kedatangan bangsa Barat di Nusantara dan berisi rekaman sebagian potret kehidupan, peristiwa, filosofi, dan kiprah tokoh besar di wilayah Jawa Timur (saat ini) pada masa Raja Airlangga beserta para penerusnya, Kerajaan Singasari, ataupun Kerajaan Majapahit.
Selain naskah-naskah itu, masa silam di Nusantara juga terekam dalam naskah-naskah kuno lain yang berserak di banyak tempat, juga terpahat di prasasti, tertoreh dalam catatan para pelancong asing, dan juga hidup sampai hari ini dalam cerita rakyat lokal. Semua itu memuat sejarah atau memori kolektif. Barangkali ”sejarah” terasa resmi ketimbang ”memori”. Namun, inti dari keduanya adalah ingatan dan pemaknaan terhadap masa lalu. Ingatan dan pemaknaan tidak saja bisa berbeda, tetapi juga akan berubah seiring perubahan ruang dan waktu. Sejarah bukan sejenis batu akik dogmatik.
Kotak hitam dan siasat pemaknaan
Realitas terlalu raksasa, baik konteks maupun kompleksitasnya. Banyak kotak hitam di dalamnya yang masih menyimpan teka-teki dan misteri. Sejarawan tak bisa bekerja sendirian menguak dan menorehkan laporannya tentang isi kotak hitam itu. Dulu dan juga sekarang. Sutasoma adalah karya sastra gubahan pujangga Empu Tantular, sedangkan Pararaton merupakan catatan faktual peristiwa alam dan peristiwa kebudayaan yang diguratkan oleh seorang penulis kronik.
Di hadapan realitas sejarah, imajinasi dan nalar bisa bekerja sendiri-sendiri atau bersekutu, bahu-membahu, untuk menerawang dan mencerap masa lalu melalui fakta dan data yang ada. Kebenaran-kebenaran akan tersentuh dan tergali melalui pengerahan imajinasi dan nalar itu. Sejarawan dan sastrawan bisa menuliskan realitas historis melalui caranya masing-masing dengan hasil serupa atau sama sekali berbeda.
Dalam konteks ini, pertemuan antara para penulis novel berlatar sejarah dan para sejarawan atau pengamat sejarah di Magelang dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 memiliki relevansi penting dengan persoalan penguakan, penorehan, dan pemaknaan sejarah beserta kotak-kotak hitam masa silam di Nusantara. Pertemuan ini merupakan ruang komunikasi antara novelis berlatar sejarah dan para sejarawan atau pengamat sejarah.
Para novelis berlatar sejarah dan sejarawan bermain dalam siasat pemaknaan, yaitu pemilihan konteks di tengah kompleksitas realitas yang mereka hadapi. Pramoedya Ananta Toer dalam roman Arus Balik menorehkan kekuatan bangsa-bangsa di Nusantara yang menghuni belahan bumi bagian selatan ini dan kekalahan mereka menghadapi kedatangan bangsa-bangsa dari belahan bumi utara. Keperkasaan dan ketakberdayaan bangsa ini merupakan titik pusat konteks yang diambil Pram di tengah kompleksitas sejarah bangsa-bangsa di Nusantara dengan mengambil latar menjelang dan sesudah masa keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Sesudah Pram, bermunculan novel yang mengambil dan mengolah sejarah di Nusantara dan sebagian besar terkait peristiwa dan tokoh pada masa lalu yang saat ini masuk di wilayah Jawa Barat (Kerajaan Pajajaran), Lampung (Kerajaan Skala Brak), Palembang (Kerajaan Sriwijaya), Jawa Tengah (Kerajaan Mataram, Senopati Pamungkas), dan Jawa Timur (Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, Peristiwa Bubat, Walisanga, Siti Jenar).
Tak sedikit kontroversi terbuka atau sayup-sayup terjadi lantaran novel-novel berlatar sejarah di Nusantara itu karena dinilai berbeda atau berlawanan dengan versi sejarah resmi atau memori kolektif. Juga ada novel-novel semacam itu yang menarik perhatian karena menemukan data dan fakta baru yang rahasia atau tak mengemuka di publik sebelumnya. Juga ada naskah lama yang diduga berisi ”sejarah gadungan” yang dibuat oleh antek penjajah untuk memecah belah atau mengadu domba antarsuku, yaitu naskah Kidung Sunda.
Sejarah gadungan dan takhta kebenaran
Novel berlatar sejarah Nusantara bisa menang dari segi artikulasi ketimbang sejarah resmi sehingga sejarah Nusantara melalui novel lebih kuat membentuk opini kolektif. Juga lebih unggul dalam imajinasi dan pemaknaan karena bentuk dan daya bahasa estetisnya. Rekonstruksi peristiwa masa lampau lebih ”bunyi” dan ”enak” melalui narasi, melalui novel, ketimbang lewat diktat, makalah, atau jurnal ilmiah. Bukan berarti artikulasi ilmiah adalah keburukan, tetapi dalam kenyataan, akses publik terhadapnya minimal—padahal sejarah ditulis semestinya dan lebih berfaedah untuk kebutuhan khalayak luas, bukan semata untuk kebutuhan pribadi.
Mutu artikulasi dan kadar kebenaran merupakan dua perkara penting yang mesti dimiliki oleh novel berlatar sejarah. Meski tak absolut, sejarah bukanlah fakta atau data gadungan atau diperoleh secara serampangan. Dan, novel berlatar sejarah bukan jaminan menjadi karya yang baik jika hanya membeludakkan fakta dan data tanpa kualitas tata narasi dan bahasa yang baik.
Apakah seorang novelis berlatar sejarah adalah juga sekaligus seorang sejarawan? Yang pasti adalah seorang novelis berlatar sejarah menguasai bahan-bahan yang hendak dituliskannya. Jika sejarah merupakan bahan penciptaan seorang novelis, bahan kesejarahan mesti dikuasainya dan bukan semata hasil fantasi atau imajinasi, apalagi sengaja mendustai fakta dan data yang ada.
Perlu moralitas untuk menarasikan atau mengabarkan sejarah melalui novel atau genre lain. Kebenaran sejarah bukan berarti hal absolut. Kebenaran sejarah adalah sejauh bisa dibuktikan melalui data dan fakta. Peran imajinasi dan estetika literer adalah kualitas tersendiri yang inheren bagi novelis, dan tanpa kualitas-kualitas ini, seorang novelis hanyalah seorang pseudonovelis.
Binhad Nurrohmat Penyair
PS. Tanggapan atas tulisan ini di sini
Binhad Nurrohmat
Kompas,11 November 2012
Pena sejarawan menyisakan banyak lembaran kosong sejarah Nusantara. Banyak tokoh dan peristiwa pada masa lampau di Nusantara mengemuka saat ini dan tak sedikit yang antre panjang untuk dituliskan atau telanjur terpendam di balik ingatan. Bentangan masa dua milenium di Nusantara (sekurangnya sejak Kerajaan Salakanegara di Jawa Barat pada abad II hingga abad XXI ini) banyak memiliki lubang hitam besar menganga. Apalagi kalau dari sejarah diharapkan kebenaran absolut.
Sejarawan menulis karya sejarah dan bukan menuliskan kebenaran absolut. Sejarah adalah upaya melacak jejak atau merekam gema dari kejauhan ruang dan waktu. Sebagai upaya, penulisan sejarah kerap berada di bawah bayang-bayang rezim kebenaran. Kebenaran semacam ini bisa dianggap kuno dan tiranik, tetapi ternyata hal ini dianut banyak orang.
Ada warisan naskah dari masa lalu yang menggambarkan peristiwa dan tokoh yang terjadi dan hidup pada paruh pertama milenium kedua Masehi di Nusantara, sebagai misal Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa, Sutasoma karya Empu Tantular, Negarakretagama karya Empu Prapanca, dan karya anonim Pararaton.
Apakah semua informasi dari naskah-naskah itu sahih merupakan pertanyaan yang bisa jadi perlu diajukan. Babad dan serat tersebut adalah naskah-naskah kanon yang lahir sebelum kedatangan bangsa Barat di Nusantara dan berisi rekaman sebagian potret kehidupan, peristiwa, filosofi, dan kiprah tokoh besar di wilayah Jawa Timur (saat ini) pada masa Raja Airlangga beserta para penerusnya, Kerajaan Singasari, ataupun Kerajaan Majapahit.
Selain naskah-naskah itu, masa silam di Nusantara juga terekam dalam naskah-naskah kuno lain yang berserak di banyak tempat, juga terpahat di prasasti, tertoreh dalam catatan para pelancong asing, dan juga hidup sampai hari ini dalam cerita rakyat lokal. Semua itu memuat sejarah atau memori kolektif. Barangkali ”sejarah” terasa resmi ketimbang ”memori”. Namun, inti dari keduanya adalah ingatan dan pemaknaan terhadap masa lalu. Ingatan dan pemaknaan tidak saja bisa berbeda, tetapi juga akan berubah seiring perubahan ruang dan waktu. Sejarah bukan sejenis batu akik dogmatik.
Kotak hitam dan siasat pemaknaan
Realitas terlalu raksasa, baik konteks maupun kompleksitasnya. Banyak kotak hitam di dalamnya yang masih menyimpan teka-teki dan misteri. Sejarawan tak bisa bekerja sendirian menguak dan menorehkan laporannya tentang isi kotak hitam itu. Dulu dan juga sekarang. Sutasoma adalah karya sastra gubahan pujangga Empu Tantular, sedangkan Pararaton merupakan catatan faktual peristiwa alam dan peristiwa kebudayaan yang diguratkan oleh seorang penulis kronik.
Di hadapan realitas sejarah, imajinasi dan nalar bisa bekerja sendiri-sendiri atau bersekutu, bahu-membahu, untuk menerawang dan mencerap masa lalu melalui fakta dan data yang ada. Kebenaran-kebenaran akan tersentuh dan tergali melalui pengerahan imajinasi dan nalar itu. Sejarawan dan sastrawan bisa menuliskan realitas historis melalui caranya masing-masing dengan hasil serupa atau sama sekali berbeda.
Dalam konteks ini, pertemuan antara para penulis novel berlatar sejarah dan para sejarawan atau pengamat sejarah di Magelang dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 memiliki relevansi penting dengan persoalan penguakan, penorehan, dan pemaknaan sejarah beserta kotak-kotak hitam masa silam di Nusantara. Pertemuan ini merupakan ruang komunikasi antara novelis berlatar sejarah dan para sejarawan atau pengamat sejarah.
Para novelis berlatar sejarah dan sejarawan bermain dalam siasat pemaknaan, yaitu pemilihan konteks di tengah kompleksitas realitas yang mereka hadapi. Pramoedya Ananta Toer dalam roman Arus Balik menorehkan kekuatan bangsa-bangsa di Nusantara yang menghuni belahan bumi bagian selatan ini dan kekalahan mereka menghadapi kedatangan bangsa-bangsa dari belahan bumi utara. Keperkasaan dan ketakberdayaan bangsa ini merupakan titik pusat konteks yang diambil Pram di tengah kompleksitas sejarah bangsa-bangsa di Nusantara dengan mengambil latar menjelang dan sesudah masa keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Sesudah Pram, bermunculan novel yang mengambil dan mengolah sejarah di Nusantara dan sebagian besar terkait peristiwa dan tokoh pada masa lalu yang saat ini masuk di wilayah Jawa Barat (Kerajaan Pajajaran), Lampung (Kerajaan Skala Brak), Palembang (Kerajaan Sriwijaya), Jawa Tengah (Kerajaan Mataram, Senopati Pamungkas), dan Jawa Timur (Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, Peristiwa Bubat, Walisanga, Siti Jenar).
Tak sedikit kontroversi terbuka atau sayup-sayup terjadi lantaran novel-novel berlatar sejarah di Nusantara itu karena dinilai berbeda atau berlawanan dengan versi sejarah resmi atau memori kolektif. Juga ada novel-novel semacam itu yang menarik perhatian karena menemukan data dan fakta baru yang rahasia atau tak mengemuka di publik sebelumnya. Juga ada naskah lama yang diduga berisi ”sejarah gadungan” yang dibuat oleh antek penjajah untuk memecah belah atau mengadu domba antarsuku, yaitu naskah Kidung Sunda.
Sejarah gadungan dan takhta kebenaran
Novel berlatar sejarah Nusantara bisa menang dari segi artikulasi ketimbang sejarah resmi sehingga sejarah Nusantara melalui novel lebih kuat membentuk opini kolektif. Juga lebih unggul dalam imajinasi dan pemaknaan karena bentuk dan daya bahasa estetisnya. Rekonstruksi peristiwa masa lampau lebih ”bunyi” dan ”enak” melalui narasi, melalui novel, ketimbang lewat diktat, makalah, atau jurnal ilmiah. Bukan berarti artikulasi ilmiah adalah keburukan, tetapi dalam kenyataan, akses publik terhadapnya minimal—padahal sejarah ditulis semestinya dan lebih berfaedah untuk kebutuhan khalayak luas, bukan semata untuk kebutuhan pribadi.
Mutu artikulasi dan kadar kebenaran merupakan dua perkara penting yang mesti dimiliki oleh novel berlatar sejarah. Meski tak absolut, sejarah bukanlah fakta atau data gadungan atau diperoleh secara serampangan. Dan, novel berlatar sejarah bukan jaminan menjadi karya yang baik jika hanya membeludakkan fakta dan data tanpa kualitas tata narasi dan bahasa yang baik.
Apakah seorang novelis berlatar sejarah adalah juga sekaligus seorang sejarawan? Yang pasti adalah seorang novelis berlatar sejarah menguasai bahan-bahan yang hendak dituliskannya. Jika sejarah merupakan bahan penciptaan seorang novelis, bahan kesejarahan mesti dikuasainya dan bukan semata hasil fantasi atau imajinasi, apalagi sengaja mendustai fakta dan data yang ada.
Perlu moralitas untuk menarasikan atau mengabarkan sejarah melalui novel atau genre lain. Kebenaran sejarah bukan berarti hal absolut. Kebenaran sejarah adalah sejauh bisa dibuktikan melalui data dan fakta. Peran imajinasi dan estetika literer adalah kualitas tersendiri yang inheren bagi novelis, dan tanpa kualitas-kualitas ini, seorang novelis hanyalah seorang pseudonovelis.
Binhad Nurrohmat Penyair
PS. Tanggapan atas tulisan ini di sini
Post a Comment