Helvry Sinaga
Judul: Tuan Alu dan Nyonya Lesung
Pengarang: Zelfeni Wimra
Koran Tempo, 15 Mei 2011

Pada awalnya saya tidak menduga jika Zelfeni akan menceritakan pohon kopi dan batu dengan perumpaan sebagus ini. Konsep pertemuan yang memang "jodoh"nya, tak dapat diduga-duga dan rasanya ajaib. Seperti kutipan berikut:

Apakah Tuan Alu didatangkan dari belantara untuk Nyonya Lesung? Atau sebaliknya, Nyonya Lesung didatangkan dari sungai untuk Tuan Alu

Baik Tuan Alu dan Nyonya Lesung berasal dari latar belakang berbeda, punya cerita kesepian dan cerita cinta, namun mereka bekerja sama dalam tangan satu orang.

Pengalaman masa lalu turut membentuk kearifan. Apa yang dahulu boleh jadi sesuatu hal yang pahit, sedih, indah, bagus, namun bila dibandingkan dengan keadaan 'kekinian' tampaknya hal-hal tersebut tidaklah berarti. Perhatikan yang dialami Tuan Alu:


"Sisi bagian pangkal yang dulu menopang batangnya kini dibentuk sedemikian rupa yang jika diperlukan akan digunakan untuk menumbuk cekungan batu. Tuan Alu menamainya kepala sekalipun posisinya selalu di bawah."

Apa kata Nyonya Lesung:
"Hidup bersama air tidak menghasilkan banyak perubahan. Hanya sebatas alasan, bahwa kelembutan titik air bisa melubangiku!"

Mereka masih butuh kopi dan padi untuk ditumbuk, dan tangan yang yang melakukannya, agar mereka tetap bersama.
Cerpen ini mantap.



TUAN Alu memeriksa setiap pori-pori di kepalanya. Bagian ujung dari tubuhnya yang selalu tertumbuk ke bumi itu kini ia sebut kepala. Ini bermula sejak sebilah parang memangkas badannya. Sejak ia terpisah dari akar yang membesarkannya. Sejak ia memutuskan untuk menerima hidupnya dengan perasaan terbalik.

Dahulu, ia hanya mengenal pucuk yang setiap detik tumbuh ke atas menuju puncak. Sekalipun yang disebut puncak itu hanyalah awang-awang. Kini ia tidak lagi berpucuk. Ia kini mengenal ujung dan pangkal. Bagian pangkal ia namai saja dengan kepala. Jadi, kalau ada yang berteka-teki, siapa yang menguras hidupnya dengan kelapa di bawah dan kaki di atas? Tuan Alu akan menjawab: itulah dirinya.

Dahulu, ia mengenal akar yang setiap detik mengedap-menyusup ke perut bumi. Menyerap sari tanah untuk di kirim ke batang, ke daun hingga terbitlah buah dan bunga. Kini ia hanya tahu dengan atas dan bawah. Ke atas untuk berayun dan ke bawah untuk menumbuk.

Tuan Alu pun sudah mengganti cara ia menggunakan perasaan. Ketika pangkal batangnya di tebang parang, ia merasakan sakit. Sangat sakit. Tapi, secepat kilat ia paksa dirinya menukar perasaan sakit itu dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Ia tekankan pada dirinya: diperlukan banyak kesakitan untuk keluar dari kesepian.

Sesungguhnya, Tuan Alu dahulunya tumbuh sebagai sebatang kopi yang ceria. Akarnya kuat. Batangnya liat. Daunnya rimbun, hijau gelap. Ulat bulu sangat senang mengakhiri petualangannya di salah satu dahan Tuan Alu. Membungkus badannya dengan serat kepompong lalu menjadi kupu-kupu. Sekawanan semut hitam juga nyaman bersarang di tampuk-tampuk daun Tuan Alu. Begitu juga dengan tupai. Sekalipun sering terjatuh ketika melompat dari ujung dahan Tuan Alu, namun tupai tak pernah bosan berayun dan meloncat di situ.

Sungguh, kehidupan yang sangat nyaman bagi Tuan Alu. Ia terbilang paling rimbun di belantara kebun tinggal itu. Akan tetapi, siapa yang tahu, ia tampak selalu bahagia, selalu riang dan rindang, rupanya sedang mangandung malang. Ia mengidap sakit sepi. Sepi. Sepi di tengah keramaian belantara. Tumbuh ceria, riang, dan rindang lalu setiap musim menerbitkan buah saja, ia rasakan tidak cukup. Selalu ada yang mengentak-entak dalam umbut batangnya.

Teman-temannya yang lain, yang sama-sama tumbuh di kebun itu banyak yang iri. Kelemahan dan kesalahannya dicari-cari. Ia dimaki sebab tumbuh susah-payah hanya untuk menerbitkan buah yang pahit. Kasihan pada manusia yang suka kopi. Ia dicerca, karena punya anak banyak. Selepas musim berbuah, anak-anak kopi akan bermunculan tidak hanya di sekitar batangnya. Buah yang keluar dari pencernaan luak pun bisa tumbuh di mana pun terserak.

Tuan Alu, di masa itu, sudah mulai berani menyimpulkan takdirnya. Hidup adalah pertumbuhan yang pahit. Buahnya juga pahit. Ketika sebilah parang berdesing, memangkas batangnya, ia berusaha cepat sadar, barangkali ada kehidupan baru yang lebih baik untuknya. Barangkali ia akan segera keluar dari kepahitan, dari kesepian. Ia ucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya.

Benar. Ada kehidupan baru untuknya. Sisi bagian pangkal yang dulu menopang batangnya kini dibentuk sedemikian rupa yang jika diperlukan akan digunakan untuk menumbuk cekungan batu. Tuan Alu menamainya kepala sekalipun posisinya selalu di bawah. Kehidupan yang terbalik. Perubahan nasib yang terbalik. Tapi ia menemukan sesuatu yang baru. Sakit sepi yang ia kandung perlahan kikis. Apalagi sejak ia diberi seorang teman: Nyonya Lesung.

Sebenarnya tidak jelas, siapa yang dipersiapkan untuk siapa? Apakah Tuan Alu didatangkan dari belantara untuk Nyonya Lesung? Atau sebaliknya, Nyonya Lesung didatangkan dari sungai untuk Tuan Alu? Yang jelas, bagi Tuan Alu, sejak kehadiran Nyonya Lesung, hidupnya berubah sama sekali. Selain telah berhasil melepaskan diri dari kesepian, ia juga telah berhasil menukar perasaannya.

Pengalaman yang dulu dirasakannya sakit seperti ketika menanggung luka akibat tebasan parang, telah ia ganti dengan rasa senang. Bersama Nyonya Lesung ia temukan keasyikan baru. Sekalipun itu, jika dinilai dengan perasaannya semasa masih berwujud sebatang kopi, sungguh menyakitkan.

Ia periksa lagi kepalanya, kini, begitu banyak luka di sana. Ia mulai melupakan sakit luka kepalanya itu sejak tangan-tangan yang setiap hari mengayunkan kepalanya menghentak ke cekungan tubuh Nyonya Lesung menghantam tumpukan biji kopi. Biasanya, ia dan Nyonya Lesung saling hentak, saling tikam, saling gesek di atas tumpukan padi yang akan dikelupas jadi beras. Atau di atas timbunan beras yang akan jadi tepung. Kini diganti dengan biji kopi yang harus dikelupaskan.

Seketika, Tuan Alu teringat masa lalunya. Mestikah kini ia menumbuk buahnya sendiri. Biji-biji kopi itu, dalam istilah manusia adalah juga darah dagingnya sendiri. Ini pilihan yang sangat berat. Tapi pada telapak tangan-tangan yang selalu mengayun tubuhnya itu, sepertinya sudah tersurat takdir Tuan Alu.

Sedikit demi sedikit, Tuan Alu kembali merasakan perasaan yang selama ini sudah ditinggalkannya. Rasa sakit luka yang sudah dilupakannya terbit lagi. Ia tidak terima ditumbukkan ke biji-biji kopi. Ia saksikan dengan jelas, biji-biji kopi itu terkelupas. Dirinya seakan dicelupkan ke dalam lendir cabai paling pedas.

Nyonya Lesung sudah membujuknya. Ia bisikkan kepada Tuan Alu, "Jangan bersedih. Sedih itu sama dengan ngarai yang akan menggelindingkan kita kembali ke jurang sepi. Jangan berpikir, bahwa kau saja yang pernah luka, Sayang.

"Aku juga sudah kembali dari sakit menanggung sakit sepi itu!"

Nyonya Lesung pun mengulang kisah hidupnya pada Tuan Alu. Tuan Alu sebenarnya sudah bosan mendengar masa lalu Nyonya Lesung yang teramat nyinyir telah diceritakan padanya. Namun, karena sadar, dirinya sedang ingin ditemani, Tuan Alu menyimaknya seperti sangat menyukai perlawanan Nyonya Lesung pada nasibnya.

Nyonya Lesung memulai kisahnya dari semenjak ia terguling-guling digusur arus deras. Hujan paling garang turun berhari-hari dari langit. Air sungai meluap. Akan tetapi, ada satu rahasia yang belum pernah diceritakan Nyonya Lesung kepada Tuan Alu. Sengaja ia tahan menceritakannya. Ia takut menyinggung perasaan Tuan Alu yang kini sangat dicintainya.

"Sayang, kau tahu, aku ini batu. Keras. Tapi, aku takut pada air. Karena aku memang telah ditakdirkan keras, kami lawan perasaan takut itu. Ketakutan kami ganti dengan cinta. Maafkan aku, Tuan, sebelum bersamamu, aku sudah pernah mencintai air.

"Setelah hujan deras berhari-hari dan aku tergusur ke tepi, aku mulai memasrahkan diri. Jika cara mengungkap perasaan air seperti itu, aku belajar memahaminya. Sekali lagi, maafkanlah aku, Tuan.

"Dahulu tubuhku tak punya lubang. Semenjak terguling ke tepi, persis di bawah akar sebatang beringin yang kokoh, ada jalan air di atasku. Ujung akar beringin yang berpilin meneteskan air itu ke tubuhku. Tubuhku ditusuk setiap hari. Akhirnya aku berlubang. Sakit, Tuan. Dilubangi itu sakit. Tapi sakit juga sudah tidak berpengaruh lagi sebab sudah kuganti menjadi cinta.

"Seperti dirimu, aku ditemukan sepasang tangan. Ia melihat lubang di tubuhku sebesar kepalannya digenangi air. Sepasang tangan itu mandi di lubangku. Kemudian aku digelandang ke luar dari sungai. Tentu saja aku terjauh dari titik-titik air kekasih pertamaku itu.

"Tahukah kau, Tuan. Seperti sering kuceritakan padamu, aku ini induk segala sakit. Lepas dari tusukan air, aku disambut tikaman pahat. Lubangku diperbesar oleh pahat. Kepadaku ditekankan keharusan bersabar dan yakin, kehidupan baru telah menungguku. Aku dipersiapkan menjadi Nyonya Lesung. Tuan Alu, kekasih pendamping hidupku juga telah dipersiapkan. Hidup bersama air tidak menghasilkan banyak perubahan. Hanya sebatas alasan, bahwa kelembutan titik air bisa melubangiku!

"Kata tangan yang memahatku, sebetulnya lebih tepat memperkosaku: hidup bersama Tuan Alu akan lebih menyenangkan. Lebih jelas hasilnya.

"Jujur, pertama kali merasakan entakanmu di lubangku, aku seketika terbayang pada kelembutan sentuhan air. Ampun, tuan. Pada persentuhan kita yang pertama itu aku diam-diam telah membanding-bandingkanmu!"

Tuan Alu merangkul Nyonya Lesung.

"Sekarang kita lupakan masa lalu masing-masing. Kita tidak bisa hidup dengan masa lalu. Kita sudah dibentuk dan ditetapkan alam untuk bersatu. Kita tidak mungkin lagi bercerai. Di mana pun, Tuan Alu adalah pasangan Nyonya Lesung!"

Sejak itu, memang, sampai cerita ini diterbitkan, Tuan Alu dan Nyonya Lesung tidak pernah terpisahkan. Sekalipun hanya satu dua orang menumbuk padi, tepung atau kopi, Tuan Alu dan Nyonya Lesung selalu terlihat bersama.

Kecuali, barangkali, alam berkehendak lain. Misalnya, karena jarang digunakan, ujung badan Tuan Alu kembali menerbitkan tunas lalu menjadi pucuk. Akar pun tersembul dari pangkalnya, menyerap makanan dari sari pati tanah dan akhirnya Tuan Alu tumbuh lagi sebagai sebatang kopi.

Begitu juga dengan tubuh Nyonya Lesung. Lantaran jarang ditumbuki Tuan Alu, lubang di badannya kembali mengeras, kembali ke bentuk semula, seperti sebelum dilubangi air. Ia pun menggelinding lagi ke arus sungai. Berendam ke dalam sunyi abadi. Ya, jika alam berkehendak lain.

Padang, 2011

Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Limopuluah Koto, Minangkabau, Sumatera Barat. Giat di kelompok studi Magistra Indonesia, Padang.
0 Responses

Post a Comment