Dua Wajah Ibu
Guntur Alam
Gambar: Mia Diwasasri
Kompas, 4 Agustus 2012
Ketika pertama kali mendengar kata Jakarta, maka dalam benak saya adalah menara TVRI dan pemandangan Indonesia mini dari gantole yang selalu ditayangkan oleh TVRI. Namun, melihat Jakarta sesungguhnya adalah ketika saya menaiki KRL Serpong-Tanah Abang dan melihat dari pintu kereta rumah-rumah darurat yang dibangun di sepanjang rel tak terpakai di Tanah Abang. Rumahnya (lebih tepat disebut kamar) ukurannya sangat kecil. Kalau kereta lewat, atapnya serasa ingin menggores dinding luarnya karena begitu dekat dan rapatnya. Jangan tanyakan bagaimana kehidupan di sana, tentunya jauh dari layak. Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang ada di Kemanggisan. Suatu 'komplek' perumahan yang saya duga dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai tukang ketoprak, tukang mie ayam karena terlihat dari gerobak-gerobak yang banyak di dekatnya. Pertanyaan muncul: Mengapa mereka mau mengadu nasib disini?
Bagaimanapun Jakarta telah berhasil 'menarik' jutaan orang untuk bertarung disini. Gejala apakah itu? saya pikir adalah sebuah ketidakmerataan. Kota-kota besar dihuni oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada baik pekerjaan mapan yang pasti maupun pekerjaan kasar dan tak pasti. Sampai kapan? mungkin sampai tenagapun surut. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah dimilikinya kampung halaman, di mana inspirasi dibangun kembali, hubungan dihangatkan lagi, dan tempat 'pelarian' di kala hiruk pikuk dan kepenatan terasa menghimpit.
Guntur Alam
Gambar: Mia Diwasasri
Kompas, 4 Agustus 2012
Ketika pertama kali mendengar kata Jakarta, maka dalam benak saya adalah menara TVRI dan pemandangan Indonesia mini dari gantole yang selalu ditayangkan oleh TVRI. Namun, melihat Jakarta sesungguhnya adalah ketika saya menaiki KRL Serpong-Tanah Abang dan melihat dari pintu kereta rumah-rumah darurat yang dibangun di sepanjang rel tak terpakai di Tanah Abang. Rumahnya (lebih tepat disebut kamar) ukurannya sangat kecil. Kalau kereta lewat, atapnya serasa ingin menggores dinding luarnya karena begitu dekat dan rapatnya. Jangan tanyakan bagaimana kehidupan di sana, tentunya jauh dari layak. Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang ada di Kemanggisan. Suatu 'komplek' perumahan yang saya duga dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai tukang ketoprak, tukang mie ayam karena terlihat dari gerobak-gerobak yang banyak di dekatnya. Pertanyaan muncul: Mengapa mereka mau mengadu nasib disini?
Bagaimanapun Jakarta telah berhasil 'menarik' jutaan orang untuk bertarung disini. Gejala apakah itu? saya pikir adalah sebuah ketidakmerataan. Kota-kota besar dihuni oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada baik pekerjaan mapan yang pasti maupun pekerjaan kasar dan tak pasti. Sampai kapan? mungkin sampai tenagapun surut. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah dimilikinya kampung halaman, di mana inspirasi dibangun kembali, hubungan dihangatkan lagi, dan tempat 'pelarian' di kala hiruk pikuk dan kepenatan terasa menghimpit.