Minat remaja untuk membaca guna mencari informasi dan pengetahuan
ternyata tinggi. Bacaan di luar buku pelajaran rajin dilahap. Ini adalah
kabar gembira menyambut Hari Literasi Internasional pada tanggal 8
September mendatang.
Kedekatan anak muda dan kegiatan membaca terekam dalam survei Litbang Kompas
melalui telepon terhadap siswa dan siswi SMA di lima kota besar pada
awal Agustus lalu. Delapan dari 10 responden siswa mengaku masih
meluangkan waktu khusus untuk membaca selain buku pelajaran sekolah.
Semangat membaca di kalangan remaja selaras dengan hasil survei UNESCO
tahun 2011. Menurut survei ini, semakin muda kelompok usia penduduk di
Indonesia, kian tinggi tingkat literasi. Kadar literasi menggambarkan
kemampuan membaca sekaligus memahami isi tulisan. Hasil survei juga
menunjukkan minat baca orang Indonesia secara keseluruhan hanya bernilai
0,001. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang masih punya
minat baca tinggi.
Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang
dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah
minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca
(buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan
penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi
manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca,
adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir,
menjadi tinggal kenangan?
Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang
dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum
mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan,
kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti
angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak.
Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”
Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....
Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter,
mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah
jadi.
Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang
telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan,
proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik
bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan,
hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan
sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di
otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami
cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak
sebergegas sekarang.
Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang
memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun
dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak
selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan.
Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap
kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik,
tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian
politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.
Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu
melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal
menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di
layar laptop
atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar
komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding
dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.
Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke
satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik
tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan
kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif,
interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau
pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru.
Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan
otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2015, di halaman
12 dengan judul "Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir".
Pada 7 Mei 2015, Universitas
Negeri Jakarta mengadakan pertemuan bedah buku karya teman terbaik, Prof
HAR Tilaar. Dalam pertemuan tersebut, antara lain, konsep ilmu
pendidikan dipersoalkan, khususnya untuk bangsa Indonesia. Persoalan
tersebut terefleksikan dalam judul buku.
Berikut analisis penulis.
Sebagai seorang pendidik di Indonesia, perlu diutarakan dan dibuktikan
bahwa pernyataan yang tertera dalam judul itu salah. Selain itu, perlu
diinformasikan, perkembangan ilmu pendidikan, sebagaimana sudah terjadi
sekarang, belum sepenuhnya disadari oleh tokoh-tokoh tertentu.
Tantangan dari teori pendidikan yang modern adalah dipersoalkannya
interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek dari
modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Diperlukan kesadaran
baru setelah merefleksikan secara obyektif efek modernisasi terhadap
kehidupan serta diperlukan sikap baru terhadap realitas kehidupan
ataupun terhadap diri sendiri (Semiawan, C, 2011).
Ilmu pendidikan yang mekar di dunia sekarang adalah neuro-education. Tulisan penulis pernah dimuat di Kompas (17/2/2011) yang berjudul ”Neuro-education,
Orientasi Baru dalam Ilmu Pendidikan”. Pendapat penulis bertolak dari
premis bahwa manusia memiliki kemampuan tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to learn) sehingga memiliki kemampuan luarbiasa untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru.
John W Gardner dalam bukunya Can We Be
Equal and Excellent Too menyatakan ”Tidak ada negara bangsa yang dapat
menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang
diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan
peradabannya”.
Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas
sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik,
meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan
membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika
Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan
diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.
Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk
bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas,
25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan
keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden
mengkhawatirkanpengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan
dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa
Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik
mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna
mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen
responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara
lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai
kepribadian bangsa diperlukan.
CATATAN BUDAYA
Berkesenian Itu Sendiri dan Kesepian
Oleh: Gunawan Raharja
...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari masalah sosial (WS Rendra)
Beberapa awak panggung Ketoprak Klana Bakti Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung dibersihkan. Para penabuh gamelan yang sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang. Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.
Didik dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini. Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh tiga penonton dibagi enam
puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
TERTIDUR
di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu
saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti
sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai.
Saya terus saja kuliah dengan prinsip
mahasiswa adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya
adalah tidur di ruang kuliah, silakan dengan merdeka memilih hal itu. Meski demikian, saya merasa tertampar
sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga
ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan
aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika
dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis
interaktif.
Harapan untuk menjadi bagian dari sastra dunia, sejak beberapa tahun
belakangan, beralih-rupa menjadi keresahan dalam ranah sastra Indonesia.
Banyak sastrawan mengeluh lantaran sulitnya akses untuk penerjemahan
karya-karya mereka ke dalam bahasa asing. Organisasi penerbit lebih
tampak berperan sebagai EO (event organizer) pameran buku ketimbang merancang program-program yang terukur, guna mengantarkan sastra Indonesia ke gerbang sastra dunia.
Begitu juga lembaga pemerintah yang berperan menjalankan kerja
diplomasi kebudayaan, belum menunjukkan perhatian pada sastra, sebagai
bagian dari identitas Indonesia. Satu-dua novel Indonesia telah
diterbitkan oleh penerbit major label di luar negeri, namun diupayakan oleh individu sastrawan yang bersangkutan.
Para sastrawan gelisah, karena tidak maju-maju, tak berpeluang
terseleksi oleh komite juri Nobel sastra, dan merasa tertinggal oleh
tradisi sastra di negara-negara Asia lainnya. Inferioritas semacam ini
cukup membebani
iklim kekaryaan. Seolah-olah, penerjemahan itu satu-satunya jalan guna membuat sastra kita go international.
Muncul kesan, sastra Indonesia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jika
belum tersedia dalam bahasa asing, sehingga upaya menawarkan buku-buku
sastra ke penerbit-penerbit asing adalah
harga mati yang tak mungkin dihindari.
Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah?
Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia
untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu
menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.
Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan
sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara
lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada
posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi
status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah
di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang
bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski
dipuja tetapi tak cukup didengar.
Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu,
kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan
meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga
dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair
dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik,
beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita
filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori”
kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.
KEHIDUPAN politik di Indonesia saat ini telah dicederai oleh suatu kejahatan publik yang meluas dan meningkat cepat, yaitu korupsi.
Gejala ini meluas karena hampir segala lapisan masyarakat, dan khususnya lapisan birokrasi pemerintahan, telah dihinggapi oleh kecenderungan korupsi. Dikatakan meningkat karena korupsi bukanlah sekadar gejala kurangnya pendapatan untuk hidup seseorang atau masalah every man’s need, sebagaimana dikatakan M Gandhi, melainkan masalah melemahnya kontrol dan lumpuhnya pengekangan diri atau, dalam kata-kata Gandhi, masalah every man’s greed. Meningkatnya praktik korupsi tidak saja terlihat dari kian besarnya dana publik yang dikorupsi, tetapi juga meningkatnya posisi dan status pejabat publik dan politisi yang melakukannya.
Kita dapat menyebut beberapa contoh. Pejabat publik yang terlibat korupsi atau disangka terlibat. Dari kalangan legislatif ada anggota DPR, dari kalangan eksekutif ada menteri, wakil menteri, gubernur, bupati, atau wali kota, serta dari kalangan yudikatif para hakim (dalam proses pengadilan dipanggil Yang Mulia) dan bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang keputusannya bersifat final dan harus dilaksanakan. Dari kalangan parpol, beberapa ketua umum partai terlibat dugaan kasus korupsi dalam ukuran besar.
Melawan Budaya Korupsi
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono
SUDAH terlalu banyak korupsi di negeri ini. Dari korupsi mini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena gaji yang juga mini sampai korupsi sistemik, yaitu korupsi yang sudah dianggap sebagai bagian dari sistem, misalnya: gratifikasi. Bahkan korupsi maksi (di atas Rp 1 miliar) karena nafsu serakah seperti yang dilakukan para terpidana KPK.
KPK memang sudah bekerja keras. Sejauh ini hasilnya sudah sama-sama kita saksikan. Vonis hakim memang bersifat relatif, bisa dianggap adil atau tidak adil, karena keadilan itu banyak versinya. Namun, yang jelas, korupsi tetap saja berlanjut. Tidak ada efek jera seperti yang diharapkan, apalagi mengingat keterbatasan jumlah tenaga dan dana. KPK mesti bikin prioritas dan prioritas ini dalam dunia politik artinya tebang-pilih.
Baru-baru ini saya mengikuti sebuah diskusi intern yang diadakan di suatu kementerian dalam rangka sosialisasi pemberantasan korupsi. Di situ dibahas beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen) tentang pemberantasan korupsi.
Film Soekarno yang dibuat Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.
Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu, tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film tentang tokoh sejarah. Tentu saja lebih mudah jika film itu merupakan narasi beberapa penutur tentang seorang tokoh; bisa saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan, terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.
Pilihan berikutnya adalah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif, misalnya, sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis, seperti dalam film Sang Kiai, pemuda yang pergi berjuang dan menemui ajal, sementara perempuan yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut agar alur cerita tidak kering.
Lebih sulit kalau sang tokoh sejarah itu yang langsung bertindak dan bertutur. Kegiatan tokoh sekaliber Soekarno telah banyak dikisahkan dalam sejumlah buku dan arsip. Jika semua buku dijadikan rujukan, tentu pembuat film perlu menyadari bahwa semua buku itu tidak sama kualitas dan validitasnya.
Tabrakan maut mengentak kita lagi. Selain berbelasungkawa kepada para korban, marilah kita melihatnya dari perspektif lain. Selama ini para ”pelaku kecelakaan” berasal dari papan atas dan korbannya rakyat biasa. Apa yang terjadi jika posisinya terbalik?
Bagaimana jadinya kalau si ”biasa” menubruk si ”istimewa”? Mungkin alur narasi berbeda: tidak mungkin si biasa membiayai hidup keluarga si istimewa.
Peristiwa berulang itu seolah mengirim pesan ”Marxian” bahwa pertentangan kelas masyarakat sedang terjadi di atas jalan raya, meski obsesi Karl Marx gagal dalam kasus ini: bukan kelas tuan yang kalah, justru kelas hamba yang lumat.
Tubuh yang ditundukkan
Di negeri ini, khususnya Jawa, sejarah jalan raya baru mulai abad ke-19 (Denys Lombard, 2005). Jadi, dibangunnya jalan raya menjadi titik balik peradaban yang amat penting.
Jalan raya adalah salah satu awal modernisasi. Kehadiran sepeda motor dan kendaraan roda empat tidak hanya menggantikan kuda, tetapi juga memunculkan gaya hidup baru.
Di Kompas edisi 17 September lalu, pada halaman 7, Andrianto Handojo, yang Ketua Dewan Riset Nasional, mencerahkan kita dengan opini yang ringkas, bernas, dan jelas tentang ruh pendidikan tinggi.
Guru Besar Fisika Teknik Institut Teknologi Bandung itu, antara lain, mengatakan, dalam melakukan penelitian, pikiran mesti terbuka, tetapi dingin dan tanpa pamrih serta dalam berbagi hasil penelitian melalui publikasi atau presentasi, kita harus obyektif, jujur dan rendah hati. Itulah, kata Andrianto, yang disebut disinterestedness oleh Daoed Joesoef.
Memang pada masa Orde Baru ketika CSIS berpengaruh dalam pemerintahan dan Daoed Joesoef menjadi Mendikbud, ia menekankan bahwa ilmu itu ya proses, ya produk, ya paradigma. Paradigma itulah yang bagaikan bintang pemandu, Leitstern, menuntun proses menuju ke produk.
Begitulah gambaran tentang apa yang oleh Thomas Kuhn disebut masa normal atau masa pemecahan teka-teki. Belum terjadi krisis. Anomali ¾ kalau ada ¾ ya satu atau dua saja, dan dapat ditempelkan secara ad hoc pada teori yang ada sebagai perkecualian kecil.
Pada 12 Agustus 2013, di satu koran nasional, saya memublikasikan artikel mengenai rencana pendirian museum musik di Solo. Dalam artikel tersebut saya menekankan bahwa menggagas lahirnya museum adalah mudah.
Tetapi menyosialisasi, mengurus, apalagi menjaganya, sungguh susah. Untuk membuat museum diperlukan keseriusan penyiapan perangkat. Dari sarana promosi, pemeliharaan, sampai (ini yang terpenting): keamanan.
Belum genap sebulan artikel itu dimuat, Museum Nasional Indonesia di Jakarta kecolongan (lagi). Empat benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram (sekitar abad X) raib. Perhiasan berlapis emas diketahui tidak ada di lemari pada 11 September 2013. Dipastikan, karya seni bernilai tinggi itu dicolong maling.
Anehnya, dalam kehebohan itu semua pihak yang bertanggung jawab, seperti Kepala Museum sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berkomentar bahwa sistem keamanan museum lemah. Kehilangan itu seolah bukan tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab ”si sistem” atau ”si alat pengaman” yang tak berdaya.
Imbauan tanpa strategi
Sehari setelah benda-benda seni itu hilang, pihak museum dan kepolisian langsung mengimbau pihak kolektor, galeri, dan biro lelang untuk tidak menerima barang curian itu. Andai menerima, kolektor, galeri, dan biro lelang diminta untuk segera melaporkan kepada pihak berwajib.
Bagiku, pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, cuma siap bekerja dan dipekerjakan sebagai ahli bayaran.”
Sindiran Profesor Soetandyo Wignjosoebroto ini dicetuskannya lagi saat berbicara pada diskusi Forum ”Menjadi Indonesia”, di Jakarta, 19 Mei lalu, bertajuk ”Kemiskinan Karakter Bangsa”. Beberapa bulan sebelum wafat, ia juga menulis di Facebook: ”Mengapa aku merasa aneh dan asing di kampus? Pembicaraan di mana-mana kok hanya menyangkut pekerjaan teknis, bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan. Apakah kampus lain juga begitu?”
Kemasygulan Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Airlangga itu menyegarkan kembali kekhawatiran Julien Benda tentang the betrayal of intellectual, pengkhianatan kaum intelektual. Di sini, pesan Albert Einstein (1938) ketika revolusi industri bergemuruh melanda Eropa dan Amerika menjadi relevan: ”Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, agar buah ciptaan pemikiran kita merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan”.
Ruh yang tergadai
Mungkin banyak sudah kita melihat foto seperti yang ditunjukkan sebuah majalah berita umum beberapa hari lalu. Pesakitan korupsi Muhammad Nazaruddin tampak semringah, tertawa lebar bersama istrinya yang berkipas-kipas. Di halaman lain terdakwa Djoko Susilo juga tertawa lebar bergaya lari kecil (joging) di antara juru kamera dan foto.
Tentu saja ini bukan panggung teater. Sebagai pelaku ”kejahatan luar biasa”, mereka, sebagaimana umumnya pesakitan/terdakwa korupsi lainnya, tidak memperlihatkan sikap prihatin, menyesal, atau sedih. Mereka senyum dan tertawa seakan memperolok korban (rakyat) yang dicuri hak dan masa depannya, mengejek hukum yang tak cukup berdaya, bahkan lebih dari itu, menikmati ketenaran lebih daripada seorang selebritas atau politikus ternama. Mereka menghina keadilan, tertib sosial, tertib negara, dan—tentu saja—mereka telah menghina diri mereka sendiri.
Ini peristiwa ekonomi rutin. Saban harga minyak dunia naik atau konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri meningkat, muncullah wacana tentang perlunya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Koran-koran pun mewartakan wacana itu. Untuk urusan baha- sa, nomina abstrak kenaikan dan penaikan (dalam kancah harga BBM) menjadi kata kunci yang membingungkan beberapa orang. Soalnya, ada satu koran harian terbitan Jakarta yang taat asas mengganti kenaikan dengan penaikan tanpa mempertimbangkan konteks makna kalimat yang hendak dimaksud.
Dua nomina yang dibentuk dari kata dasar yang sama itu mewakili entitas makna yang berbeda sama sekali. Yang pertama berarti ’perihal naik’. Yang terakhir: ’perbuatan menaikkan’. Mari kita periksa kapan koran tersebut secara tepat menggunakan penaikan dan kapan keliru memakai kata benda tanwujud itu.
Seorang sahabat menerima Penghargaan Akademi Jakarta 2012, 13 Desember tahun lalu. Penyair Sapardi Djoko Damono (72) mendapat anugerah pencapaian seumur hidup dalam penulisan puisi, esai, terjemahan, penelitian, dan pengajaran sastra. Anugerah terhormat ini telah diberikan Akademi Jakarta mulai 36 tahun yang lalu kepada 15 seniman/budayawan Indonesia.
Penerima pertama (1975) adalah penyair/dramawan Rendra, penerima terbaru (2012) adalah penyair/penerjemah Sapardi Djoko Damono, kedua-duanya dari Solo.
Solo banyak menyumbangkan penyair kepada kita. Di abad ke-19 Ronggowarsito (1802-1873), kemudian di abad ke-20 Hartojo Andangdjaja (1930-1991), Sugiarta Sriwibawa (1932-2009), Rendra (1935-2009), Budiman S Hartoyo (1938-2010), Sapardi Djoko Damono (1940), Slamet Sukirnanto (1941), dan Wiji Thukul (1963-1998), itulah antara lain.
Solo sebagai kota sangat sentimental bagi saya pribadi. Saya dibesarkan di Pekalongan tetapi mulai masuk sekolah dalam umur 6 tahun di Solo, menjelang pendudukan Jepang, di Sekolah Rakyat Muhammadiyah II. Setiap pagi saya diantar ibu saya, menyeberang rel kereta api, membawa sabak (batu tulis) dan grip (anak batu) dalam tas saya, dalam kotak ukiran Jepara yang baunya harum. Kami sekeluarga pindah dari Pekalongan ke Solo. Ayah saya mengajar di Solo. Salah seorang murid ayah saya seorang pemuda Sulawesi Selatan, namanya Kahar Muzakkar (1921-1965), yang belakangan pindah sekolah ke Yogyakarta. Oom Kahar pernah tinggal sebentar di rumah kami di Namburan Kidul, Yogyakarta, yang menjadi asrama PII, menjelang Clash II, 1948.
Saya mengikuti dua tulisan di Kompas Minggu tentang kota dan puisi dari Bandung Mawardi dan Geger Riyanto, Minggu, 10 Maret 2013. Saya tertarik menanggapi, bukan karena kedua tulisan itu melibatkan puisi-puisi saya, melainkan pada bagaimana puisi dibaca melalui kota dan sebaliknya.
Kota dalam biografi saya tidak semata-mata sebuah kawasan civilisasi dengan agenda perubahan yang tidak terbatas. Kawasan yang selalu gelisah untuk memunculkan budaya homey pada warganya. Pengertian pulang—dalam konteks Indonesia—tidak pernah berarti pulang ke kota, tetapi pulang ke kampung. Kota tidak punya pengertian pulang.
Sementara saya lahir di Jakarta dan tidak memiliki kampung sebagai konsep budaya pulang. Sekarang saya hidup di luar Jakarta, tetapi Jakarta tetap ada di dalam saya (yang tidak pernah bisa saya keluarkan kembali). Sebuah kota biografis (untuk saya) yang pernah terbakar dalam peristiwa Malari 1974 dan Reformasi 1998.
Karena pantun saja tak cukup untuk membuktikan perhatiannya pada Betawi, Gubernur Jokowi menjanjikan hendak memugar makam Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Saat itu, 3 Maret 2013, Jokowi membuka Musyawarah Besar VI Bamus Betawi. Menilik di mana Jokowi menyatakannya, jelas ia menganggap Pangeran Jayakarta ini sosok historis bagi orang Betawi. Lebih jauh, ia meyakini di Jatinegara Kaum itulah dimakamkan Pangeran Jayakarta. Kepercayaan ini tampaknya bukan baru saja, melainkan sudah sejak ia mencalonkan diri jadi gubernur. Jokowi, setelah dari KPUD (19 Maret 2012), menyatakan ingin nyekar dan ngalap berkah ke makam keramat orang yang dikatakannya sebagai cikal-bakal Kota Jakarta.
Siapakah Pangeran Jayakarta dan apa makna tindakan Jokowi itu? Menarik untuk tidak sekadar menguji apakah basis tindakan Jokowi itu suatu kesadaran sejarah. Lebih jauh, apakah Jokowi, yang disebut sebagai pembawa arus baru demokrasi dan modernisasi, juga bagian dari politikus kontemporer Indonesia yang lekat dengan aneka corak ritual pemujaan "orang-orang penting" yang sudah meninggal dengan alasan politik?