Semula, aku hanya sebuah patung lilin yang
dipahat seorang lelaki yang patah hati. Akulah satu-satunya patung
paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan dengan
wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari
ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir.
Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian
terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya?
Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang
sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan
lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang
lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang
tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci. Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya, sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang menciptakannya.