Carolus Linnaeus, pendiri taksonomi modern, memberi nama ilmiah untuk spesies manusia yang bertahan hidup saat ini: Homo sapiens (manusia bijak, manusia berpikir). Ada banyak teori yang coba menjelaskan mengapa spesies-spesies lain punah, tetapi ada satu hal yang jelas mengapa Homo sapiens menjadi satu-satunya spesies manusia yang lestari dan siap menghuni Mars pada abad ini.
Yuval Noah Harari, penulis Sapiens: Brief History ofHumankind (2014), menunjuk kunci keberhasilan manusia pada kesanggupannya menyusun fiksi, membayangkan hal-hal yang tak ada, dan menciptakan yang belum pernah ada. Yang kurang diulas oleh Harari, kunci lain yang tak kalah penting dari kemampuan kreatif menyusun fiksi, yakni kemampuan kritis untuk melepaskan diri dari satu fiksi, membedakan fiksi dari fakta, lalu bergerak sistematis menyusun semesta lain melampaui faktisitas.
Namun, intinya keunggulan Sapiens adalah revolusi kognitifnya, karakter yang membuat seluruh individu normal dari spesies ini selalu ingin tahu. Tak berlebihan jika Jorge Luis Borges, salah satu pembaca paling rakus pada abad ke-20, lewat tokoh Pierre Menard, menulis, ”Berpikir, menganalisis, mencipta, bukanlah tindakan istimewa, melainkan pernapasan alami dalam kehidupan mental manusia”.
Minat baca
UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB) didirikan antara lain oleh semangat menjaga keberadaan Homo sapiens. Sejak lima dekade lalu, organisasi ini mengikuti perkembangan literasi dunia dan terus mengumumkan hasil penelitiannya. Salah satu buah riset mereka yang banyak beredar, khususnya di dunia pendidikan, adalah minat baca. UNESCO selalu menegaskan, meskipun tingkat buta huruf di Indonesia berhasil dikurangi, minat baca tetap sangat rendah.
JAKARTA, KOMPAS
— Novel fiksi bergaya bahasa ringan kian laris di pasaran. Beberapa
penerbit menjadikan jenis buku ini sebagai salah satu produk unggulan.
Novel jenis ini cocok untuk dijadikan media untuk menumbuhkan minat baca
seseorang.
CEO
Penerbit Mizan Sari Muetia, Senin (21/9), menjabarkan ada beberapa buku
sastra populer yang tengah digandrungi masyarakat, seperti Dilan I dan Dilan II karya Pidi Baiq yang diterbitkan hingga 56.000 eksemplar atau Ayah karya Andrea Hirata yang dicetak hingga 60.000 eksemplar.
"Untuk
penyerapannya sendiri berkisar 13.000 per bulan. Dalam kondisi ekonomi
seperti ini, penjualan sebesar itu masih bisa dikatakan sukses,"
ujarnya.
Tingginya penyerapan buku sastra populer ini membuktikan
bahwa minat masyarakat untuk membaca buku yang bergaya bahasa ringan dan
menekankan unsur rekreatif cukup besar.
Sari mengatakan, ada
beberapa faktor yang menyebabkan buku jenis ini semakin populer, antara
lain ketenaran novelis. Terdapat pembaca novel yang sangat fanatik pada
karya novelis tertentu.
Hal ini terlihat dari beberapa nama yang selalu ditunggu hasil ciptaannya. Andrea Hirata, misalnya, karyanya yang berjudul Ayah
kini termasuk menjadi salah satu novel terlaris. Itu tidak lepas dari
banyaknya penggemar novel yang menilai karya Andrea sangat inspiratif,
salah satu karya yang paling populer adalah Laskar Pelangi. "Bahkan, buku Laskar Pelangi diperkirakan terjual hingga 5 juta eksemplar," ujarnya.
Keterkaitan
film dan novel juga tak bisa dipisahkan, keduanya seakan memiliki
hubungan simbiosis mutualisme. Saat novel itu laku di pasaran, maka akan
diangkat ke perfilman. Sebaliknya, novel ada juga yang sebelumnya tidak
dikenal tetapi setelah dibuat versi filmnya akan laku di pasaran.
Komunitas dan media sosial
Keberadaan komunitas juga cukup berpengaruh pada minat seseorang untuk membaca sebuah novel. Hal ini terlihat pada novel Dia adalah Dilanku. Selain gaya bahasanya yang unik dan ringan untuk dibaca, peran komunitas juga cukup berpengaruh.
"Bahkan,
ada kelompok yang membela Dilan, ada juga kelompok yang membela Milea.
Secara tidak langsung perdebatan ini akan menimbulkan rasa penasaran
bagi orang yang belum membacanya," kata Sari.
Sang penulis, Pidi
Baiq, pun merupakan novelis yang aktif di media sosial membuat karyanya
semakin populer. Ada beberapa penulis yang belum begitu dikenal, tetapi
karyanya dibaca banyak orang karena media sosial.
Editor Senior
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Candra Gautama mengatakan, tingginya
angka penjualan novel fiksi bergaya bahasa ringan menunjukkan bahwa
kecenderungan minat baca masyarakat tidak lagi mementingkan kedalaman
cerita. "Kaum muda saat ini lebih memilih bacaan yang tidak perlu
mengerutkan dahi," katanya.
Bahkan, beberapa buku yang isinya hanya berupa kutipan pun tetap diburu, seperti buku 88 Love Life
karya Diana Rikasari, misalnya, sudah dicetak hingga berkali-kali
karena jumlah peminatnya tergolong tinggi. "Buku jenis ini diminati
karena berisi tentang resep-resep bagaimana menjalankan kehidupan," kata
Candra.
Buku bernilai sejarah
Candra
mengatakan, selain novel percintaan bergaya bahasa ringan, buku yang
berisikan tentang kisah-kisah sejarah juga diminati. Ada beberapa buku
terbitan KPG yang laris, seperti Kota di Djawa Tempo Doeloe, Seri Tempo: Aidit, Seri Tempo Tan Malaka, Seri Tempo Benny Moerdani, Sejarah Melayu, dan buku berisi kisah sejarah lainnya.
Hal
ini membuktikan ada kerinduan dari sebagian kalangan untuk mengingat
kembali sejarah masa lalunya dan mengambil inspirasi dari tokoh
tersebut. Mereka menganggap kehidupan masa lalu jauh lebih baik
dibandingkan dengan kehidupan zaman sekarang. "Dengan membaca buku jenis
ini, biasanya mereka kerinduan untuk mencari akar bangsa," ujar Candra.
Pengamat
sastra Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengatakan, tren ini
bukanlah hal-hal baru karena sejak dulu novel jenis ini memang sudah
digemari.
Misalnya novel Lupus yang menceritakan kehidupan
remaja, termasuk cerita-cerita cinta khas SMA. Novel itu bisa bertahan
hingga satu dasawarsa. Novel jenis ini menekankan pada fungsi rekreatif,
yaitu menghadirkan hiburan dan rasa senang bagi pembacanya karena jalan
ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Tak heran, banyak buku
jenis ini lebih dicetak hingga berkali-kali.
Namun, ada beberapa
kelemahan dari novel populer ini, yakni kebanyakan ceritanya tidak
berdasarkan realitas yang terjadi. Kebanyakan dari novel seperti ini
menghadirkan cerita yang menjual mimpi.
Berbeda dengan buku
sastra yang lebih mengedepankan realitas dan menggiring pembacanya untuk
berpikir, merenungkan bahkan menguat pada cerita yang disajikan.
Misalnya novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Slamet
Hidayat Adrai yang berisikan tentang kehidupan anak jalanan yang berada
di pinggiran rel. "Kisah ini menampilkan kehidupan yang benar-benar
terjadi di masyarakat," ujarnya.
Maman mengatakan, tidak ada yang
salah dengan cerita yang disajikan karena memang memiliki pangsa pasar
yang berbeda. Bahkan, keduanya bisa saling melengkapi. Maman
menjelaskan, untuk pembaca pemula, cerita populer memang sangat
dianjurkan untuk menumbuhkan minat baca. Jika telah terbiasa, mereka
akan tertantang untuk membaca buku yang lebih berkualitas dan memancing
pembaca untuk lebih berpikir.
Popularitas Perpustakaan Semakin Pudar Dilibas Digital
DWI ERIANTO
Perkembangan teknologi semakin memberi kemudahan bagi
masyarakat untuk mengakses informasi. Sumber ilmu pengetahuan yang pada
masa lalu berada di ruang-ruang perpustakaan, kini berada dalam
genggaman gawai. Internet menjadi jalan pintas bagi publik untuk
mengonsumsi informasi. Popularitas perpustakaan di tengah masyarakat
semakin pudar.
Selama
beberapa tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengunjungi
perpustakaan terus turun. Hal itu setidaknya tampak dari merosotnya
jumlah kunjungan masyarakat ke Perpustakaan Nasional selama lima tahun
terakhir.
Perpustakaan terbesar dan memiliki koleksi paling
lengkap di Indonesia itu rata-rata hanya dikunjungi 403.000 orang per
tahun. Kondisi ini jauh di bawah negara Singapura. Di negara tetangga
yang jumlah penduduk jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
Indonesia itu,
Minat remaja untuk membaca guna mencari informasi dan pengetahuan
ternyata tinggi. Bacaan di luar buku pelajaran rajin dilahap. Ini adalah
kabar gembira menyambut Hari Literasi Internasional pada tanggal 8
September mendatang.
Kedekatan anak muda dan kegiatan membaca terekam dalam survei Litbang Kompas
melalui telepon terhadap siswa dan siswi SMA di lima kota besar pada
awal Agustus lalu. Delapan dari 10 responden siswa mengaku masih
meluangkan waktu khusus untuk membaca selain buku pelajaran sekolah.
Semangat membaca di kalangan remaja selaras dengan hasil survei UNESCO
tahun 2011. Menurut survei ini, semakin muda kelompok usia penduduk di
Indonesia, kian tinggi tingkat literasi. Kadar literasi menggambarkan
kemampuan membaca sekaligus memahami isi tulisan. Hasil survei juga
menunjukkan minat baca orang Indonesia secara keseluruhan hanya bernilai
0,001. Artinya, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang masih punya
minat baca tinggi.
Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang
dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah
minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca
(buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan
penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi
manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca,
adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir,
menjadi tinggal kenangan?
Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang
dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum
mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan,
kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti
angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak.
Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”
Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....
Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter,
mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah
jadi.
Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang
telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan,
proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik
bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan,
hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan
sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di
otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami
cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak
sebergegas sekarang.
Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang
memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun
dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak
selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan.
Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap
kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik,
tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian
politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.
Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu
melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal
menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di
layar laptop
atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar
komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding
dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.
Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke
satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik
tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan
kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif,
interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau
pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru.
Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan
otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2015, di halaman
12 dengan judul "Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir".
Gerakan literasi yang tumbuh
dari inisiatif masyarakat tak sekadar menumbuhkan kegemaran membaca
buku, tetapi bergerak maju untuk memberdayakan masyarakat. Episentrum
gerakan bermula di pos-pos ronda di kampung-kampung. Semua
digerakkan oleh energi masyarakat, kecintaan terhadap buku, dan
kerinduan akan terjadinya perubahan.
Berbekal
semangat menumbuhkan rasa suka membaca, Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) Cakruk Pintar hadir di atas bekas pembuangan sampah warga di tepi
Sungai Gajahwong di Dusun Nologaten, Catur Tunggal, Depok, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sebuah pos ronda sederhana dari bambu berukuran 5
meter x 10 meter didirikan di tepi Sungai Gajahwong pada 2003. Pos
ronda itulah yang merangkap sebagai taman bacaan.
Meskipun masih
ada penolakan, pos ronda yang berfungsi sebagai perpustakaan itu bisa
dihadirkan. Koleksi buku milik penggagas taman bacaan itu, Muhsin
Kalida, menghiasi dinding-dinding bambu. Muhsin yang warga di kawasan
itu juga dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Membangun gerakan literasi untuk
menumbuhkan minat baca sekaligus memberdayakan masyarakat sesungguhnya
bisa dimulai dari hal sederhana. Muhsin Kalida (45), dosen di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memulainya dengan
mengajak masyarakat Dusun Nologaten, Caturtunggal, Depok, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyulap tempat pembuangan sampah di
sekitar permukiman warga jadi perpustakaan masyarakat dengan konsep
bangunan pos ronda.
Meskipun awalnya tidak mudah mengubah kebiasaan warga membuang sampah
sembarangan di Sungai Gajahwong yang tidak jauh dari rumah Muhsin, pada
2003 akhirnya bisa dibangun perpustakaan. Lokasinya, disatukan dengan
pos ronda. Perpustakaan yang berisi buku koleksi Muhsin ini, dikenal
dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar.
Kehadiran TBM Cakruk Pintar mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang
awalnya tak banyak bersentuhan dengan buku, jadi mulai suka membaca.
YOGYAKARTA, KOMPAS
— Budaya membaca masih perlu ditingkatkan bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan membaca di
keluarga oleh orangtua kepada anak-anaknya. Langkah ini diyakini efektif
untuk menumbuhkan minat, kegemaran, hingga budaya baca.
"Mengajak
anak untuk membaca buku bersama sejak kecil merupakan investasi yang
berharga untuk masa depan anak. Kami menyambut senang jika 'Gerakan
Membaca 10 Menit' didukung Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) supaya bisa diterapkan di semua keluarga," kata Heni
Wardatur Rohmah, pendiri Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara, dalam
acara seminar "Membangun Kebiasaan Membaca Anak sejak Dini" di Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (30/5).
Heni dan
suaminya, Nuradi Indra Wijaya, mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Mata
Aksara untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak kedua anak mereka dalam
kandungan. Hingga kini, kedua buah hati mereka yang duduk di bangku SMP
dan SD itu sangat suka membaca.
Dua hari lalu, Minggu (17/5), Indonesia merayakan
Hari Buku Nasional. Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
peringatan kali ini berlangsung sepi, baik secara seremonial maupun
subtansial. Tidak ada kegiatan yang benar-benar mengentak atau menyulut
kesadaran baru tentang buku.
Perhatian
kita lebih terarah pada isu-isu aktual yang lain. Sebut saja, misalnya,
kini publik sedang penasaran, apakah Presiden Joko Widodo benar-benar
akan me-reshuffle
Kabinet Kerja yang dibentuk pada 27 Oktober 2014. Menteri mana saja
yang akan diganti. Sementara itu, soal buku menjadi perbincangan nomor
sekian.