Judul: Mengenang Kota Hilang
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012
Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut
Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.
MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.
SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.
MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.
ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.
MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.
DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.
----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012
Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut
Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.
MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.
SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.
MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.
ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.
MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.
DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.
----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!
Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?
Post a Comment