Helvry Sinaga
Judul: Hujan Bulan Februari
Penulis: Ahmad Muchlish Amrin
Kompas, 14 Juli 2013

1/Ibu, di halaman buku sejarahku bercak merah berdecak, ingatan menyelinap pada masa silam yang tiram. Di matanya tergambar bendera berkibar, urat nadi bertalu, semangat juang berdentang, henyak napas bergegas di bumi yang ranggas.

Ibu, ingatanku senyap gerimis mata waktu, bergambar lelaki mengepalkan tangan, mukanya terlihat merah menyala, berteriak demi tanah kelahiran yang ditinggikan—Ibu tersenyum mendengar igauku. Ia mengusap kepalaku dengan belaian kasih sayang.


2/

Kereta kencana membelah udara kebun tebu sepagi itu, mengantar empat orang lelaki berseragam cokelat dengan topi warna hijau. Tak lupa laras senapan terpasang di pinggang, matanya melongok ke berbagai arah: ke balik batang dan daun-daun, melongok setiap asap yang melindap di tengah kampung. Ah, seekor kupu-kupu bersayap hujan berkepak di antara kebun tebu, dadanya kuning keemasan, belalainya terlipat bagai roda kereta yang ditumpangi mereka.

”Berhenti! Berhenti!” pinta Robert dengan logat Inggris agak tersendat. Si kusir kereta mengangguk dan punggungnya membungkuk memberhentikan keretanya seraya menarik kendali kuda. Franky, Stephent, Metalica merengut heran. Bersungut. Saling pandang dan Metalica bertanya, mengapa Robert menyuruh kusir kereta itu berhenti? Diam. Robert turun, ia memperhatikan kupu-kupu yang berkejaran di kebun tebu itu. Gelisah. Seolah-olah ia mengingat silam yang runcing. Mengingat bunyi senapan berjibun di antara barisan daun-daun. Kemudian Robert lari ke tengah tebu itu. Ya, lelaki itu lari sekencang-kencangnya.

”Robert! Robert!”

Lelaki tinggi brewok hilang batang hidungnya di tengah kebun tebu kelabu. Kereta kencana masih mengganggang di pinggir jalan, tiga orang teman Robert turun dari kereta, mereka menoleh ke berbagai arah, mencari-cari, ke mana kawannya itu pergi? ”Sebaiknya kita tinggalkan saja,” tegas Stephent.

”Tapi bagaimana kalau ditanya oleh Pimpinan?” Metalica balik tanya.

”Sampaikan saja dia menghilang di kebun Tebu Sidoarjo.”

”Kalau Pimpinan tidak percaya?”

Tiga orang itu mengerutkan kening, matanya menyorot ke berbagai arah. Tak ada yang menyahut. Sesekali Franky melihat ke udara, melihat burung-burung yang berkejaran di atas kebun tebu, juga kesiur angin menghempas batang dan daun. Stephent melepas topinya, kemudian meletakkan topi di dalam kereta. Gelisah.

”Sialan!” umpat Metalica sembari menghenyakkan napas ke udara.

Kemudian Metalica meminta dua orang temannya itu segera naik ke atas kereta. Ia memerintahkan sang kusir menjalankan kereta kencana itu. Terik matahari masih segar, udara belum memar, bening embun di ujung rumput masih berjibun. Serombongan lelaki berseragam itu melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Metalica mengangkat senapan dan menaruhnya di depannya, ia bersandar. Kereta terus berjalan mengikuti angan-angan.

3/

Tomo, nama pemuda itu, perawakannya tidak terlalu tinggi, rambutnya disisir rapi. Hitam gelap. Mengkilap.

Sebagai pemuda terpelajar, Tomo amat gelisah karena kampungnya selalu didatangi oleh beberapa lelaki berseragam, lelaki bersenapan. Hatinya tiris bagai diiris dan jiwanya bergoncang ketika ia melihat Sulaiman babak belur dihajar lelaki berseragam bersenapan. Tidak hanya Sulaiman, tetangga kampungnya yang lain, Joni, Mahwi, Durayak, dan Noor Agus. Mereka digebuki karena mempertahankan sapi perahannya yang akan dirampas.

Akhirnya, Tomo pergi ke Surabaya, berjalan kaki, menyusuri setapak meliuk, bergegas meski bulu kuduk bergidik. Melewati samping pabrik-pabrik sejarah pahit gula. Derum mesin dan suara cerobong bertalu-lalu di telinganya. Lelaki tegap dengan dada membusung itu terus saja menyusuri perkebunan tebu, persawahan, perbukitan dan melewati air terjun. Teriakan-teriakan orang-orang di kampung terus terngiang dalam ingatannya. Sesekali ia ingat pesan Ibunya sebelum berangkat, ”Anakku, bila kamu ingin berangkat, ingin mencari bening mata di kampung orang, berangkatlah ke Surabaya, carilah Minke tua.” Menyayat.

Senja menggantung di langit, merah lungkrah di angkasa seolah bianglala menjemput derit jangkrik agar memekik sepanjang malam. Tomo tiba di sebuah gubuk tengah sawah, jalan raya yang membelah sawah itu tidak begitu ramai, sementara gubuk bercat kuning dan hijau dengan dinding putih kapur terlihat amat jelas. Sebuah bendera berlambang ’kelinci melompat’ berkibar dihablur angin. Tomo ditemui oleh seorang pemuda di gubuk itu. Tomo bertanya, apakah pemuda itu kenal lelaki tua yang bernama Minke?

”Tuan Minke sudah pergi, ia menghilang semenjak jiwanya terpaut pada perempuan Belanda putri tuan Mouris Melemma yang bernama Annelis. Cobalah kamu datang ke rumahnya di tengah kebun tebu sana,” telunjuk lelaki berambut kribo itu mengarah ke timur. Bahunya terlihat bergerak-gerak ketika berbicara.

”Maaf bang,” sembari mengangguk dan punggungnya membungkuk ”karena kemalaman, bolehkah saya tinggal di sini untuk sementara, saya datang dari daerah jauh,”

”Ooo, boleh! Boleh!”

Tomo dipersilakan masuk dalam gubuk itu, terlihat empat orang pemuda berbincang-bincang dalam ruang. Berkenalan. Ya, Tomo diajak nimbrung.

Mendengar obrolan mereka, Tomo berpikir bahwa lima orang pemuda itu sedang mengkonsep front pemberontakan terhadap penjajah yang masih melenggang di bumi putra ini.

Setelah dua jam mereka berbincang, Tomo meminta izin pada empat orang itu untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Salim Huda, lelaki yang duduk di samping kiri Tomo, membagikan minum. Mempersilakan. Lima orang itu menenggak minuman. Tomo melanjutkan pembicaraan.

”Kalau begitu sebaiknya bung Tomo bergabung dengan kami,” tukas Sutrisno.

”Hmm!” berpikir sejenak.

”Baiklah!”

4/

Di daerah Wonokromo, orang-orang berseragam tengah merampas harta orang-orang kampung. Bila orang-orang kampung sedikit mengepalkan tangan untuk mempertahankan atau melawan, senapan ditodongkan di kepala mereka. ”Melawan? Meledak kepalamu,” ancam mereka. Tengik. Orang-orang berseragam itu memang tengik. Mereka meminta sapi perahan yang dipelihara di kandang, juga beras yang disimpan untuk dimakan. Orang-orang kampung yang berbaju (terbuat dari) karung gemetar, ya, gemetar menghadapi mereka. Sebagian yang lain lari ke lubang-lubang yang memang dibuat untuk tempat persembunyian.

”Keluarkan in semuanya in!” pintanya dengan logat Indonesia yang kaku.

”Ampun tuan. Sudah habis, Tuan!” berjongkok di hadapan mereka.

”Hmmm, ini orang in mau bohong?” Geram.

”Tidak tuan. Sungguh kami sudah tidak punya apa-apa,”

”In kamu orang in, jika bohong kubunuh keluarga kamu in,” tegas seorang berseragam yang lain dengan logat bahasa yang kurang fasih sembari menendang lelaki kurus kerempeng setengah baya itu dengan sepatu botnya.

”Ampun tuan. Sungguh kami tidak bohong,”

Ha! Ha! Ha! Meledak di bibir mereka. Sapi perahan yang dipelihara lelaki kurus itu dikeluarkan dari kandangnya. Dibawa pergi. Lelaki itu terus meminta dan menangis di tanah agar sapi peliharaannya itu tidak dibawa. Lelaki kerempeng itu terus menatap hingga bayang-bayang sapi merah indah hilang di matanya.

5/

Fajar menyingsing di ufuk timur. Kicau burung meregang di udara. Terang tanah. Tomo bersama kawan-kawannya menelisik pagi, menembus gugusan embun di ujung ilalang, mereka mendatangi setiap dusun yang pernah didatangi kelompok orang-orang berseragam. Dusun Tiram adalah satu-satunya dusun yang pernah terlibat perseteruan dengan mereka karena kompak melawan.

Salim Huda membagi teman-temannya. Tomo berangkat ke arah barat menuju Dusun Tiram, Candi, dan Jenang. Sujono dan Sutrisno pergi ke arah Selatan menuju Dusun Batang, Serang, dan Wonokromo, Salim Huda sendiri ke arah Timur menuju Dusun Wonocolo, Lokolo, dan Sukolelo. Sementara Surambun menuju Dusun Dungkek, Rangkek, dan Bengkak. Mereka ingin menyatukan visi dengan seluruh lapisan masyarakat Surabaya untuk melawan, tersebab orang-orang berseragam itu terus-menerus menyengat harta milik rakyat.

Mereka menyeka jantung dusun di pagi gemuk itu, membakar semangat agar seluruh rakyat mengepalkan tangan untuk mengusir bajingan berseragam bersenapan itu. Dan tiba-tiba terlihat di mata Tomo, Sujono dan Sutrisno kembali. Tergesa-gesa. Gerimis mengalir di matanya. Haru bagai peluru yang menghentak jiwanya. Keduanya lari-lari kecil.

”Persiapkan parang atau senapan seadanya!” tukas Sutrisno kepada Tomo ketika ditemuinya di Dusun Candi.

”Mengapa?”

”Mereka membantai Dusun Wonokromo. Gubuk-gubuk rakyat dibakar, sebagian masyarakat dibunuh,” terangnya.

”Astaga!” Tomo juga tergesa.

”Banyak anak-anak kecil yang dijadikan tawanan mereka. Tak peduli tangis meledak, tubuh kerempeng itu terus dipedak,” lanjutnya.

Tiga orang itu segera memberi kabar kepada dua kawannya yang lain agar mereka meminta orang-orang dusun yang didatanginya segera keluar dan berkumpul dengan membawa persenjataan seadanya. Lima orang itu dengan sangat amat singkat mendatangi seluruh dusun itu dan dengan singkat pula orang-orang dusun segera berkumpul di sebuah rumah yang sepi, yakni rumah Pak Sutoyo yang agak jauh dari jangkauan orang berseragam.

”Sekarang masyarakat Wonokromo sudah dibantai dan mungkin di antara mereka ada yang mati dan kehilangan harta bendanya. Saya yakin kejadiannya akan berantai, setelah Wonokromo, dusun-dusun lain juga menjadi ancaman,” orang-orang dusun pada diam ketika Tomo berorasi di depan mereka ”Sebelum mereka membantai dusun kita, hendaklah kita melakukan perlawanan, bumi nusantara ini adalah bumi kita, tanah air tumpah darah kita yang harus kita perjuangkan. Sekarang, hanya ada satu kata, Lawan.”

”Maukah kalian melawan? Maukah kalian bergabung bersama kami untuk mengusir mereka dari tanah air ini?” teriak bung Tomo.

”Mauuu!!” Serempak orang-orang dusun.

”Kita harus melawan. Harus!” tegas yang lain.

”Ya, kita lawwanlah!” seorang Madura yang ikut nimbrung nyeletuk.

”Kalau begitu, marilah kita berangkat ke Dusun Wonokromo. Mereka adalah saudara kita.”

Orang-orang dusun itu pada berangkat seolah mereka merasakan perih sedih orang-orang yang dibantai. Sebagian membawa parang, senapan, dan sebagian lain membawa celurit. Lambat laun mereka mendekati Dusun Wonokromo. Asap melindap ke udara. Mata dan muka pasukan bung Tomo mulai memerah seolah geram bergurindam dalam jiwanya.

”Jangan patah semangat. Kalian orang kuat. Kalian bisa mengusir mereka.”

Angin melerai rambut mereka, perih mendidih seolah menindih di dada mereka. Tak ada yang bersuara, bunyi sandal membatur bebatu di tanah. Bung Tomo berada di depan dengan sebilah pedang meliang di punggung. Ia ingin menghentak orang-orang berseragam dan mencabik jantung mereka hingga nyawa mereka melayang.

Dorrr!! Suara tembakan terdengar. Tegang. Mereka amat tegang ketika mendengar suara ledakan itu. Berpencar. Mereka memasuki dusun.
Terdengar pula ledak tawa di kampung itu, tangis orang-orang kampung terngiang, air mata tergelincir di pipi lempang.

”Lawaann!!” teriak menggasak udara.

”Allaaaaaahu Akbar!!” Orang-orang dusun lari menyerang orang-orang berseragam setelah kalimat itu dikumandangkan dari mulut Bung Tomo. Hujan peluru rubuh di tubuh para pejuang. Darah mendidih di tanah.

Mendung makin tebal menggantung di langit Surabaya. Perang meledak. Tubuh amis cempedak. Mayat bergelimpangan disayat luka dan ditikam peluru timah panas ganas. Ah, mengapa setiap yang ingin berkuasa selalu menghabisi darah manusia yang lainnya? Nyawa melayang, ruh pergi dari tubuh demi dendang perlawanan.

6/

Ibu, buku cerita ini sudah selesai kubaca. Ibu! Bercak merah berdecak, ingatan menyelinap pada masa silam yang tiram. Ah, di matanya bendera berkibar, urat nadi bertalu, semangat juang berdentang, henyak napas bergegas di bumi yang ranggas. Ibu, ingatanku senyap gerimis di mata waktu yang bergambar lelaki mengepalkan tangan, mukanya terlihat merah menyala, berteriak demi tanah kelahiran yang ditinggikan—Ibu terdiam mendengar igauku. Ia mengusap kepalaku dengan belaian kasih sayang dan tangisan.***

Yogyakarta/Tang Lebun, 2007-2012

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment