Helvry Sinaga

Nirwan Ahmad Arsuka


Carolus Linnaeus, pendiri taksonomi modern, memberi nama ilmiah untuk spesies manusia yang bertahan hidup saat ini: Homo sapiens (manusia bijak, manusia berpikir). Ada banyak teori yang coba menjelaskan mengapa spesies-spesies lain punah, tetapi ada satu hal yang jelas mengapa Homo sapiens menjadi satu-satunya spesies manusia yang lestari dan siap menghuni Mars pada abad ini.

Yuval Noah Harari, penulis Sapiens: Brief History ofHumankind (2014), menunjuk kunci keberhasilan manusia pada kesanggupannya menyusun fiksi, membayangkan hal-hal yang tak ada, dan menciptakan yang belum pernah ada. Yang kurang diulas oleh Harari, kunci lain yang tak kalah penting dari kemampuan kreatif menyusun fiksi, yakni kemampuan kritis untuk melepaskan diri dari satu fiksi, membedakan fiksi dari fakta, lalu bergerak sistematis menyusun semesta lain melampaui faktisitas.

Namun, intinya keunggulan Sapiens adalah revolusi kognitifnya, karakter yang membuat seluruh individu normal dari spesies ini selalu ingin tahu. Tak berlebihan jika Jorge Luis Borges, salah satu pembaca paling rakus pada abad ke-20, lewat tokoh Pierre Menard, menulis, ”Berpikir, menganalisis, mencipta, bukanlah tindakan istimewa, melainkan pernapasan alami dalam kehidupan mental manusia”.

Minat baca

UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB) didirikan antara lain oleh semangat menjaga keberadaan Homo sapiens. Sejak lima dekade lalu, organisasi ini mengikuti perkembangan literasi dunia dan terus mengumumkan hasil penelitiannya. Salah satu buah riset mereka yang banyak beredar, khususnya di dunia pendidikan, adalah minat baca. UNESCO selalu menegaskan, meskipun tingkat buta huruf di Indonesia berhasil dikurangi, minat baca tetap sangat rendah.


Pernyataan UNESCO ini diperkuat Central Connecticut State University (CCSU). Lembaga yang menggarap proyek World’s Most Literate Nations itu baru mengumumkan temuan dari penelitian di 62 negara dan menempatkan Indonesia di nomor 61 dalam hal minat baca. ”Prestasi” ini dicapai sekalipun infrastruktur pendukung kegiatan membaca di Indonesia menempati posisi yang lebih tinggi daripada Jerman, Selandia Baru, Portugal, dan Korea Selatan.

Dilihat dari sudut pandang UNESCO dan CCSU, hitungan mereka tentu benar, tetapi kesimpulan mereka menarik diuji. Yang jelas, kesimpulan mereka, yang lalu diulang-ulang oleh banyak pejabat dan pesohor di Indonesia, adalah minat baca Indonesia sangat rendah. Begitu rendahnya sehingga seakan-akan manusia Indonesia itu bukan anggota spesies Homo sapiens yang selalu haus pengetahuan baru.

Mereka yang berkeliling membawa buku bekas mendatangi pembaca akan merasakan betapa keliru UNESCO, CCSU, dan semua pihak yang menyanyikan rendahnya minat baca Indonesia. Mereka yang bergerak bisa bersaksi betapa kedatangan mereka membuat anak-anak bersorak kegirangan. Pustaka yang memburu pembaca—apa pun modanya—bagaikan bintang neutron di luar angkasa. Ia mungkin tak memancarkan cahaya menyilaukan. Volumenya mungkin hanya kecil. Namun, kehadirannya melengkungkan ruang di sekitarnya; pergerakannya mengubah kenyataan di wilayah yang dilaluinya.

Anak-anak kampung yang biasanya lesu atau tenggelam dalam permainan akan serentak berteriak-teriak dan meninggalkan permainan mereka begitu pustaka pemburu pembaca bergerak masuk kampung mereka. Sejumlah anak bahkan tak merelakan kepulangan pustaka itu. Bagaikan satelit-satelit mungil, anak-anak itu tertarik dan mengorbit lengket dan ingin ikut ke mana pun si pustaka bergerak, seperti anak- anak mengikuti langkah si Peniup Suling dari Himmelin.

Di daerah terpencil dan kekurangan bacaan, buku-buku bekas yang tiba adalah hadiah yang tak ternilai. Anak-anak pun berebut buku dan menangis jika tak mendapat bagian. Di tempat lain, anak-anak akhirnya mencuri buku. Begitu besarnya rasa lapar mereka pada ilmu, mereka sampai melanggar larangan Tuhan dan pura-pura lupa mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya. Jarak yang jauh dan medan yang berat tak menghalangi anak-anak untuk selalu mengunjungi simpul pustaka yang siap menerima mereka.

Jika dikaji lebih jauh, bukan buku itu benar yang membuat anak-anak berkerumun. Anak- anak selalu gembira terutama pada kegiatan baca tersebut, baru kemudian pada bacaan itu sendiri.Buku hanya alat bantu. Yang membuat merekatersenyum lebar adalah kehadiran orang- orang yang bersedia mendatangi mereka, menyapa secara bersahabat dan meladeni rasa ingin tahu mereka. Kedatangan sukarelawan itu menciptakan peristiwa yang memicu munculnya rentetan peristiwa lainnya.

Peristiwa yang berlangsung inilah kunci sebenarnya. Jika peristiwa tak lagi seru, anak-anak tak akan tertarik datang. Itulah yang terjadi pada berbagai perpustakaan sekolah atau taman baca yang meranggas. Juga pada sebagian besar buku-buku yang beredar di Indonesia yang ditulis secara hambar, bahkan buruk.

Ibu kota dunia

Unsur ”peristiwa” ini juga yang bisa menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia, yang tampak tak sanggup beli buku itu, bisa berlomba-lomba membeli telepon seluler. Dibandingkan buku- buku yang banyak beredar, gadget jelas lebih mampu membantu menciptakan peristiwa, setidaknya membuka ruang lebih besar untuk merasa terlibat dalam peristiwa.

Tanpa sedikit pun kampanye peningkatan minat koneksi, masyarakat Indonesia berbondong- bondong menyambungkan diri dengan internet. Tanpa kegaduhan tebar-virus-SIM-card, misalnya, angka SIM-card di Indonesia terbang naik melampaui jumlah penduduk. Indonesia pun mengalami laju pertumbuhan tertinggi di dunia untuk iklan internet bergerak dan digital.

Jakarta mencatatkan diri sebagai kota Twitter paling aktif di dunia, lebih aktif daripada Tokyo, London, atau New York. Indonesia menjadi ibu kota media sosial dunia.Statistik mencengangkan yang dikeluarkan Ondeviceresearch.com dan emarketer.com itu akan lebih menakjubkan lagi jika infrastruktur telekomunikasi dan informasi Indonesia sudah lebih baik.

Statistik Indonesia di dunia digital ini ikut membuat kita merasa statistik UNESCO dan CCSU itu datang dari pandangan dunia yang tak lengkap, dan bisa melihat apa yang kurang serta perlu dikoreksi dari pernyataan ”resmi” tentang minat baca rendah itu.Dengan segala niatnya yang mulia, gerakan peningkatan minat baca atau penebaran virus literasi adalah gerakan yang tak dibimbing olehparadigma yang bagus. Minat baca ada pada semua manusia, terbentuk oleh evolusi, tertanam dalam struktur gen, serta akan terus hadir selama manusia mencintai hidup dan ingin memuliakannya.

Karena itu, gerakan peningkatan minat baca yang tak dibimbing gerakan cinta dunia dan kehidupan niscaya akan gagal. Kegiatan membaca akan meningkat jika pembaca mendapatkan kehidupan seru di sana. Pembaca haus gerakan yang membantu mereka punya arti, yang mengenalkan satu jenis literasi sebagai upaya memperluas cakrawala, memperkaya khazanah.

Ketimbang mengeluhkan minat baca dan ngotot mendisiplinkan anak dengan beban yang berat, lebih tepat memperbanyak jumlah guru dan sukarelawan yang sanggup mencipta peristiwa. Guru dan sukarelawan yang kreatif adalah unsur yang sangat menentukan. Di tangan mereka, buku bekas dan tak menarik sekalipun bisa menjadi bahan pemicu peristiwa, penyibak makna aneka tanda heran.

Beban para pencipta peristiwa ini tentu akan meringan jika ada aliran kitab yang tak gentar pada imajinasi yang melampaui fakta, nilai yang menampik ketakmungkinan dan melepasbebaskan semua kemungkinan.Kita memerlukan banyak bacaan yang menerima semesta raya dan kehidupan dunia sebagai berkah menakjubkan yang layak dijelajahi sejauh mungkin.

UNESCO merayakan 50 tahun Hari Literasi Internasional dengan semboyan ”Reading the Past, Writing the Future”. Semboyan dengan kesadaran waktu yang sangat linier ini terlalu umum dan tak menawarkan cara kerja yang cukup jelas. Kita layak mengayomi dan membantu UNESCO dengan seruan yang lebih programatis: ”Datangi Pembaca, Ciptakan Peristiwa”.

Nirwan Ahmad Arsuka, Pendiri Pustaka Bergerak

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Para Pencipta Peristiwa".
0 Responses

Post a Comment