Helvry Sinaga

Sepanjang kita bicara pada ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.

Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep ”manusia merdeka” dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip ”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.”


Pada abad ke-18 konsep masyarakat ”inland states” di Jawa tentang waktu, manusia, dan paham ontologis sudah berubah menjadi modern, antara lain lantaran interaksi positif dengan masyarakat pesisir Nusantara. Dari situlah Serat Wedhatama muncul. Pada 1912, bangkitlah secara fenomenal pergerakan nasional pertama, Sarekat Islam, di bumi Nusantara. Pada pertengahan 1913, Ki Hadjar Dewantara menulis parodi cemerlangnya yang langsung menohok fondasi kolonialisme Hindia Belanda. Puncak bukti ketercerahan dalam hal cakrawala politik itu tentu saja adalah Pancasila, dasar negara dan falsafah bangsa kita.

Disusupi kuasa kegelapan

Sudah aksiomatis bahwa selalu terjadi pertandingan antara kekuatan-kekuatan cahaya dan kegelapan. Praktis sejak dasawarsa pertama hingga dasawarsa keenam, Tanah Air kita didominasi oleh para leluhur dengan ideologi-ideologi politik kompetitif tercerahkan yang memandang lepas ke seantero cakrawala. Semua ideologi itu bersifat memerdekakan. Dari kawah ideologi-ideologi itulah para pendiri bangsa kita lahir dan bertumbuh. Dan, dari kombinasi pergerakan yang didasari oleh ideologi-ideologi itu pulalah mereka mengantar bangsa ini ke gerbang kemerdekaan.

Lalu, lewat rangkaian panjang blunder dan kepandiran politik yang bermula pada duumvirate 1959, kekuatan-kekuatan kegelapan menyusup dan kembali menguasai Tanah Air. Maka, sejak 1965 hingga sekarang, terjadilah avalans pengkhianatan besar-besaran atas ideal-ideal nasion kita yang cenderung menggadaikan kemerdekaan, Tanah Air, serta kedaulatan bangsa. Itu silih berganti dilakukan di bawah kepicikan serta dorongan-dorongan hawa nafsu picik-nista kekuasaan yang dipelopori para pemimpin negara kita sendiri dengan dalih pembangunan. Suatu dalih yang hampir sepenuhnya didikte oleh dan ditundukkan pada kepentingan negara-negara adidaya kapitalis.

Di dalam kegelapan inilah kita terus terpenjara selama lima dasawarsa, sampai sekarang. Jika dulu pelopor kegelapan ada di pucuk-pucuk lembaga eksekutif, kepeloporan laku nista-khianat politik itu sejak 14 tahun terakhir berada pada lembaga legislatif, dengan kompleksitas nyaris penuh dari eksekutif dan yudikatif.

Bisakah bangsa kita kembali keluar dari sungkup kuasa kegelapan ini? Jawaban realistisnya: ”Sulit sekali, tetapi tidak mustahil.” Mengapa sulit? Mengapa tidak mustahil?

Sejak 1998, kekuatan-kekuatan cahaya pada bangsa kita telah menghadapi uphill battles dalam dua medan laga besar: di dalam negeri dan di mancanegara.

Era upaya reformasi dimulai dengan pengkhianatan telak pada rasionalitas upaya reformasi itu sendiri, yaitu dengan diangkatnya orang kedua Orde Baru sebagai kepala pemerintahan pertama. Langkah itu bisa disebut biang irasionalitas politik. Sebab dengan pengangkatan demikian de facto dimaafkanlah semua laku pengkhianatan besar-besaran Orde Baru atas bangsa kita. Suatu rangkaian laku khianat berupa kejahatan masif atas kemanusiaan dan rangkaian mega- korupsi serta penyelewengan telanjang atas ideal-ideal kebangsaan kita.

Dengan naiknya orang kedua Orde Baru secara bertentangan dengan nalar reformasi, prinsip impunitas pun dipancangkan sangat kukuh dalam sistem pemerintahan kita justru di saat prinsip punitas semestinya ditegakkan secara ekstra tegas terhadap semua pelanggaran dan pengkhianatan Orde Baru. Di atas prinsip impunitas itulah bahtera negara kita tiada hentinya digerogoti dan dikeroposkan hingga sekarang. Pada hari-hari ini pun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap terus bersikukuh menganut prinsip impunitas itu dengan dalih polesan ”menolak intervensi atas proses hukum” kendati itu berada langsung di bawah wewenangnya. Padahal, semua tahu bahwa tak ada negara yang tak akan terus kacau dan terseok-seok lantaran pembiaran impunitas sistemik dalam tubuhnya.

Pengkhianat demokrasi

Kini bangsa-bangsa, katakanlah di seluruh dunia, berkiprah dan berpusar dalam paradigma dan ideal-ideal demokrasi. Namun, situasinya sangat berbeda antara peluang demokrasi baru pada 1940-an hingga 1960-an. Sepanjang masa itu, negara-negara kampiun demokrasi terasa masih terus memancarkan sinarnya ke seluruh dunia. Kala itu demokrasi-demokrasi baru, seperti Indonesia, punya deretan mercusuar tempatnya terbantu melihat arah dan cakrawala.

Akan tetapi, sejak awal 1990-an, justru tak lama setelah Uni Soviet dan Tembok Berlin runtuh—serta terbitnya buku pongah Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man—kekuatan kegelapan kembali menunjukkan taringnya dan bergerak serempak menggerogoti negara-negara kampiun demokrasi dari dalam.

Di Amerika, misalnya, kuku-kuku kapitalisme korporat dan/atau apa yang disebut Chalmers Johnson the military-industrial complex secara tak terbendung mulai mengintervensi mekanisme dan proses-proses inti dalam sistem kenegaraan demi memarjinalkan para pembayar pajak serta menjarah dunia. Gugatan Marx seperti tak pernah mati. Secara sangat kasar kekuatan-kekuatan kegelapan di Amerika telah mengkhianati prinsip-prinsip bapak pendiri bangsanya sendiri dalam The Declaration of Independence.

Di Amerika, pada hari-hari ini, makin santer gema suara-suara yang mengingatkan masyarakat betapa parahnya ”the rich-poor divide”, betapa merajalelanya ”the one percent supremacist” dalam penentuan kebijakan-kebijakan negara di ketiga cabang pemerintahan, dan betapa gencarnya ”the criminalization of transparency, dissents, and whistleblowers”. Itu semua bermuara pada kenyataan telah tergadainya demokrasi kepada penawar tertinggi: ”Democracy is sold to the highest bidder”.

Tersebab untuk membendung laju pengkhianatan besar-besaran terhadap demokrasi di negara kampiun demokrasi itulah gerakan ”Occupy Wall Street”, yang terilhami oleh moda perlawanan kaum muda Mesir di Lapangan Tahrir, dimulai tahun lalu. Suatu gerakan yang kini tampaknya terus meluas.

Dua jawaban

Atas dasar kuasa berjangkauan global dari barisan kapitalisme korporat, maka dalam waktu sekejap seluruh gejala pengkhianatan atas mekanisme dan prinsip-prinsip demokrasi bisa dan tampaknya memang juga sudah diekspor dan berlaku di dalam sistem pemerintahan kita. Kita, misalnya, sungguh patut terus mempertanyakan dan jika perlu membuktikan secara terbuka sejauh mana kebijakan dan perundangan minyak dan gas bumi kita telah didikte oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia.

Apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan negara-nasion kita beserta ideal-ideal demokrasi yang memang tak terpisahkan darinya? Jawabannya adalah dua butir singkat, tetapi mahasulit:

Pertama, marilah kita kembali memadukan kemerdekaan dan ketercerahan menyimak cakrawala. Peningkatan kegelapan mestilah diimbangi dengan peningkatan ketercerahan. Kita harus cerdas membaca perkembangan dunia serta kiprah kekuatan-kekuatan penentu di dalamnya. Ada sejumlah bahaya baru terhadap nasion dan demokrasi seperti apa yang disebut ”super PAC” serta proliferasi penggunaan drone yang sungguh perlu diwaspadai.

Kedua, marilah kita kembali berjuang dengan tekad, ketulusan, dan ketegaran prima untuk memenangi kedua uphill battles di atas agar kita bisa membawa negara kita kembali ke rel yang benar menurut tuntunan cakrawala ideal-idealnya. Keabsahan hukum harus kembali ditegakkan dengan mengakhiri impunitas sistemik. Dan, kekang harus dipasang sekencang mungkin pada jaring-jaring kerja kapitalisme korporat yang pada umumnya sama sekali tak peduli kepada nasib rakyat atau mayoritas warga negara.

Perjuangan ke depan makin menuntut kehadiran fisik serta ketercerahan cakrawala. Dan, perjalanan ribuan kilometer memang selalu dimulai dengan beranjak dari hasta ke hasta.

Mochtar Pabottingi Profesor Riset LIPI
Kompas, 21 Agustus 2012


Labels: | edit post
1 Response

Post a Comment