DIPERKAYA DAN MEMPERKAYA
Maria Hartiningsih & Myrna Ratna
Pengalaman khas dan berbeda yang dibagi dalam komunikasi terbuka dan kesalingan belajar akan saling memperkaya identitas individu religius.
Syafaatun Almirzanah PhD (49) menghidupi setiap pengalaman perjumpaan sebagai cahaya yang memperkaya jiwa untuk menuju kepada Yang Satu. Melalui perjalanan panjang, ia meyakini, hanya dalam komunikasi yang terbuka dan dialog mendalam dengan kerendahan hati, dimungkinkan perjumpaan untuk saling memperkaya dan diperkaya.
Itu sebabnya, ”Pengalaman bergaul dengan orang lain sangat penting dalam hidup,” ujar intelektual serta pakar kajian Islam dan kajian agama-agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu, sepulang tugas mengajar di Georgetown University, Washington, AS, Syafa, begitu ia disapa, mengungkapkan, salah satu metodologinya untuk berdialog adalah passing over from our own tradition, dari our motherland kepada tradisi orang lain yang berbeda, kepada wonderland.
”Tetapi, tidak berhenti di situ. Kita coming back, pulang kembali ke motherland dengan horizon baru yang sudah diperkaya.”
Ia selalu menekankan, dialog bukan sekadar debat atau saling memahami terus selesai. ”Kalau tidak ada transformasi namanya bukan dialog,” ujar Syafa.
”Transformasi terjadi ketika Anda mau diperkaya oleh orang lain. Di situ harus ada self-criticism, ada dorongan mengkritisi diri sendiri. Juga, kerendahan hati. Itu berkaitan. Bukan hanya dengan agama lain (interreligious), melainkan juga di dalam agama yang sama (intrareligious). Pengalaman saya, yang intra itu lebih sulit.”
Religius sekaligus abai
Kritik diri bukan hal mudah, begitu ditegaskan Syafa. Dari buku dan survei terungkap, religious ignorance hampir umum terjadi. ”Sederhananya, orang sudah nyaman dengan hanya sedikit atau bahkan tidak paham pengetahuan tentang agama sendiri, apalagi agama orang lain,” ujar Syafa, ”Orang Amerika dikenal religius but at the same time ignorant.”
Maksudnya?
Menurut teolog Friedrich von Huegel dan pakar mistisisme, Gershom Scholem, semua agama punya tiga elemen. Hal itu adalah historis-institusional (fisiknya, umatnya, doktrinnya), intelektual yang berasosiasi dengan pikiran (reason), dan mistikal yang membimbing atau menunjuk pada keinginan dan perbuatan cinta. Ketiga elemen itu harus dalam hubungan harmonis. Kalau hanya menekankan salah satu aspek dalam kehidupan beragama, problem akan terjadi.
Mungkin ini juga terjadi di Indonesia. Kita suka yang historis institusional, sementara aspek intelektual dan mistikalnya tidak dikembangkan. Dalam semua agama, ritual akan menjadi empty cell kalau tak ada mistikal dan spiritualnya. Para sufi itu juga melakukan ritual. Kalau kita shalat digigit nyamuk masih terasa, dalam sejarahnya, para sufi, tak merasa apa pun, bahkan ketika anak panah yang menancap di tubuhnya dicabut.
Islam yang masuk ke Indonesia sebenarnya lebih mistikal, yang melampaui teks, menukik menuju esensi. Kita memiliki tradisi yang indah dalam semua agama.
Jadi apa persoalannya saat ini?
Kesadaran. Dalam buku saya (When Mystic Masters Meet: Towards a New Matrix for Christian-Muslim Dialogue, 2011), saya jelaskan, ketika diyakini hanya ada satu jalan untuk sampai ke Tuhan, itu namanya melekat atau attach. Eckhart (filsuf, teolog, mistikus Kristiani abad ke-11-12 ) bilang, getting the way, and missing God. Kita ributnya di ’the way’. Jalan menuju Tuhan itu, kata Ibn ’Arabi (mistikus Sufi, filsuf abad ke-10-11) sama banyaknya dengan the breath of human being. Kalau yang dikembangkan tak hanya historis institusional, kehidupan ini akan lebih harmonis. Itu juga self criticism buat kita.
Bisa lebih dijelaskan?
Ucapan manusia saja bisa diinterpretasikan macam-macam, apalagi kitab suci bahasa Arab, juga kitab suci lainnya. Ibn ’Arabi mengatakan, kata saja di dalam Al Quran, belum ayat, belum surah, punya makna tak terbatas dan semuanya dikehendaki Tuhan. (Pemaknaan) Al Quran itu sebenarnya seperti lautan tanpa tepi.
Sufi besar abad ke-10, Al-Junayd, mengatakan, the color of the water is the color of its container, makna yang ditangkap bergantung pada kapasitas yang menangkap, kesiapan kita, pengalaman kita, konteks ketika kita ada dan perkembangan ilmu ketika kita memahami kitab suci itu. Yang diperbarui bukan agamanya, bukan kitab sucinya, melainkan the mind and the eyes yang membaca, yang sudah diperkaya oleh ilmu dan pengalaman yang lain. Pasti berbeda ketika saya membaca di pondok dengan sekarang. Kalau masih sama, berarti ada yang keliru.
Cinta, cinta...
Kepada mahasiswanya di AS, Syafa menjelaskan, Islam tidak monolitik. Dengan pendekatan fenomenologis, dia menjelaskan perbedaan Islam di Indonesia dari Islam di Timur Tengah.
Kepada mahasiswa yang mengenal Islam hanya dengan penekanan konflik, dijelaskan bahwa konflik tak bisa digeneralisasi. Yang terjadi di Thailand berbeda dengan di Filipina. Di Filipina, kelompok Abu Sayyaf berbeda dengan yang lain. Ada masalah penindasan, jadi tak semua (konflik) merupakan respons teroris.
Melalui metode diskusi dan dialog, setelah memberi tugas membaca beberapa literatur selama seminggu, Syafa menuntun mahasiswa untuk sampai pada pemahaman tentang self-criticism. ”Tidak mudah, tetapi yang saya suka, mahasiswa lalu mencobanya dengan pengalaman mereka dalam tradisi agama masing-masing.”
Salah satu cita-cita Syafa adalah mengembangkan model beragama yang sehat. Ia selalu mencari jalan bagaimana mengubah metode dakwah. ”Zaman kita kecil ditakut-takuti dengan neraka, dengan titian sehelai rambut dibelah tujuh. Kalau yang kita contohkan hal-hal seperti itu, ya ngeri,” ujar Syafa.
Jadi?
Tuhan bilang, Kasih-Ku mendahului marah-Ku. Kenapa bukan kasih yang didahulukan, bukan hukuman. Kalau hendak memulai sesuatu kan kita mengucapkan ”Bismillaahir rahmaanir rahiim”. Kalau awalnya sudah dengan ar rahman ar rahim, kenapa lalu harus pakai yang keras. Saya selalu sarankan, yuk kita ngaji lagi, loving, loving, loving, dan itu lebih sehat. Ahli neuroscience dan kajian agama, Andrew Newberg, mengatakan, model beragama seperti itu (dengan loving) bisa menata otak.
Kebaikan, kebaikan
Meski keragaman agama, budaya, etnis, bahasa, dan lain-lain merupakan realitas eksistensial, memberikan pemahaman tentang keberagaman bukan hal mudah.
Suatu saat, ketika anaknya masih kecil, para tetangga yang melihat di meja kerjanya banyak bacaan Kristen dan Buddha bertanya kepada sang anak, ’Mama kamu itu gimana?’ Padahal, Syafa memang mengajar perbandingan agama.
Pernah juga sepulang sekolah anaknya bertanya, ’Ma, apa betul yang masuk surga hanya kita? Begitu kata guru’. ”Dia seperti tak bisa terima karena ia mengenal para biku dan romo yang sangat baik. Saya jelaskan, surga atau neraka bukan urusan gurumu. Yang terpenting bagi kamu adalah berbuat baik terhadap sesama manusia.”
Banyak juga yang pengalamannya hanya within their own. Di AS ia bertemu mahasiswa Katolik dari Thailand yang mengaku belum pernah ketemu orang non- Kristen. Padahal, mayoritas di Thailand beragama Buddha.
”Jadi, memang tak mudah karena banyak juga orang yang tak mau bertemu dengan orang lain. Ada tokoh yang mengatakan, jika hanya tahu satu agama, sebetulnya tidak tahu apa-apa. Diktum ini sangat bermakna. Kalau kita tidak memahami tetangga kita, sebetulnya kita tidak memahami diri sendiri,” ungkapnya.
Dialog antaragama terus dilakukan, tetapi mengapa konflik terus terjadi?
Karena yang berdialog adalah orang yang sudah paham, tetapi persoalannya tak hanya itu. Orang yang diajak dialog itu tidak mewakili komunitasnya. Pak Mukti Ali (Menteri Agama 1971-1978) pernah menawarkan untuk membawa orang-orang dari lingkungan yang homogen ke dunia yang penuh keberagaman.
Saya kira persoalan yang kita hadapi tak sepenuhnya masalah agama sehingga tak bisa diselesaikan dengan mengumpulkan para tokoh agama. Ada faktor sosial-politik-ekonomi, khususnya kemiskinan. Bagaimana mau bicara tentang Tuhan dan berdialog kalau perut lapar dan hidup susah. Dari situ saya belajar tentang teologi harapan. Semua butuh waktu dan tidak mudah.
Bagaimana dengan solidaritas yang makin tersegregasi?
Yang lebih utama adalah kemanusiaan, siapa pun orang dan labelnya. Tuhan saja berfirman, Wa laqad karamna bani Adam, artinya Kami telah memuliakan anak Adam. Jadi, tidak dikatakan memuliakan umat ini atau itu, tetapi manusianya.
LATAR BELAKANG
Disemangati Bapak
In this world, it is not similarities or regularities that take us a step forward, but blunt opposites.... (Rumi)
Jalan Syafa tampaknya terpapar sejak dini. Anak ketiga dari enam bersaudara itu tumbuh dalam kerukunan antarmazhab dan aliran. Dalam perjalanannya menjadi manusia dewasa, dia berkembang di lingkungan yang menghormati keberagaman.
Ayahnya, alm H Zainal Arifin Aljufri Tirta Kusuma, adalah sosok yang terus belajar. Kiai desa yang mengamalkan sufisme ala tradisi Jawa itu sangat suka membaca. Ia mengirim Syafa ke pesantren agar mewarisi ilmunya.
”Bapak dari NU tradisional, tetapi keluarga ibu saya Masyumi. Di rumah, kami biasa tarawih. Bapak saya 23 rakaat, ibu saya 11 rakaat, dan mereka tak pernah memaksa anak-anaknya ikut bapak atau ibu,” ungkap Syafa.
Ketika di pesantren, ia menyimak kiainya bahwa pesantren itu milik semua golongan. ”Di pesantren, kita tak hanya belajar agama Islam,” kenang Syafa. ”Teman-teman Seminari Mertoyudan live in di situ. Santri terbiasa kedatangan tamu dari luar negeri. Ada pelajaran dinayah, seperti comparative religion. Dalam agama sendiri, Islam, santri harus tahu makna inti berbagai mazhab.”
Di dalam keluarga, Syafa dikenal sebagai ’anak bapak’. Namun, bukan berarti tak pernah bersitegang. Ketika lulus dari pondok, ayahnya ingin Syafa masuk jurusan bahasa, tetapi dia ingin masuk jurusan perbandingan agama. ”Saya bilang ke Bapak, itu kajian, bukan membanding-bandingkan. Bapak akhirnya paham.”
Setelah Syafa kuliah, sang ayah mulai berteman dengan pastor dan biksu. ”Suatu saat dia bilang, ’Nanti kalau kamu pulang, saya akan kenalkan dengan teman-teman yang ingin ketemu kamu juga’....”
Sang ayah yang sangat dicintainya itu berpulang tahun 2002 ketika ia akan maju ujian komprehensif untuk menentukan studi lanjutan ke jenjang PhD di Chicago, AS. Namun, semangatnya terus hidup dan dihidupi, termasuk melalui cara Syafa mendidik anak semata wayangnya.
Muhammad Hasnan Habib (20)—kini melanjutkan kuliahnya di ITB setelah sempat belajar pada Jurusan Fine Arts di Georgetown College—sejak kecil sudah bergaul dengan teman dan guru ibunya yang beragam.
”Dari kecil dia sangat kritis, juga terhadap agama,” ujar Syafa, ”Jawaban saya tidak mematikan pertanyaannya, tetapi mendorong dia selalu bertanya.” (MH/MYR)
sumber: Kompas, 12 Agustus 2012
Post a Comment