Helvry Sinaga
MEMBANGUN IKATAN

Taufiq Ismail
Kompas, 14 April 2013

Seorang sahabat menerima Penghargaan Akademi Jakarta 2012, 13 Desember tahun lalu. Penyair Sapardi Djoko Damono (72) mendapat anugerah pencapaian seumur hidup dalam penulisan puisi, esai, terjemahan, penelitian, dan pengajaran sastra. Anugerah terhormat ini telah diberikan Akademi Jakarta mulai 36 tahun yang lalu kepada 15 seniman/budayawan Indonesia.

Penerima pertama (1975) adalah penyair/dramawan Rendra, penerima terbaru (2012) adalah penyair/penerjemah Sapardi Djoko Damono, kedua-duanya dari Solo.

Solo banyak menyumbangkan penyair kepada kita. Di abad ke-19 Ronggowarsito (1802-1873), kemudian di abad ke-20 Hartojo Andangdjaja (1930-1991), Sugiarta Sriwibawa (1932-2009), Rendra (1935-2009), Budiman S Hartoyo (1938-2010), Sapardi Djoko Damono (1940), Slamet Sukirnanto (1941), dan Wiji Thukul (1963-1998), itulah antara lain.

Solo sebagai kota sangat sentimental bagi saya pribadi. Saya dibesarkan di Pekalongan tetapi mulai masuk sekolah dalam umur 6 tahun di Solo, menjelang pendudukan Jepang, di Sekolah Rakyat Muhammadiyah II. Setiap pagi saya diantar ibu saya, menyeberang rel kereta api, membawa sabak (batu tulis) dan grip (anak batu) dalam tas saya, dalam kotak ukiran Jepara yang baunya harum. Kami sekeluarga pindah dari Pekalongan ke Solo. Ayah saya mengajar di Solo. Salah seorang murid ayah saya seorang pemuda Sulawesi Selatan, namanya Kahar Muzakkar (1921-1965), yang belakangan pindah sekolah ke Yogyakarta. Oom Kahar pernah tinggal sebentar di rumah kami di Namburan Kidul, Yogyakarta, yang menjadi asrama PII, menjelang Clash II, 1948.


Di Solo rumah kami di Keprabon. Di sebelah rumah kami ada perusahaan rokok MARMI, yang produknya dilinting (digulung) dengan tangan. Ketika ayah dan ibu tidak di rumah, saya berhasil merengek-rengek kepada Simbok pengasuh saya supaya memintakan sebatang rokok MARMI di sebelah rumah kami itu. Lalu dengan gagah saya menyulut, meletakkannya di sudut mulut dan mengisapnya, lalu terbatuk-batuk. Itulah pengalaman pertama dalam hidup saya merokok. Saya ditertawakan mama ketika Simbok melaporkan budi pekerti saya itu. Belakangan di depan ayah dan adik-adik, mama sering meledek-ledek saya dengan menyebut merek rokok itu: ”MARMI, MARMI.” Saya jadi malu.

Saya pertama kali ketemu Sapardi Djoko Damono dalam Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) di Jakarta, 1-7 Maret 1964. Suasana politik Demokrasi Terpimpin yang didominasi Marxis-Leninis mencekam pertemuan 7 hari yang dihadiri sekitar 400 sastrawan itu. Peserta pertemuan ini mendukung Manifes Kebudayaan, yang tak disukai kelompok kiri. Dua bulan sesudah KKPI, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menyatakan Manifes Kebudayaan terlarang.

Dipaksa



Sapardi waktu itu (1964) dipaksa Dekan Fakultas Sastra UGM menyelesaikan skripsinya dalam 2 minggu karena pembimbingnya, Prof Kenneth Lendon, akan diusir pulang ke Inggris dalam gelombang pengusiran yang dilakukan Presiden Soekarno. Drama penting TS Eliot Murder in the Cathedral adalah bahan skripsinya. Skripsi ditulis dalam bahasa Inggris. Sapardi sejak SMA di Solo terpukau puisi-puisi TS Eliot, yang dia banyak hafal luar kepala.

Skripsi saya di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, UI, Bogor (1963) adalah tentang Manajemen Peternakan. Saya sejak SMA terpukau oleh puisi-puisi Walt Whitman, Edgar Allan Poe, dan Robert Frost, beberapa di antaranya hafal luar kepala. Tetapi puisi-puisi yang saya nikmati di SMA Whitefish Bay, Wisconsin (1956-1957), itu tak ada hubungannya dengan skripsi peternakan ayam dan sapi yang saya tulis.

Pelarangan Manifes Kebudayaan menghabisi karier mengajar saya. Kelanjutan studi S-2 saya ke Kentucky dibatalkan 5 hari sebelum diberangkatkan, dan bulan berikutnya pemerintah memecat saya sebagai dosen muda IPB. Karier kepegawaian saya musnah. Julukan gerombolan kontra-revolusi dicapkan ke diri saya, bersama kawan-kawan. Semua pendukung Manifes yang pegawai negeri mengalami musibah yang mirip, seperti Pak HB Jassin dan Boen S Umaryati, dan banyak lagi.

Ketika situasi politik kenegaraan berbalik pada tahun 1966, esais Arief Budiman, cerpenis Ras Siregar dan saya ingin menerbitkan majalah sastra. Waktu itu masa represi baru lewat, setelah buku-buku pernah dibakar dan dilarang, termasuk majalah sastra. Siapa yang akan memimpinnya? Pilihan jatuh pada Mochtar Lubis, yang masih dalam tahanan, tetapi akan dibebaskan. Kami bertiga pergi menemui Bang Mochtar di rumah tahanan Jalan Keagungan dan dia setuju. Lahirlah majalah sastra Horison pada bulan Juli 1966.

Setelah sekitar 7 tahun, Mochtar Lubis dan para pendiri Horison yang masing-masing sibuk, memerlukan tenaga baru yang segar untuk di Yayasan Indonesia maupun di majalah. Berundinglah kami para pendiri, yaitu PK Ojong, Zaini, Arief Budiman, saya dan Mochtar Lubis, mencari siapa yang kira-kira sesuai untuk dua tugas, yaitu Direktur Eksekutif Yayasan dan Redaktur Pelaksana Horison. Akan sangat ideal kalau untuk kedua tugas itu satu orangnya.

Dari sejumlah calon yang ditimbang, akhirnya pilihan jatuh pada penyair/penerjemah Sapardi Djoko Damono. Tetapi bagaimana: Sapardi kan mengajar di Semarang? Dan dia dosen Universitas Diponegoro, artinya pegawai negeri, yang tentu tidak mudah pindah bekerja ke kota lain. Dan yang primer: apakah Sapardi akan tertarik pada Horison?

Setelah semua kemungkinan dibicarakan, diutuslah saya berangkat ke Semarang, dengan tugas membujuk Sapardi. Gaji di Horison jelas kecil. Yang menarik orang bekerja di Horison adalah idealismenya. Rasanya Sapardi cocok dengan Horison. Gaji utamanya toh dari universitas. Maukah dia pindah ke Fakultas Sastra UI, dan kalau mau, apakah dia bersedia repot mengurus kepindahan itu?

Mengenai ini saya agak optimistis, karena di Kementerian P&K ada Mas Kusnadi Hardjasumantri, Dirjen Pendidikan Tinggi, yang dengan senang hati akan membantu. Mas Kusnadi ketika masih mahasiswa adalah penggagas dan pelaksana Pekan Seni Mahasiswa di Yogya dulu, dan dia dekat dengan sastrawan.

Pergilah saya ditemani Ati, dengan kereta api ke Pekalongan, disambung naik bus ke Semarang. Kami sampai di rumah Sapardi di Lemah Gempal Gang 3, selepas Magrib. Alhamdulillah Sapardi setuju. Wah, kami lega sekali. Demikianlah kemudian satu periode dalam sejarah majalah sastra Horison, dengan suka-dukanya, dipimpin oleh penyair Sapardi Djoko Damono.

Djok, selamat mendapat anugerah Penghargaan Akademi Jakarta 2012, semoga kreatif dan produktif terus. Ucapan selamat ini datang dari mantan murid SR Muhammadiyah II (di seberang rel kereta api) kepada mantan murid SR Kraton Kesatrian, Baluwarti, Solo, dari zaman sekitar awal revolusi dahulu. Waktu di SR dulu, kita belum ketemu.

Taufiq Ismail Penyair

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment