Sebatang Pohon di Loftus Road
Sungging Raga
Gambar: Sandi Jaya Saputra
Kompas, 14 April 2013
Sungging Raga Bagaimana kau membayangkan seorang wanita yang menjelma sebatang pohon, hidup selama puluhan tahun, dan tak pernah kembali menjadi manusia?
Konon, sering kali ada wanita yang menjelma pohon di sepanjang Loftus Road, sebuah jalan yang di kanan-kirinya dipenuhi baris pepohonan seperti hutan buatan, jalan itu terus memanjang ke arah barat, menuju matahari terbenam. Pohon-pohon itulah, entah siapa yang memulainya, kemudian dicurigai dan diyakini sebagai jelmaan manusia.
Dahulu, sebelum dipenuhi pohon-pohon, di sekitar Loftus Road adalah sebuah hamparan rumput luas yang menjadi tujuan para kekasih untuk berbahagia, tempat kencan dan tukar-menukar rayuan. Namun di tempat itu pula terjadi beberapa ketidakbahagiaan; perpisahan, pertengkaran, dan selebrasi kesedihan. Maka bermunculanlah wanita-wanita yang tak lain hanyalah endemis kesunyian. Mereka adalah wanita patah hati ditinggal kekasihnya, wanita yang terlalu sentimentil, yang menjadikan Loftus Road sebagai tempat menampung air matanya, yang kemudian memilih untuk mengabadikan cintanya dengan menjelma pohon, dan mereka pun akan tumbuh di sana, hanya untuk melihat kekasihnya kembali.
Sejak saat itu, Loftus Road perlahan berubah, tempat itu kini dipenuhi pepohonan, kicau burung, dan daun-daun berguguran nyaris sepanjang waktu.
Cerita itulah yang mengiringi perjalananku siang ini. Aku akan bertemu dengan Nalea, seorang gadis cantik dari London Utara, yang kukenal setahun tahun lalu ketika aku menonton acara musik cadas di Finsbury Park pada akhir musim dingin. Aku melihatnya mengepal-ngepalkan tangan ketika Wintersun memainkan Death and the Healing. Aku tertarik pada rambutnya yang terikat, senyumnya yang serupa alunan nada akordion, dan ia mengenakan jaket bagian punggungnya bertuliskan ”Ensiferum”. Kami lantas berkenalan, dan hubungan ini pun mengalir lebih mudah dari yang kubayangkan. Meski kami berbeda kota, aku dan Nalea selalu menyempatkan diri untuk bertemu di tempat-tempat yang berbeda, kadang ia mengajakku ke acara Reading Festival, atau ke kafe di daerah Ashburton Grove, atau sekadar duduk di Putney, melihat kereta yang datang dan pergi.
Namun kali ini sedikit lain, entah apa yang dipikirkannya, tiba-tiba saja Nalea mengajak bertemu di Loftus Road, dan ia pula yang menceritakan mitos pohon itu kepadaku.
”Aku tunggu sampai jam empat. Kalau lebih satu menit saja, aku akan menjadi pohon.”
Begitu pesan singkat yang kubaca pagi tadi. Maka sekarang aku sudah berada dalam sebuah kereta menuju London. Aku tak tahu apakah mitos itu benar, atau Nalea hanya ingin memanfaatkannya untuk membuat pertemuan ini jadi semakin sentimentil dan romantis.
Suasana hiruk pikuk di dalam gerbong, masih pukul satu, sebagian penumpang terlihat memakai kostum Arsenal. Aku tahu, ini akhir pekan, mungkin ada pertandingan sepak bola siang hari di Emirates.
”Sepertinya Anda sedang bingung?” Tanya seorang wanita yang sejak tadi duduk di depanku. Dan sejak tadi pula, aku sesekali melirik padanya, wajahnya yang sendu dengan rambut panjang sampai ke bahu, memakai blazer coklat seperti seorang sekretaris, bersandar ke jendela sambil membaca sebuah buku berjudul Kalevala.
”Tidak juga,” jawabku.
”Mau ke mana?”
”Ke London.”
”Tentu saja. Semua yang naik kereta ini akan ke London. Maksud saya, di London, ke mana tujuan Anda?”
”Hm. Entahlah. Saya ada janji di Loftus Road pukul empat sore nanti.”
Ketika kusebutkan nama tersebut, raut wajah wanita itu berubah.
”Ada janji? Di Loftus Road?”
Aku mengangguk.
”Haha. Kalau boleh saya menebak, pasti Anda sedang tidak yakin untuk datang.”
Aku heran, tiba-tiba saja ia seperti meramal perasaanku.
”Dari mana Nona yakin bahwa saya tidak yakin untuk datang?” Pertanyaanku terdengar kacau dan gugup.
”Anda tahu mitos wanita yang menjadi pohon di Loftus Road?”
”Ya.”
”Nah. Saya pernah menunggu seorang lelaki di sana.”
”Lantas?”
”Ia tidak datang.”
Barangkali ia sedang menyindirku. Barangkali wanita ini sudah sangat ahli berurusan dengan perasaan, barangkali wanita ini terlalu sentimentil.
”Lelaki itu tak datang?”
”Benar. Sampai lewat batas waktunya, ia tak datang. Terlalu banyak lelaki yang tak mau datang ke Loftus Road.”
”Lalu kenapa Anda tidak menjadi pohon?”
Entah kenapa pertanyaan ini terdengar konyol. Tiba-tiba aku seperti anak kecil yang berharap bahwa setiap mitos adalah kebenaran yang tertunda.
”Haha. Tentu saja saya tidak menjadi pohon. Karena saya pergi sebelum batas waktu pertemuan. Anda tahu? Seorang wanita yang cerdas, ia akan pergi sebelum batas waktu pertemuannya.”
”Lho. Bagaimana Nona tahu lelaki itu tidak datang, kalau Nona sendiri pergi sebelum batas waktu yang dijanjikan?”
”Hm, begitulah cinta.”
Dan begitulah wanita, mengandalkan perasaannya sendiri.
”Tapi sepertinya pukul empat masih lama. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar, ada pameran yang bagus di museum,” katanya.
Apakah ini sihir? Hanya dengan beberapa kalimat, aku menurutinya. Namun toh ia benar, ini masih siang, lebih baik aku pergi bersamanya.
Setelah keluar dari stasiun, kami pun berjalan menuju Dulwich Picture Gallery, sebuah bangunan museum yang menyajikan koleksi lukisan abad ke-17 dan ke-18. Ia tampak senang sekali berada di sana, sepertinya ia adalah pengamat seni atau bahkan penggiat seni, kami membicarakan banyak hal tentang seni, karya-karya klasik, kemudian kami menyempatkan untuk duduk di kafe pinggir jalan untuk melepas lelah, berbincang ke arah yang lebih pribadi, hingga tak terasa sudah pukul empat sore ketika kami berpisah di stasiun dengan janji akan saling menghubungi kembali.
Saat itulah aku sadar, aku harus cepat pergi ke Loftus Road. Rasa bersalah tiba-tiba muncul, aku berada dalam taksi selama hampir satu jam ketika akhirnya aku tiba di Loftus Road. Jalan yang permukaannya dipenuhi daun-daun berguguran, dengan pohon-pohon menjulang di kedua sisinya.
Ada perasaan menyesal karena aku terlambat. Tampak beberapa bangku kosong, orang-orang yang berbincang, tetapi Nalea tak ada.
Aku segera menelepon, tetapi tak tersambung. Hei, hei, apakah ia benar-benar menjadi pohon?
”Seorang wanita yang cerdas, ia akan pergi sebelum batas waktu pertemuannya.”
Entah mengapa aku teringat lagi ucapan wanita itu. Apakah Nalea telah pergi sebelum pukul empat? Apakah Nalea tahu bahwa aku akan datang terlambat? Sandiwara macam apa yang sedang dimainkannya? Apakah ini sebuah kejutan untuk ulang tahunku yang masih empat bulan lagi?
Matahari terbenam. Petang pun tiba di Loftus Road. Burung-burung masih berterbangan, hinggap di rerumputan, di tiang lampu, di pucuk pohon, seorang lelaki menyanyi dengan gitar tuanya, gadis-gadis yang berjalan beriringan dan tertawa-tawa.
Waktu itu, aku belum menyadari bahwa Nalea ternyata benar-benar tak menghubungiku lagi. Berhari-hari kemudian, ia tetap tak memberi kabar, seakan-akan hanya untuk membenarkan mitos itu. Ah. Barangkali aku sudah terlalu sentimentil. Mungkin saja Nalea tak sengaja bertemu lelaki lain sebelum aku tiba di tempat ini, lalu mereka berkenalan, berbincang, sehingga ia pun pergi bersamanya, mungkin ke sebuah museum, atau kafe, dan tak pernah kembali lagi.
Delapan tahun pun berlalu seperti dedaunan yang menguning, lalu jatuh dihantam butiran salju. Di musim dingin kali ini, aku kembali ke Loftus Road. Dan percayalah, hidup selalu melahirkan kisah dengan tokoh tak terduga. Aku datang bersama Manisha —anak gadisku, dan juga istriku, seorang wanita yang delapan tahun lalu tak sengaja kutemui di perjalanan kereta menuju London.
”Kau masih ingat pertemuan pertama kita?” tanya istriku.
”Tentu saja. Kita bertemu di kereta, lalu kau mengajakku ke museum hingga aku lupa dengan janjiku sendiri di tempat ini.”
”Haha. Tidak, tidak. Itu tidak sengaja. Aku benar-benar lupa kalau kau ada janji. Aku terlalu larut dalam percakapan-percakapan.”
Seperti itulah wanita, selalu pandai mencari alasan untuk memperjuangkan perasaannya.
”Papa, lihat. Pohon yang itu menangis.” Tiba-tiba Manisha memanggil. Tampak telunjuknya mengarah ke sebuah pohon yang nyaris tak memiliki daun selembar pun. Dan memang, seperti ada yang mengalir di sela kulit batangnya.
”Itu bukan menangis, Manisha. Itu salju yang mencair.”
”Tidak, Pa. Itu air mata.”
”Itu salju.”
”Air mata. Coba Papa lihat lebih dekat.”
Kupandangi lebih lama pohon itu, tiba-tiba saja aku teringat kembali salah satu ucapan Nalea ketika pertama kami berkenalan selepas acara konser musik cadas di Finsbury Park.
”Kalau turun salju, aku gampang menangis.”
Apakah pohon ini adalah Nalea? Tidak mungkin. Semua ini hanya mitos. Ya, wanita yang menjadi pohon, kau, aku, mereka, dan kehidupan, perkenalan, perpisahan, janji-janji, segalanya hanya mitos yang mencari tokohnya masing-masing....
”Kamu benar, Manisha, pohon itu menangis.” Kataku sambil membelai rambut anak gadisku, wajahnya benar-benar manis seperti ibunya. Namun tiba-tiba ia menggeleng.
”Tidak, Pa. Itu salju yang mencair. Aduh. Papa lupa, ya? Pohon ’kan tidak bisa menangis.”
Aku hanya tertegun mendengarnya.
”Papa terlalu sentimentil.”
Pasti ibunya yang telah mengajarkan kata itu.
Post a Comment