Helvry Sinaga
Benny Arnas
Entah bagaimana Maisarah harus marah pada hujan deras yang turun di pengujung Ramadan itu. Lebih sepuluh tahun menghindari Samin, baru kali ini ia dibuat tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang terlalu lancang mengajaknya bicara.
Kehadiran Samin di bawah pohon merbau siang itu hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya makin menggunung.
Sungguh, ketakutan, kebencian, dan trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya kembung. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan, tapi sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.
Helvry Sinaga
Oleh: ABA MARDJANI
Dengan jari-jari tangan mengempit sebatang lisong, Simbad coba menahan hujan yang seolah tak lagi bisa dibendung. Kedua tangannya terangkat ke udara, melambai-lambai seolah memberi isyarat mengusir angin pembawa hujan. Bau kemenyan dan kelembak merebak.
Dari kejauhan terdengar petir bersahutan. Angin berkesiur keras. Keleyang-keleyang dan plastik-plastik beterbangan. Langit tampak pekat. Gelap menyungkup. Beberapa saat kemudian, petir juga berdentuman di sekitar Simbad yang berjalan tak tentu arah dengan lisong yang terus-menerus menyala. Asap putihnya begitu saja menghilang bersama angin. Mulutnya tak henti berkomat-kamit. ”Menjauh... menjauh... menjauh....” Ia berdesis-desis tiada henti. Lalu membaca mantra-mantra, berulang-ulang.
”Kali ini Simbad agaknya takkan lagi bisa tahan. Ambrol semuanya,” gumam Martoyo, bos sebuah kontraktor yang memanfaatkan jasa Simbad untuk menahan hujan selama mungkin di areal proyeknya. Ia duduk terpaku di kursinya, pada sebuah ruang berpendingin udara. Meskipun demikian, dalam hatinya, ia masih tetap berharap Simbad mampu mengatasi persoalan rumit yang tengah dihadapinya seperti hari-hari sebelumnya dalam dua bulan terakhir.
Helvry Sinaga
Mungkin banyak sudah kita melihat foto seperti yang ditunjukkan sebuah majalah berita umum beberapa hari lalu. Pesakitan korupsi Muhammad Nazaruddin tampak semringah, tertawa lebar bersama istrinya yang berkipas-kipas. Di halaman lain terdakwa Djoko Susilo juga tertawa lebar bergaya lari kecil (joging) di antara juru kamera dan foto.
Tentu saja ini bukan panggung teater. Sebagai pelaku ”kejahatan luar biasa”, mereka, sebagaimana umumnya pesakitan/terdakwa korupsi lainnya, tidak memperlihatkan sikap prihatin, menyesal, atau sedih. Mereka senyum dan tertawa seakan memperolok korban (rakyat) yang dicuri hak dan masa depannya, mengejek hukum yang tak cukup berdaya, bahkan lebih dari itu, menikmati ketenaran lebih daripada seorang selebritas atau politikus ternama. Mereka menghina keadilan, tertib sosial, tertib negara, dan—tentu saja—mereka telah menghina diri mereka sendiri.