Benny Arnas
Kehadiran Samin di bawah pohon merbau siang itu hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya makin menggunung.
Sungguh, ketakutan, kebencian, dan trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya kembung. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan, tapi sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.
Dua tahun berikutnya, Badri, adik Mursal, menyusul. Di usia yang sama dengan meninggalnya si kakak, Badri tewas jatuh dari pohon kelapa dengan tubuh terbakar. Ia disambar petir ketika sedang memetik kelapa muda di perkebunan Haji Maulana di siang panas bedengkang. Memang tak ada yang menyangka kalau awan berwarna santan dapat menurunkan hujan dan diterabas petir.
Sejak itu, gairah hidup Samin-Maisarah meredup perlahan-lahan. Kehilangan telah menyadarkan mereka bahwa, seperti kata orang-orang tua dulu, anak adalah bulan purnama di dalam rumah. Kepergian mereka menyebabkan hidup tak ubahnya seperti meraba dalam lorong yang gelap. Saban hujan turun di tengah hari yang kerontang, Maisarah seperti diseret ke labirin kesedihan yang panjang, penuh liukan, dan tentu saja gelap. Samin, mungkin karena sadar posisinya sebagai imam, mencoba menguat-nguatkan diri dan menyalurkan kekuatannya pada Maisarah. Tapi sia-sia, Maisarah seperti tak menganggapnya. Bahkan ketika Samin mengutarakan maksudnya untuk memiliki keturunan lagi, Maisarah muntab.
”Hah, masih sempat pula kau mengurus kenikmatan dunia, Samin?! Lagi pula usiaku hampir empat puluh. Malu! Apa kata orang kampung. Cukuplah kematian Mursal dan Badri memberi pelajaran tentang malu!”
”Mengapa kau bicara seperti itu, Mai? Seperti tak ada adat kau? Tak pernah kau mengaji tentang menghormati suami? Sedih itu diperbolehkan Tuhan, tapi jangan berpanjangan. Begini akibatnya, kau jadi melawan. Lagi pula, aku tak paham ’malu’ macam apa yang kaubicarakan?”
”Hah, berlapis nian kalimatmu, Samin. Yang mana harus kujawab? Kesedihan ini terlanjur hidup dengan malu yang harus ditanggung. Nah, kau malah minta anak lagi!”
Samin melangkah keluar, menutup daun pintu hingga mengeluarkan bunyi yang membuat bahu Maisarah sedikit terangkat. Sejak itu, lorong kehidupan yang mereka lalui bukan hanya gelap, tapi juga sunyi dan menyeramkan.
Ketakterimaan Maisarah atas kematian tragis dua anak bujangnya bukan tanpa alasan. Ia menderita demam lebih dari empat puluh hari usai melahirkan. Dua bulan sebelumnya, Mak Juming, dukun beranak di Jalan Kacung, harus mengurut perut buncitnya hingga ia harus merasakan sakit yang sangat demi mengembalikan bayinya yang sungsang ke posisi normal.
Oh, bila pun harus sesegera itu, batin Maisarah, tidak bisakah Tuhan memilih cara yang tak membubungkan rasa malu. Ya, pada kerabat dan orang-orang yang bertandang ke Ulaksurung saban Ramadan, Lebaran, dan Hari Pasar, bagaimana harus kuceritakan ketika tanpa sengaja mereka menyelipkan pertanyaan:
”Bagaimana ceritanya dua anak bujangmu tu?”
”Benarkah kabar yang beranak-pinak tu; mereka mati di bawah hujan panas?”
”Apa, Mai? Mursal yang lihai berenang tu mati hanyut dan Badri yang suka bermain di pohon jambu di belakang rumah Wak Bidin tu mati disambar petir?”
Tentu saja, Samin pun beroleh pertanyaan yang sama pada beberapa kesempatan yang tak mengenakkan, dan ia menceritakan saja yang sebenarnya. Ia tahan-tahankan saja sebak yang memenuhi dada dan kelopak mata. Baginya, semuanya sudah digariskan Tuhan. Tak ada seorang pun yang ingin ditimpa tangga musibah hingga sedemikian sakitnya. Tapi Tuhan sudah memilih keluarganya sebagai bahan pelajaran. Tentu, pemahaman ini tak datang serta-merta karena mulut kecubung orang-orang kampung mekar dan melebar semaunya. Sejak hubungannya dengan Maisarah menghambar, ia memilih lebih banyak berada di masjid. Ia akan pulang bila perasaan ingin melihat Maisarah bangkit tiba-tiba.
Dua tahun yang lalu, entah iblis dari mana yang menyambangi mereka berdua, di usia yang sudah berkepala lima, Maisarah pikir, Samin tak mampu lagi menuntunnya berjalan di lorong yang gelap.
”Pikirkanlah lagi, Mai,” ujar Samin penuh harap, ”Berita buruk baunya lebih busuk, lebih cepat menyebar dan menyeret perhatian. Bukan hanya orang-orang Ulaksurung, tapi juga Pasarsatelit, Kenanga, Megang Ujung, hingga Batuurip, akan bersorai karena mendapat kue yang sedap untuk dilahap dalam pergunjingan.”
Kata-kata Samin itu seperti bola karet membentur tembok. Maisarah tetap berkeras menginginkan perpisahan. Menurutnya, Samin lebih mementingkan ibadahnya daripada berada di rumah, apalagi bekerja untuk menyambung hidup.
”Aku saja makan dari menjual hasil kebun di simpang Belalau,” ujar Maisarah penuh kemarahan. ”Sudah lima tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdalih kalau sebentar lagi pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah jadi kotoran kerbau baunya. Dari tahun 1970 aku dengar kabar itu di radio. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau membawa-bawa janji palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar, kau tentu makin betah tinggal di masjid karena tak perlu lagi bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!”
Samin menghela napas, tak tahu harus berkata apa.
”Sudahlah!” lanjut Maisarah. ”Nasi yang ditanak sudah mutung. Makin dikais kemudharatan yang akan ditimbulkan perceraian ini, hanya keraknya yang dapat. Makin pahit di lidah, pedas saja di telinga.”
Maka, sejak itu, lorong gelap yang mereka lewati pun bercabang.
Meskipun begitu, sepekan sekali, sepulang dari shalat Jumat, Samin menyempatkan diri mengunjungi Maisarah walaupun perempuan itu tak pernah membukakan pintu untuknya, bila pun pintu itu terbuka, akan sesegera ditutupnya dari dalam. Dalam beberapa kesempatan dan kebetulan, mereka kerap terperangkap dalam hiruk-pikuk keramaian. Namun, Maisarah selalu lihai menghindar. Dalam hati, ia selalu mengutuk hilangnya rasa malu Samin. Sudah bercerai, masih pula merasa halal!
Hingga siang Ramadhan 1993 itu pun tiba.
Di bawah rindangnya pohon merbau, kaki Maisarah seperti diikatkan ke batangnya yang besar. Hujan panas turun bersamaan dengan gemuruh langit yang menakutkan. Sungguh, di saat seperti itu, sebenarnya Maisarah membutuhkan tempat untuk melabuhkan pelukan, ketakutan, kesedihan, dan trauma masa lalu. Dan Tuhan seperti mengabulkan suara hatinya, ketika seorang laki-laki kurus yang memayungkan kepalanya dengan tas tentara berlari ke arahnya. Mereka sama-sama terperanjat begitu menyadari siapa yang ada di hadapan.
”Aku tadi melihatmu di pemakaman umum Lubuksenalang, Mai. Kau menziarahi Mursal dan Badri beberapa saat setelah aku menaburkan bunga tanjung di atas tanah kuburan mereka. Berziarah di ujung bulan puasa memang dianjurkan. Sayang sekali mereka tak bisa berlebaran bersama kita, Mai. O ya, rasanya kita belum bermaafan, kan?”
Maisarah bergeming. Wajahnya kusut. Bibirnya bergetar. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
”Kau kedinginan, Mai?”
Tak ada jawaban.
”Oh, aku baru sadar, ini sedang hujan panas. Kau tentu teringat …”
Maisarah melirik dengan raut muka tak nyaman hingga bekas suaminya itu tak jadi melanjutkan kata-katanya. Maisarah pun melangkah ke balik batang hingga tubuhnya tak lagi tampak oleh Samin.
Samin melangkah mendekat ke arah batang yang kini memisahkan mereka. Di bawah guyuran hujan panas dan gemuruh petir, mereka menyandarkan diri di batang yang sama dengan posisi saling membelakangi. Maisarah menengadah ke kanopi merbau yang sesekali meneteskan air. Tak terasa, sudah hampir dua jam ia melarutkan diri dengan menghitung daun-daun yang jumlahnya ia taksir mengalahkan jumlah hari semasa hidupnya. Bersamaan dengan hujan yang mulai mereda, Maisarah mendengar suara ribut di belakang.
Benar-benar laki-laki tak tahu malu, gerutunya, sibuk berkicau seakan-akan aku masih tulang rusuknya!
Maisarah memutar badan, melongok ke balik batang. Ketika hendak memuntahkan kekesalan kepada Samin, lidahnya kaku.
”Ada apa, Bi? Seperti melihat Izrail saja kau?” tanya Makmun, penjual cendawan keliling, begitu mendapati kedua mata Maisarah seperti hendak keluar. ”Dari tadi kuajak bicara, tak juga menyahut. Kukira Bibi sedang sakit gigi atau demam,” imbuh Makmun dengan sedikit kesal.
”Kenapa kau ikut berteduh di sini? Kau takut hujan panas pula?” tanya Maisarah, ketus.
”Ah, Bibi mengigau!” Makmun mengibaskan tangan kanannya. ”Aku berteduh karena hari panas nian. Bisa-bisa tak penuh puasaku kalau terus dipanggang macam ni. Lagi pula, mana mungkin hujan turun di musim kemarau …”
Maisarah tak berminat mendengarkan kelanjutan kalimat Makmun. Ia tergesa-gesa meninggalkan laki-laki itu dengan dan bunyi gigi bergemerutupan karena kesal. Bagaimana mungkin aku masih memikirkan Samin keparat itu! Ia bukan apa-apa lagi bagiku, bukan! Maisarah mengintip matahari dengan sebelah tangan menudungi mata. Ia mengingat-ingat, esok, lebaran yang keberapakah yang ia lalui seorang diri?
Lubuklinggau, Juli 2013
Kompas, 11 Agustus 2013
Post a Comment