Helvry Sinaga
Mungkin banyak sudah kita melihat foto seperti yang ditunjukkan sebuah majalah berita umum beberapa hari lalu. Pesakitan korupsi Muhammad Nazaruddin tampak semringah, tertawa lebar bersama istrinya yang berkipas-kipas. Di halaman lain terdakwa Djoko Susilo juga tertawa lebar bergaya lari kecil (joging) di antara juru kamera dan foto.

Tentu saja ini bukan panggung teater. Sebagai pelaku ”kejahatan luar biasa”, mereka, sebagaimana umumnya pesakitan/terdakwa korupsi lainnya, tidak memperlihatkan sikap prihatin, menyesal, atau sedih. Mereka senyum dan tertawa seakan memperolok korban (rakyat) yang dicuri hak dan masa depannya, mengejek hukum yang tak cukup berdaya, bahkan lebih dari itu, menikmati ketenaran lebih daripada seorang selebritas atau politikus ternama. Mereka menghina keadilan, tertib sosial, tertib negara, dan—tentu saja—mereka telah menghina diri mereka sendiri.



Apa yang dilakukan para koruptor itu juga terjadi dan dilakukan banyak kalangan di sekitar kita. Siapa yang berdiri menonton di antara khalayak, saat bencana, kebakaran, atau kecelakaan terjadi di depannya? Dia adalah orang yang diam, bahkan meniru atasannya yang korup, dengan mencuri kertas negara atau waktu kerja dengan mengobrol, main kartu, atau cari obyekan di luar. Dia adalah orang yang menghina etika dan aturan kerja, menghina kejujuran, menghina diri sendiri.

Apabila ada sebuah perbuatan yang dilakukan di muka umum, apalagi dalam sebuah siaran televisi nasional, berdebat dengan kata-kata keras, menghina—apalagi melakukan aksi atau serangan fisik, entah itu dengan mengejek kondisi tubuh lawan debat, melemparkan benda atau minuman—tentu saja ia sedang memamerkan kekuatan yang dia anggap sebagai kekuasaan. Lebih dari itu, tentu saja, ia sudah menghina kecerdasan, pikiran sehat atau intelektualitas, bahkan agama jika orang tersebut berasosiasi diri dengan lembaga atau gelar keagamaan.

Mungkin yang cukup lebih parah dari itu adalah apa yang terjadi pada PSSI belakangan ini. Mengundang beberapa tim besar dunia, mereka seperti mendapat perlakuan yang sangat memalukan. Bukan hanya dari sisi permainan yang sangat timpang, melainkan juga jumlah gol yang menakjubkan malunya: 20 gol! Mengapa harus membuat pengeluaran sangat besar hanya untuk memperlihatkan kebodohan, menyetarakan diri secara tidak pantas: mengundang orang dengan biaya rakyat hanya untuk menghina diri sendiri?

Bila ada seorang anak yang sudah cukup umur membunuh ibu kandungnya sendiri dengan menusuk leher dari belakang hanya karena tidak dibelikan telepon genggam; bila ada seorang ayah menyetubuhi anak kandungnya puluhan kali hingga hamil berkali-kali; bila ada seorang remaja SMP menyodomi rekan main di bawah usianya; bila ada seorang ibu membuang bayinya sendiri dengan tas plastik di kebun hingga ia dirubung begitu banyak semut; bila ada koruptor bangga dan dihormati tetangga karena sering menyumbang masjid dan kegiatan sosial, apa sebenarnya yang terjadi kalau bukan mereka melakukan penghinaan secara sengaja pada semua tertib, adat-tradisi, agama, dan akhirnya diri mereka sendiri?

Di tingkat mental dan spiritual apa, di tingkat kecerdasan intelektual mana sebenarnya kita, bangsa ini, berada?

Tiga tsunami budaya
Mungkin, pertanyaan lebih tepat, apa sebenarnya yang sudah terjadi pada bangsa ini, yang belum lagi satu abad usianya? Masih begitu pendek umurnya ketimbang bangsa-bangsa besar lain, tapi telah begitu degil perbuatannya, juga ketidakpedulian yang akut bahkan terhadap harkat dan martabat dirinya sendiri. Mengapa? Tentu ini sebuah pertanyaan yang sangat besar. Saya tak berpretensi memberi jawaban komprehensif, kecuali mengajukan satu persoalan yang mungkin terikut dalam semua persoalan di atas, dalam sebuah terma: nafsu.

Nafsu (dari Arab: nafasan, berarti ’ingin’) adalah sebuah dorongan mental—dapat lemah dapat kuat, bisa positif (konstruktif) begitu pun negatif (destruktif)—untuk dapat meraih, memenangi, atau mencapai satu hal. Dorongan ini sebenarnya hal lumrah dalam diri manusia. Bahkan ia jadi salah satu penanda utama yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Namun, dia menjadi tak lumrah atau luar biasa ketika ia diperdaya atau dieksploitasi pemiliknya sendiri.

Kebudayaan mana pun, termasuk Islam atau suku-suku bangsa di negeri ini, memiliki semacam perangkat (lunak dan keras) agar nafsu tidak terjerembab ke dalam praksis yang destruktif, baik untuk publik maupun diri sendiri. Namun, semua perangkat itu bisa jadi goyah atau hancur apabila seseorang—karena pengaruh situasi internal maupun eksternal—tidak mampu mengendalikan tali kekang nafsu, menjadi kuda liar Mongolia yang sangat sulit dijinakkan.

Apa yang terjadi di negeri ini dalam tiga dekade terakhir, sekurangnya, seperti dapat kita lihat dan rasakan, adalah diserangnya pertahanan kultural (agama, adat, etika, dan hukum) oleh sebuah tsunami kebudayaan yang membonceng atau diboncengkan pada arus besar globalisasi. Hal pertama yang terjadi adalah tsunami logos atau logika yang dirumuskan oleh pemikir-pemikir oksidental sebagai cara/mekanisme berpikir yang positivis- progresif, materialistis, dan pragmatis.

Tsunami itu membentuk akal dan kecerdasan yang menyiapkan karpet merah bagi tsunami kedua: berupa produk-produk logosentrisme ala Renaisans dan Aufklärung, dalam bentuk yang kemudian sistemik, seperti demokrasi, kapitalisme, dan pasar bebas di masa akhir. Hal kedua ini membawa konsekuensi tak terhindar bagi hal ketiga: tsunami psikologis bahkan spiritual, di mana kita didesak, dipaksa (tanpa kita sadari) dan menerima dengan ikhlas sebagai sesuatu yang taken for granted, kondisi mental-spiritual yang akomodatif, permisif, bahkan konsumtif pada produk akhir dari sistem-sistem di atas.

Demokrasi dan kapitalisme, sebagaimana hak asasi manusia atau semua piagam PBB, bukan lagi sebuah ketelanjuran yang kita terima, melainkan telah menjadi (atau kita anggap) prakondisi bagi tegaknya kemanusiaan atau eksistensi kita. Kita adalah pemamah biak yang baik dari semua high-end itu. Tiap hari kita mengonsumsinya di meja makan, di jalanan, di kafe, ruang kantor, istana, hingga tepi sawah dan hutan-hutan desa. Tanpa keluh dan kesah, wajar seperti kita berkeringat dan membuang angin. Keringat dan angin, bahkan darah yang kita kucurkan, hanya untuk imbalan yang kemudian kita tukar dengan tawaran produk yang berganti jenis dan tipe tiap bulan, bahkan tiap minggu itu.

Inilah nafsu yang terjerembab. Nafsu yang bukan kita lagi yang memegang
tali kekangnya, tetapi industri dan korporasi multinasional, oleh negara dan kapitalis adidaya. Kita kehilangan semua perangkat lunak dan perangkat keras yang dapat menahan atau melawan semua itu. Media massa, tontonan, buku, hingga pendidikan dan aktivitas sosial memberi kita acuan, contoh, bahkan fasilitas menggiurkan untuk hanyut dalam tsunami peradaban itu.

Maka, apa yang terjadi dalam paparan pendek di awal tulisan ini, terjadilah. Dengan semua kenyataan itu, kita telah menyerahkan diri bulat-bulat pada sebuah permainan, pada sebuah realitas ilusif dan virtual yang tidak kita kuasai, bahkan tidak kita pahami. Jangankan pedagang kaki lima yang berjuang menyisihkan labanya untuk membeli Blackberry atau TV layar datar, bahkan seorang Presiden pun mungkin tidak mengerti mengapa sebuah kampung Sunni mengusir sesama warganya hanya karena mereka Syiah.

Mungkin Presiden pun tidak mengerti kenapa ia memperoleh penghargaan internasional untuk toleransi; tidak mengerti mengapa negara yang serba salah urus ini masih bisa tumbuh lebih dari 6 persen; bahkan mungkin tidak mengerti mengapa harga cabai hingga jengkol melonjak luar biasa. Ia pun ternyata tidak mengerti mengapa kabar bencana lebih cepat ia terima dari media massa/sosial ketimbang dari aparatus yang ratusan ribu itu.

Air mata tobat
Apa yang terjadi, tampaknya bangsa kita tidak sedang mengikuti zaman, tapi terseret zaman. Seperti pesakitan atau jagoan yang seluruh kekuatan dan kekebalannya berhasil dilumpuhkan. Butir terakhir ini harus saya katakan, semua itu terjadi ketika seorang manusia Indonesia memasuki wilayah psikis dan fisik bernama remaja. Tepatnya setelah ia mengalami sejumlah pendidikan dan mendapat pengaruh demikian rupa dari lingkungan.

Saat ia memasukkan dunia riil, nyatanya nyata, sontak—sadar atau tidak—ia mendapatkan dirinya sudah kecemplung dalam sebuah sistem: semacam sarang laba-laba yang tak memberinya peluang melepaskan diri. Sebagai anak muda ia tidak dapat berbuat bahkan berkata apa-apa, kecuali mengikuti logika dan cara kerja sistem itu hanya agar survive. Lalu berfoya-foya menggadaikan nafsunya jika ia ingin dikenal dan dipandang. Menjadi budak nafsunya untuk memperoleh apa yang disebutnya dengan ”sukses”.

Saya harus tersenyum, karena—tentu—sebagian dari kita menolak konstatasi itu. Namun cobalah tengok ke dalam cermin, dan jujurlah seluruh indera, pikiran, dan hati kita: apa yang terlihat? Air mata! Kita akan menangis melihat diri kita sendiri yang sudah kita zalimi selama ini, yang sudah kita hina sepanjang usia ini.

Sampai bilakah air mata itu bergulir, hingga menjadi arus dan sungai ke samudra air mata-Nya? Dalam bulan suci ini, jadikanlah air mata itu sebagai bekal tobat. Memerangi nafsu adalah memerangi diri sendiri. Itulah jihad terbesar yang kita lakukan dalam puasa, terlebih dalam Ramadhan ini. Dan, berubahlah, mulai dari cara berpikir kita, dengan kembali pada kearifan, perangkat lunak dalam adat, agama dan hukum yang sebenarnya. Perubahan itulah yang akan menghapus air mata kita. Sekaligus mengangkat harkat yang telah kita hina, menuju kejernihan embun di pagi Idul Fitri nanti.

Radhar Panca Dahana
Budayawan
Kompas, 5 Agustus 2013
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment