TERTIDUR
di ruang kuliah bagi mahasiswa sudah hal lumrah. Dua hari yang lalu
saya melihat mahasiswa saya tertidur nyenyak telentang di lantai seperti
sangat kelelahan dan tak menyadari bahwa kuliah sudah dimulai.
Saya terus saja kuliah dengan prinsip
mahasiswa adalah pembelajar yang telah dewasa sehingga jika pilihannya
adalah tidur di ruang kuliah, silakan dengan merdeka memilih hal itu. Meski demikian, saya merasa tertampar
sebagai dosen, rupanya kuliah saya sudah tidak bermakna lagi sehingga
ada pilihan lain yang lebih bermakna: bisa tidur, bisa juga melakukan
aktivitas lain. Sang mahasiswa dibangunkan oleh teman di dekatnya ketika
dalam sela-sela perkuliahan saya mengeluarkan soal untuk kuis
interaktif.
Harapan untuk menjadi bagian dari sastra dunia, sejak beberapa tahun
belakangan, beralih-rupa menjadi keresahan dalam ranah sastra Indonesia.
Banyak sastrawan mengeluh lantaran sulitnya akses untuk penerjemahan
karya-karya mereka ke dalam bahasa asing. Organisasi penerbit lebih
tampak berperan sebagai EO (event organizer) pameran buku ketimbang merancang program-program yang terukur, guna mengantarkan sastra Indonesia ke gerbang sastra dunia.
Begitu juga lembaga pemerintah yang berperan menjalankan kerja
diplomasi kebudayaan, belum menunjukkan perhatian pada sastra, sebagai
bagian dari identitas Indonesia. Satu-dua novel Indonesia telah
diterbitkan oleh penerbit major label di luar negeri, namun diupayakan oleh individu sastrawan yang bersangkutan.
Para sastrawan gelisah, karena tidak maju-maju, tak berpeluang
terseleksi oleh komite juri Nobel sastra, dan merasa tertinggal oleh
tradisi sastra di negara-negara Asia lainnya. Inferioritas semacam ini
cukup membebani
iklim kekaryaan. Seolah-olah, penerjemahan itu satu-satunya jalan guna membuat sastra kita go international.
Muncul kesan, sastra Indonesia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jika
belum tersedia dalam bahasa asing, sehingga upaya menawarkan buku-buku
sastra ke penerbit-penerbit asing adalah
harga mati yang tak mungkin dihindari.
Bagi masyarakat Karo, uis gara (ulos dalam bahasa Batak) telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama berkaitan dengan acara adat,
termasuk upacara pemakaman.
Aktivitas
pekerja di usaha tenun menggunakan alat tenun mesin di Balige, Toba
Samosir, Sumatera Utara. Usaha ini terkena imbas pemadaman listrik
bergilir di Sumatera Utara yang menyebabkan produksi tenun turun.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Bagi masyarakat Karo ulos telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari terutama terkait acara adat termasuk upacara pemakaman.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja
menunjukan contoh cetakan untuk motif tenun uis (ulos) Karo di usaha
tenun menggunakan alat tenun bukan mesin TriasTambun di Kabupaten Tanah
Karo, Sumatera Utara.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Proses menyirat ulos
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Perajin ulos di Meat, Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Sebagai artefak
budaya, ulos mencoba terus beradaptasi dalam titian zaman. Kesetiaan dan
kreativitas petenun menjadi penggerak keberlangsungan ulos. Sebab,
tanpa ulos, tiada pula yang disebut sebagai Batak.Kabut
pagi yang tipis masih membayangi permukaan Danau Toba ketika tiga
petenun muda di Samosir pergi mandi dan mencuci baju. Dina Simbolon
(24), Royani Turnip (19), dan Bunga Nainggolan (18) berjalan beriring
sembari membawa perlengkapan mandi. Hari itu, suplai air pipa di Desa
Lumban Suhi-suhi di Pulau Samosir tak mengalir. Mandi di danau menjadi
solusi praktis.
Sambil mencuci baju, Nani
menyetel lagu di ponselnya. Lagu era 1990-an dari Michael Bolton, ”Said I
Loved You but I Lied”, terdengar di antara suara kecipak air di tepian
danau. Sementara itu, Dina dan Bunga sudah asyik mandi dan berenang di
danau. ”Rencana saya sebenarnya pingin kuliah di fakultas hukum,” kata Nani dengan rona wajah malu-malu.