CATATAN BUDAYA
Berkesenian Itu Sendiri dan Kesepian
Oleh: Gunawan Raharja
...APALAH ARTI — Kesenian, jika terpisah dari masalah sosial (WS Rendra)
Beberapa awak panggung Ketoprak Klana Bakti Budaya mulai membenahi peralatan panggungnya tengah malam itu. Mic yang digantung mulai dirapikan, beberapa gamelan tua ditutupi plastik dan panggung dibersihkan. Para penabuh gamelan yang sebagian besar bukan kru tetap kelompok ini pun sudah bersiap-siap pulang. Ada yang tinggal di Madukismo, dua jam dari kelompok ketoprak yang berlokasi di Desa Kalimati, Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.
Didik dan istrinya, Siwuh, bersiap pulang. Ia memasukkan sejumlah
uang honor sebagai penabuh gamelan dan istrinya yang kadang menjaga loket. Jangan berharap untuk tahu berapa honor para awak panggung ketoprak tobong ini. Tiket pertunjukan seharga lima ribu rupiah selembar dan
malam ini ada tiga puluh tiga penonton. Lima ribu rupiah dikalikan tiga
puluh tiga penonton dibagi enam
puluh awak panggung. Itulah honor pemain dan awaknya. Berapa biaya minimal hidup di Indonesia abad ke-21 ini?
Kami sempat berbincang sambil bertukar nomor telepon. Sesaat sebelum jalan, ia sempat berkata sambil tertawa. ”Seniman berkesenian itu puasnya cuma di rasa Mas. Uang carinya di tempat lain. Kalau ada seniman kaya tapi tidak punya rasa, itu namanya perajin kesenian.” Lalu menstarter sepeda motornya dan bersama istrinya ia berlalu menembus malam.
Kredo
Seniman mengabdikan dirinya pada karya dan merespons pada konteks kekinian yang mengacu pada masalah sosial. Kesenian menjadi pemicu bagi masyarakat untuk memahami persoalan-persoalan dalam masyarakat dengan bahasa nurani dan estetika. Tidak semua persoalan kemasyarakatan dan sosial yang selama ini menjadi bahan diskusi utama dimaknai sebagai informasi yang mudah diterima dan direspons oleh masyarakat. Dalam kondisi kekinian, berbagai problem sosial dan politik saling berkelindan satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Berkesenian adalah cara bagi seniman untuk meneriakkan kata-kata atau membentuk persepsi sebuah persoalan dengan kerangka kreativitas. Pemahaman akan persoalan ditentukan oleh personalitas dan latar belakang keilmuannya. Maka pemaknaan tersebut akan menarik karena sebuah persoalan pasti akan direspons dengan cara yang berbeda.
Berkesenian adalah alat ucap yang mempunyai kesadaran dan konteks tersendiri. Bagi para senimannya, berkesenian menjadi media yang multifungsi. Di satu sisi menjadikan media ekspresi atas responsnya terhadap berbagai gejala dan pergeseran nilai-nilai, sekaligus menjadi media aktualisasi diri. Penelaahan atas respons tersebut membuat dirinya selalu melakukan sikap kritis dan sensitif terhadap berbagai perubahan.
Pemahaman terhadap perubahan tidak selalu sama. Seniman selalu melihat semua persoalan dari sisi yang berbeda. Mereka mempunyai kacamata tersendiri ketika melihat ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Sering kali perbedaan pemahaman dan keinginan untuk menyuarakannya menjadi sikap yang kritis dan memunculkan kritik. Sikap itu sering kali menjadi bentuk baru dari perlawanan terhadap ketidakadilan yang sudah mapan.
Orde Baru adalah masa suram dalam keterbukaan politik. Sikap represif pemerintah terhadap berbagai gerakan perlawanan disikapi dengan berbagai pola kesenian. Maka pada saat itu lahirlah berbagai bentuk kesenian yang memolakan sikap-sikap tersebut. Gerakan tersebut seolah-olah membingkai dinamika baru dalam konteks seni. Maka lahirlah karya-karya yang mewakili berbagai gerakan tersebut, dalam bidang sastra, teater, ataupun seni rupa.
Perlawanan tersebut memunculkan konsekuensi tersendiri bagi para seniman. Pemerintah Orde Baru melihat gerakan itu sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan keamanan. Sehingga berbagai gerakan kesenian yang dianggap bertentangan mendapatkan pengawasan, bahkan pelarangan. Masa Orde Baru adalah saat di mana kesenian mendapatkan perlakuan khusus dari aparat keamanan. Budayawan dan pekerja teater Butet Kartaredjasa mengatakan bahwa sebuah pentas teater harus melewati dua belas meja untuk mendapatkan izin.
Prosesi kesenian selalu berbenturan dengan realitas hidup. Tidak semua seniman mempunyai kemewahan untuk melakukan eksplorasi berkeseniannya dengan total dan ”menisbikan” kebutuhan hidupnya. Bahkan banyak kisah seniman yang harus rela untuk mempertaruhkan semua harta bendanya untuk prinsip kreativitas dan estetika meskipun taruhannya bersitegang dengan keluarga.
Sendiri dan sepi
Kesetiaan pada ide dan pikiran membuat seniman harus melewati proses panjang dalam mengungkapkan bahasa berkeseniannya. Berkontemplasi dalam riuh-rendahnya peradaban, selalu berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan esensial yang tidak pernah selesai. Keanehan seniman bukan sekadar bagian dari gaya hidup, melainkan karena mereka selalu berusaha mencari esensi dari setiap gerak dan napasnya yang nantinya dibahasakan dalam konsep berkeseniannya.
Tidak semua orang akan mengerti bagaimana seorang seniman menghadapi kehidupannya sendiri. Selalu bertanya dan mencari, sampai mereka menemukan ide dan bentuk. Tenggelam dalam mencari itulah yang kemudian membuat seorang seniman seperti menemukan hidupnya sendiri. Kadang-kadang sikap itu membuatnya seolah-olah anti sosial, sulit untuk melakukan interaksi dengan pihak lain, bahkan dengan keluarga sendiri.
Sikap tersebut membuat mereka menjadi ”terpinggirkan”. Seorang seniman seperti mencari dunianya sendiri dan bahkan seperti terasing dari kehidupan riil. Sikap berkesenian dianggap sebuah ketidakwajaran. Mengabdi pada estetika dan kebenaran yang sifatnya personal mungkin juga justru bertentangan dengan kaidah umum. Seorang seniman yang akan menghasilkan karya seperti seorang ibu yang akan melahirkan anaknya. Menjadi sensitif dan susah ditebak maksudnya.
Berkesenian adalah sebuah kerelaan. Rela untuk tidak dipahami dan rela untuk tidak dimengerti. Tidak ada definisi yang tepat untuk mengatakan mengapa seorang seniman rela untuk menghabiskan hidupnya untuk sebuah konsep kesenian yang diyakininya. Dengan mengorbankan nilai riil yang dipahami manusia lainnya sebagai sinyal kebahagiaan. Ada seniman yang rela untuk berpisah dengan keluarganya, menghabiskan banyak uang atas nama kesenian.
Laura H Chaplan dalam Instant Art, Instant Culture: The Unspoken Policy for American Schools (1982) mengatakan bahwa kesenian mempunyai fungsi memberi arti pencerahan bagi masyarakat. Sebuah pencerahan tidak selalu diresepsi dengan tepuk tangan dan penghargaan di atas panggung. Bisa jadi hanya menjadi serpihan daun di atas tanah, yang hancur perlahan tetapi menjadi penyubur bagi bumi.
Kompas, 13 Juli 2014
Post a Comment