Helvry Sinaga

Pada sebuah jalan...
ada barisan penyangga yang melindungi
Pada sebuah jalan...
ada persimpangan yang mengelabui
Pada sebuah jalan...
ada setitik sinar yang berdiri
Pada sebuah jalan
ada kedamaian menghampiri

helvry | jkt, 31.12.2011
Helvry Sinaga
Judul: Di Persimpangan Pantura
Penulis: Tantri Pranash
Link: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/12/11/di-persimpangan-pantura/

Sepertinya tempat itu yang saya perhatikan ketika berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan bis malam. Di sepanjang jalan pantura terdapat warung-warung yang isinya kebanyakan adalah wanita yang digambarkan dalam cerpen ini yaitu bergincu dan berbusana bahu terbuka.

Dalam cerpen ini diceritakan dari sisi perempuan yang menjalani profesi tersebut. Kita tidak tahu apa yang menjadi motifnya namun kebanyakan dikarenakan faktor ekonomi. Menurut tulisan dari artikel ini keadaan tersebut begitu umum di Kabupaten Subang, namun keadaan tersebut sulit untuk ditertibkan dikarenakan mendapat dukungan dari masyarakat.

Dari cerpen ini dapat kita ketahui bahwa keadaan ekonomi para penjaja cinta ini tidak jauh berbeda dengan kita. Mereka juga diliputi banyak masalah, terutama kemiskinan. Pilihan mereka tinggal menjadi seperti itu, atau menjadi buruh tani, atau kasarnya: mati.

Membuat mereka berbalik dari pekerjaannya adalah sesuatu hal yang sulit. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan pendidikan pada ibu muda, dan para wanita di desa untuk mengembangkan diri mereka. Walaupun tidak menuntaskan, tetapi paling tidak akan mengurangi jumlah input ke profesi itu.

Helvry Sinaga
Judul: Lukisan Kematian
Pengarang: Andhy Kh
Kompas, 21 Agustus 2011
sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/21/lukisan-kematian/

Kapan kita mati, kita tak pernah tahu. Dalam cerpen ini ada satu hal yang bisa digali dari pelukis, bahwa ia memimpikan bertemu dengan ibunya. Ia membuat gambaran ibunya dengan melukiskannya di lukisannya. Satu hal yang saya syukuri bahwa saya masih bisa melihat kedua orangtua saya.

Dari segi cerita, menurut saya agak hambar. Terlalu fiksi dan tidak menimbulkan cara berpikir yang logis. Namun satu pesan dari sang pelukis adalah bahwa cara ia mengunjungi pusara bapaknya adalah dengan menggambar lukisannya.

Helvry Sinaga
Judul: “Pakiah” dari Pariangan
Pengarang: Gus tf sakai
Kompas, 28 Agustus 2011
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/28/pakiah-dari-pariangan/

Cerpen yang membingungkan saya. Mungkin karena saya tidak berlatar belakang sumatra barat, jadi agak susah mencerna cerpen Gus tf sakai ini. Bercerita tentang sebuah tradisi silat yang tadinya adalah wibawa kebanggan karena bisa bertarung di sumatra barat, namun berubah menjadi pertunjukan. sebuah pemikiran positif tentang siapa itu pakiah-yang kemudian digambarkan:

Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.

Pakia bukan sekedar bisa bertarung dengan kemampuan silat, tetapi juga menunjukkan keteladan berupa kerendahan hati.

Helvry Sinaga
Judul: Terbukalah
Pengarang: Fransisca Dewi Ria Utari
Kompas, 13 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/07/terbukalah/

Ada suatu bagian dalam hidup yang ditempati oleh pengalaman. Pengalaman itu tidak akan diperoleh atau tidak akan dirasakan bila tidak ada usaha aktif. Bila masa telah berlalu, merenungkan pengalaman entah itu bahagia atau sedih adalah proses kita menuju kebijaksanaan.

Narator menceritakan pengalamannya bersama pria idaman hatinya. Dewi Ria Utari menulis sangat baik pada saat menggambarkan suasana kencan pertama kali mereka di taman.

Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.

Toh ketertarikan narator bukan pada tamannya. Kembali pada siapa manusianya. Tempat hanyalah mediasi kasih disampaikan dan dikomunikasikan. Dan narator merasa perlu mengunjungi taman itu untuk menemukan kembali apa yang hilang dari prianya, yaitu matanya.

sumber: http://jhonrhonda.blogspot.com/2009/11/lelaki-tua-di-bangku-taman.html
Helvry Sinaga
Judul: Hujan yang Indah
Pengarang: Kurnia JR
Kompas, 14 Agustus 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/08/14/hujan-yang-indah/

Setiap orang punya cara unik menikmati hujan. si penulis menggambarkan hujan sebagai berikut:

Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama.


Saya sendiri memaknai hujan tergantung rumah kontrakan. Di Slipi, saya selalu berharap supaaya hujan jngan terlalu lama, sebab atap rumah kontrakan kami bocor. Berkali-kali sudah datang ke pemilik rumah, namun tidak ada tindak lanjut. Sekarang lebih mendingan, walau deg-degan kalau hujan tak berhenti.

Saya hanya membayangkan menyaksikan hujan dari balik ruangan kaca. saya membayangkan melihat titik-titik air mencoba menerobos kaca meninggalkan jejak-jejak air. Atau duduk di beranda rumah menyaksikan tetesan air dan menghujam ke bumi meninggalkan bau tanah yang harum.

Membayangkan terjadinya hujan bagi saya waktu kecil adalah imajinasi unik. Saya membayangkan di atas sana (merujuk pada surga), lantai surga itu dibolongi sebesar paku. Lalu para malaikat menumpahkan air dari ember lewat bolongan tadi. Itulah yang menjadi hujan di bumi.

Bagaimana memaknai hujan, saya tidak seperti pengarang cerpen ini melihat keindahan hujan. Walau terkesan agak berlebihan, kemungkinan ia penggemar hujan. Sebenarnya hujan bisa dinikmati, dan cara menikmatinya itu indah. Saya membayangkan dari teras belakang rumah saya sembari memandang sawah yang hijau dijatuhi air. Batang padi meliuk sesuai arah angin, dan anak gadis di rumah pojok bersegera membawa pakaian di jemuran.

Namun tidak perlu sampai jadi kakek-kakek untuk menceritakan keindahan hujan seperti pada cerpen ini. Justru itu membuat hilangnya keindahan cerpen ini.

Bagaimana dengan Anda?

Helvry Sinaga
Judul: Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
Penulis: Putu Wijaya
Kompas, 17 Juli 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/07/17/bersiap-kecewa-bersedih-tanpa-kata-kata/


Bukanlah sesuatu yang sukar sebenarnya mengucapkan selamat. Bukankah ungkapan positif akan membuat si pemberi dan penerima salam berbahagia? Entahlah kalau masih ada rasa tak rela atau tak tulus, namun pemberian selamat sebenarnya tidak menganggu kita sama sekali.

Putu Wijaya mengutip puisi Goenawan Muhamad "Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi"
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” berikut puisi lengkapnya.

"Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi"
Oleh Goenawan Mohamad

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966

Putu Wijaya cerdas mengemas percakapan antara si pembeli bunga dan penjual bunga. Saya jadi bertanya-tanya apakah ini realita ataukah khayalan? apapun jawabannya saya masih terkagum.


Helvry Sinaga
Judul: Wiro Seledri
Pengarang: GM Sudarta
Kompas, 10 Juli 2011
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/07/10/wiro-seledri/


"Wariskanlah cerita masa lalu pada kami, agar kami bijaksana memaknai hidup kami."

Mbah Wiro menceritakan dimana pasukan berbaju hijau adalah sesuatu kekuasaan yang otoriter di masa lalu. Tidak ada kompromi. Sebuah isu dicuatkan untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintahan. Rasa kemanusiaan seharusnya terusik, tetapi kebanyakan orangpun diam. Takut. Takut suatu saat dialah yang akan menjadi korban selanjutnya.

Bila boleh menggunakan istilah kejam, maka saya memakainya untuk menyatakan tindakan aparat zaman dulu. Dampak-dampaknya sangat luar biasa. Perampasan kemerdekaan individu sebagai warga negara, relasi sosial rusak akibat prasangka, kemiskinan akibat kehilangan pekerjaan dan harta benda. Apakah itu semua disadari atau disesali oleh pemerintah masa lalu?

Apakah tindakan bunuh diri Mbah Wiro itu dapat diterima atau tidak itu tidak perlu dipermasalahkan. Yang menjadi permasalahan adalah penyebabnya. Kenapa itu bisa terjadi, dan sepantasnya siapa yang bertanggung jawab?

Mungkin yang agak kurang dalam cerpen ini penyampaiannya yang terlalu lugas. Tidak banyak berpikir untuk menerjemahkan kalimat-kalimatnya.


Helvry Sinaga
Judul: Biografi Kunang-kunang
Penulis: Sungging Raga
Kompas, 3 Juli 2011
sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/07/03/biografi-kunang-kunang/


Saya termasuk terlambat melihat kunang-kunang. Di asrama tempat tinggal saya kecil, tidak pernah sekalipun saya melihat kunang-kunang. Dengan malu saya katakan bahwa kunang-kunang dengan jelas saya lihat baru di tahun 2011, di perkemahan Curug Cilember, Bogor.

Cuma dari dulu saya pernah baca dari Bobo, kalau ada mitos orang meninggal akan jadi kunang-kunang. Entah seperti apa rupanya, yang jelas saya memang saat itu kurang percaya. Cerita ini sebenarnya sedikit lagi berhasil memancing emosi pembaca, jika saja tidak dibuka identitas siapakah narator. Pembukaan jati diri sang ibu yang diungkap pada akhir cerita ini, membuat cerita ini kehilangan gregetannya. Padahal pembukaan hingga ke tengah, narator berhasil mengusik saya dengan betapa sedihnya ketika ia tidak memiliki pemeran ibu dalam hidupnya.

Yaahh..saya juga berharap dapat bertemu kunang-kunang lagi...




Helvry Sinaga
Judul: Payung
Penulis: Veridiana
Kompas, 26 Juni 2011

sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/06/26/payung/

Saya baru tahu istilah ojek payung setelah bermukim di Jakarta. Sebelumnya saya pernah mendengar cerita dimana ada ibu yang memiliki dua orang anak. Ia selalu resah bila hari hujan, maka anakny yang pegang payung akan menyewakan payungnya, sementara anak satunya yang berjualan es krim tidak akan laku. Demikian juga sebaliknya, ketika hari panas, anaknya yang berjualan es krim saja yang mendapat rezeki, sementara yang menyewakan payung tidak ada.

Cerpen ini menggambarkan mimpi seorang anak kecil yang berkeinginan untuk memiliki lebih dari satu payung. Payung sebagai simbol pencari rezeki. Sungguh kasihan melihat anak-anak seusia muda sekali sudah memikirkan betapa beratnya hidup. Ia terlalu cepat untuk mengetahui kejamnya dunia.

Lewat cerita ini, paling tidak saya bisa bersyukur. Tuhan memelihara orang tua dan lewat pendidikan. Suatu saat ketika saya melihat ojek payung menawarkan jasa payungnya, saya akan tahu mimpi anak-anak pengojek payung.