Helvry Sinaga

Penulis : Uli Kozok
ISBN : 978-979-461-776-2
Dimensi : 14 x 21 cm
Jenis Cover : soft cover
Berat Buku : 210
Jenis Kertas : Book Paper
219 halaman
Harga Rp50.000,-

Masih dalam rangkaian membaca bersama tentang Sumatra, buku ini saya beli ketika acara bedah buku Sumatra Tempo Doeloe yang diselenggarakan di Kantor Berita Antara. Membaca kata pengantar buku ini cukup menarik, sebab buku ini diterbitkan, ternyata sudah dilakukan seminar di Universitas Negeri Medan tentang kesahihan bukti-bukti yang diungkap oleh Uli Kozok. Salah satu yang mempertanyakan keaslian naskah yang menjadi bukti Kozok adalah Profesor Bungaran Simanjuntak, namun Kozok berhasil mendapatkan arsip itu dan menjadi lampiran buku ini.



Buku ini menjadi menarik karena mengungkap kembali yang selama ini terhilang dalam pelajaran sejarah tentang awal mula masuknya Kristen di tanah batak. Jan S Aritonang telah menulis disertasi yang berjudul THE ENCOUNTER OF THE BATAK PEOPLE WITH RHEINISCHE MISSIONS-GESELLSCHAFT IN THE FIELD OF EDUCATION (1861-1940) di Universiteit Utrecht. Disertasi ini mengkritisi bagaimana tujuan evangelisasi dan teologi yang dilakukan oleh Badan Zending pada masa itu di tanah batak, namun belum membuka dokumen surat menyurat misionaris yang bertugas di tanah batak.

Masuknya Kristen di tanah Sisingamangaraja adalah akibat dari kolonialisme dan zending itu sendiri. Para misionaris yang dikirim ke sana adalah orang-orang yang sudah persiapan penuh dengan bekal teologi dan ideologi. Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG), adalah sebuah organisasi zending yang bertempat di tepi sungai Rhein berpusat di Jerman. RMG memulai pekerjaannya di Indonesia adalah di Kalimantan. Di bawah pimpinan Fabri, awalnya dikirim misionaris dari Kalimantan ke tanah batak. Kemudian misionaris lain dari Jerman bergabung dengan rekan-rekan yang sudah ada di sana.

Salah satu misionaris yang dianggap menjadi rasul atau apostelnya orang batak adalah Ludwig Ingwer Nommensen. Nommensen menjadi pimpinan tertinggi pertama di Huria Kristen Batak Protestan. Nommensen dapat diterima oleh Orang Batak, sebab ia telah mempelajari adat-istiadat batak, serta menggunakan ajaran kristiani ala batak itu sendiri. Semasa bertugas, Nommensen bersama penginjil lain diwajibkan melaporkan kegiatan mereka ke kantor mereka di Jerman. Laporan-laporan mereka itu kemudian dipublikasikan dalam sebuah majalah setiap bulan, yang dinamakan Berichte der Rheinische Missions Gesselschaft (BRMG). Arsip tulisan Nommensen beserta penginjil lain itulah yang diteliti oleh Kozok yang menyimpulkan bahwa para misionaris sepakat supaya Sisingamangaraja XII adalah musuh bersama penginjilan dan pemerintah kolonial Belanda.

Hal ini cukup mengejutkan, dimana Nommensen dianggap Pausnya orang batak, sementara Sisingamangaraja adalah pahlawan orang batak yang menentang Belanda menguasai tanah batak. Uli Kozok memaparkan bahwa alasan serta konteks yang terjadi saat itu. Pertama adalah mengenai teologi dan ideologi yang dibawa oleh misionaris Jerman. Sebelum berangkat ke daerah-daerah yang menjadi penempatan para misionaris, mereka dididik dengan oleh Dr Friedrich Fabri dan Ludwig von Rohden

Sejarah masuknya Injil di tanah batak dimulai sejak 1840. Franz Wilhelm Junghuhn (Jerman) mula-mula merintis jalan ke tanah batak. Ia adalah seorang ahli botani dan pekerjaannya adalah meneliti tanah batak, iklim, kesuburan tanah, membuat peta, dan mencari informasi tentang kebudayaan, adat dan pemerintahan di tanah batak. Hasil penelitiannya ia tulis dalam dua jilid buku, Die Battalander auf Sumatra. Rekomendasi yang ia berikan antara lain agar Belanda jangan mengangkat seorang Batak menjadi kepala pemerintahan, karena hal itu akan dimanfaatkan untuk memberontak melawan Belanda(h.26). Junghunn sebenarnya adalah seorang yang antiKristen, namun ia menyadari bahwa perkenalan orang batak dengan Kristen akan membendung pengaruh Islam di tanah batak. Sebab saat itu, bercermin pada Aceh dan Sumatra Barat, Islam dianggap pemberontak Belanda.

Laporan Junghunn menarik perhatian Pieter Johannes Veth, seorang guru besar di Leiden dan dewan pimpinan Nederlands Bijbelgenootschap (NBG). NBG memutuskan untuk melakukan penginjilan kepada orang Batak. Persiapan dilakukan antara lain melakukan penerjemahan Kitab Injil ke bahasa batak. Orang yang berperan pada bidang ini adalah Herman Neubroner van der Tuuk. Walau van der Tuuk seorang ateis, kesimpulannya sama dengan Junghunn.

Orang yang pertama kali berinisiatif mengirimkan misionaris ke Tanah batak adalah Hermanus Willem Witteveen. Ia "menitip" Van Asselt, di seminari Persatuan Pendukung Zending Perempuan Amsterdam. Pada 1856, Van Asselt kemudian ditugaskan sebagai administrator perkebunan kopi di Sipirok sambil mengabarkan Injil. Selanjutnya, pada 1859 Witteveen mengirimkan tiga orang pemuda lagi untuk mendukung Van Asselt. ketiga pemuda itu ialah Friedrich Wilhelm Betz, J.G. Dammerboer dan J.Ph.D. Koster. Keempat orang ini bertugas di daerah Angkola dan Sipirok, namun dilarang oleh pemerintah kolonial sebab pemerintah belum berniat menguasai tanah batak yang merdeka itu.

Situasi berubah ketika RMG mengalami peristiwa dimana penginjil yang bertugas di kalimantan mati terbunuh karena perang Banjar. Direktur RMG saat itu Friedrich Fabri mengunjungi Amsterdam untuk menjajaki kemungkinan penginjil RMG bergabung dengan penginjil Belanda. Akhirnya diputuskan Van Asselt, Betz, dan Dammerboer (tidak disebutkan Koster kemana), diambil alih oleh RMG. Ketiga orang itu bergabung dengan penginjil RMG dari Kalimantan (Karl Klammer, Carl Wilhelm Heine, dan Ernst Ludwig Deniniger). Pada tanggal 7 Oktober 1861, Van Asselts, Betz, Heine dan Klammer membicarakan kelanjutan penginjilan di tanah batak. Tanggal tersebut menjadi hari lahirnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Selanjutnya Kozok menguraikan tentang RMG serta bagaimana teologi dan ideologi yang diajarkan di seminari mereka. Dua orang teolog yang menjadi guru para misionaris sebelum ditugaskan adalah F. FAbri dan G.L. Rohden. Kozok memaparkan sejumlah konteks pada masa itu dimana masa itu Bangsa Eropa muncul suatu anggapan atau pembenaran atas suatu praktik kolonialisme bahwa penjajahan dapat dibenarkan sebagai tindakan untuk membantu kaum terjajah mencapai peradaban yang lebih tinggi (h.51). Demikian juga dalam hal teologi. Fabri berpendapat bahwa para penginjil perlu mendukung pihak penjajah, sementara pemerintah kolonial diharapkan membantu para penginjil menaklukkan daerah penginjilan untuk mencapai keadaan politik yang stabil (h.68). Inilah yang mendasari kolonialisme dan penginjilan. Fabri pun akhirnya meninggalkan RMG untuk bergabung dengan kolonialisme Jerman.

Sekitar Tahun 1878, pecah perang Toba I, dimana Belanda menganeksasi Silindung dan Toba. Pada masa perang itu, masuklah nama-nama seperti Johannsen, Metzler, Mohri, Nommensen, Puse, dan Simoneit. Mereka berenam adalah alumni dai seminari BRMG di Barmen. Mereka berenam pertama kali menginjak tanah batak, berusia 26-32 tahun, dan mereka semua belum kawin (h.37).

Surat dari Nommensen kepada BRMG 1878 (12): 361-381, diceritakan bagaimana kondisi tanah batak saat itu seperti penyakit yang menyerang, adat istiadat, dan terutama soal perang. Nommensen mencatat bahwa utusan Singamangaraja ke Silindung mengumumkan di pasar-pasar bahwa Singamangaraja akan datang bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang Eropa dan orang Kristen. Rencana itu tampaknya serius karena ditambah dengan desas desus bahwa sekumpulan orang Aceh sudah memasuki Toba. Karena itu diturunkan kekuatan militer. Nommensen menceritakan bahwa pasukan berhasil menghalau pasukan Batak dan membakar kampung-kampung:
Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang berusaha memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari atas kami bisa melihat kejadian di kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut. Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera. Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.

Tulisan Nommensen ini masih tersimpan dalam arsip RMG (sekarang menjadi VRM) di Barmen, Wuppertal. Uli Kozok memberi perhatian khusus pada arsip RMG ini dan memjadikannya buku ini. Ia membuat blog khusus yang berisikan beberapa bagian buku ini yang sudah dipilah-pilah berdasarkan temanya. Kelemahan buku ini adalah kurang lengkapnya catatan kaki yang seharusnya membuat pembaca paham akan konteks peristiwa yang terjadi di masa itu. Namun syukurnya di blog tersebut lumayan lengkap.

Keunggulan buku ini adalah ditulis oleh orang yang paham sekali dengan adat istiadat batak serta ia seorang Jerman. baginya tentu tidak sulit memahami surat Nommensen yang berbahasa Jerman serta mengaitkannya dengan dokumen-dokumen lain yang berbahasa Jerman. Peminatannya pada batak dan melayu dapat dilihat dari tulisan-tulisan beliau di daftar berikut ini. Ini mungkin salah satu kelemahan di orang batak, yang masih sedikit berminat pada penelusuran sejarah batak dengan menggali bahan-bahan tertulis yang tersedia dalam bahasa asing (seperti Jerman dan Belanda).

Seperti yang dikatakan Uli Kozok dalam pengantarnya sesuai dengan perkembangan zaman, penilaian terhadap tokoh-tokoh sejarah bisa saja terjadi dan hal tersebut adalah lumrah. Maka, pembentukan pengetahuan sejarah lewat pengungkapan sumber sejarah baru akan memaknai kembali peristiwa yang lalu dengan perspektif baru, setidaknya bagi saya.

@hws10042011


Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment