Helvry Sinaga
Kuda Troya Cerpen
Binhad Nurrohmat

Sejak lama diyakini banyak orang, sekurangnya oleh pakar komunikasi Marshall McLuhan, bahwa media merupakan pesan itu sendiri (medium is the message). Keyakinan ini memendam nalar atau dimensi politik tersembunyi atau terang-terangan yang terselenggara juga dalam penciptaan karya seni.

Seekor kuda mati atau sebuah kloset yang dipajang di galeri seni rupa tak lagi sekadar bangkai hewan atau tempat membuang kotoran, tetapi berubah menjadi sebuah karya seni. Galeri seni rupa membuat kehadiran bangkai kuda dan kloset melampaui batas wujudnya. Konstelasi antara media dan kehadiran obyek di dalamnya menciptakan atau membentuk pemaknaan, persepsi, atau intensionalitas tertentu.

Koran merupakan media pengabar berita, peristiwa faktual, terutama fakta-fakta terkait kepentingan khalayak luas. Lantas, apa gerangan makna signifikan kehadiran cerpen di koran?


Dogma kefiksian

Cerpen dipandang atau diposisikan sebagai karya fiksi meski di dalamnya mengandung fakta atau peristiwa faktual. Status cerpen sebagai karya fiksi menjadi dogma yang digdaya. Sekurangnya, klaim kefiksian cerpen memiliki legitimasi formal, misalnya atas nama kebebasan imajinasi, seni, atau estetika. Klaim kefiksian kerap menjadi perisai atas tuntutan atau sanksi hukum resmi terhadap karya seni seperti yang dialami oleh cerpen ”Langit Makin Mendung” karya Ki Panji Kusmin yang dituduh menista agama. Tuduhan ini membuat HB Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah yang memuat cerpen itu duduk di kursi terdakwa di sidang pengadilan untuk mempertanggungjawabkan ”kesalahan” cerpen itu. Kefiksian kerap dijadikan sejenis siasat atau klaim untuk mengartikulasikan ”ide yang riskan”.

Cerpenis Seno Gumira Ajidarma memanfaatkan dogma kefiksian dan sekaligus melancarkan pelabrakan terhadap dogma itu melalui sejumlah cerpen politiknya yang muncul di banyak koran pada masa kekuasaan rezim Orde Baru (dan yang kemudian terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Saksi Mata).

”Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara,” demikian kredo Seno. Kredo ini merupakan ”perjudian eksistensi cerpen” yang ditempuh oleh Seno ketika kebebasan berbicara diwaspadai dan disensor oleh kekuasaan. Seno memberi cerpen suatu beban sehingga cerpen tak lagi sebatas sebagai karya fiksi; dan sekaligus menyusupkan ke dalam cerpen suatu daya tertentu, yaitu penyampai fakta terselubung yang riskan secara politik. Upaya penyusupan itu bernilai politik. Seno memenangi perjudian menghadapi dogma kefiksian cerpen. Perjudian itu bahkan kemudian menjadi sejenis perjuangan, ijtihad, bahkan ”perang suci” cerpen menghadapi dogma kefiksian cerpen.

Sesungguhnya ”politik ganda” dilakukan oleh Seno melalui cerpen-cerpen politiknya: ia tak hanya lebih banyak menyiarkan cerpen-cerpennya di koran (dan bukan di majalah sastra), ia juga menyusupkan fakta-fakta politik ke dalam cerpennya. Lain kata, Seno mengoplos fakta dan fiksi, membaurkan berita dan cerita. Ada batas yang retak lantaran upaya ini sehingga fakta merembes ke dalam fiksi dan juga sebaliknya. Cerpen Seno ”membocorkan” fakta ke dalam karya fiksi, mengecohkan status berita dan cerita.

Upaya Seno itu mengingatkan kepada kisah Perang Troya dalam karya Homerus. Homerus menuliskan peristiwa tentara Yunani yang berhasil menembus benteng pertahanan kota Troya tanpa merobohkannya, yaitu dengan mengirimkan ke kota Troya patung kayu kuda raksasa yang di dalam perutnya berisi para tentara Yunani. Patung kuda kayu raksasa itu dianggap bukan sebagai bahaya oleh penguasa Troya karena patung itu merupakan bentuk persembahan kepada Dewa Poseidon sehingga patung itu tak dilarang memasuki kota Troya. Setelah patung kuda kayu raksasa itu memasuki Troya, tentara Yunani berhamburan dari dalam perut patung kuda kayu raksasa itu dan dapat merebut kota Troya.

Melampaui fakta

”Kuda Troya cerpen” tak sebatas bisa meraih sesuatu yang dapat dilakukan oleh cerpen-cerpen politik Seno. Pasalnya, ketika jurnalisme menyampaikan fakta dan cerpen melakukan yang serupa, lantas apa perbedaan di antara keduanya?

Cerpen di koran semestinya bisa menghadirkan fakta yang mampu merebut dan mencetuskan makna simbolik baru dari fakta atau melampaui yang sebatas fakta serupa patung kuda kayu raksasa dalam Perang Troya yang bukan sekadar patung kuda kayu belaka. Fakta-fakta di dalam cerpen semestinya bisa berubah menjelma ”tentara-tentara makna” yang menembus benteng pertahanan keman- dekan atau kebekuan makna fakta dan mampu membangun kesimbolikannya.

AA Navis menulis cerpen Robohnya Surau Kami yang bukan hanya menjadi sebuah kisah, melainkan juga menjelma simbol pergolakan keras antara pemikiran ketuhanan dan sekularitas. Dalam genre prosa lain, novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli menjadi simbol kawin paksa dalam masyarakat tradisional, novel-novel George Orwell menjelma gambaran kekuasaan otoritarian, dan novel karya Daniel Devoe Robinson Crusoe melambangkan keterasingan manusia. Simbol-simbol yang muncul dari karya fiksi ini menjadi artikulasi atau ekspresi baru sehingga kefiksian memberikan sumbangan khazanah bahasa simbolik dalam kehidupan nyata.

Kesimbolikan melantari cerpen bisa melampaui fakta, bukan pengingkaran terhadapnya, melainkan menciptakan makna simbolik baru atas fakta. Kesimbolikan membuat cerpen di koran memiliki makna tersendiri ketika hadir di media yang tugas utamanya menyampaikan fakta-fakta sebagaimana patung kuda kayu raksasa dalam Perang Troya yang kini tak hanya menjadi kisah tentang patung kuda kayu raksasa pada masa lampau di kota Troya, tetapi telah menjadi simbol untuk mengekspresikan suatu keadaan atau peristiwa nyata tertentu pada masa kini dan di mana saja.

Politik simbol memungkinkan fakta apa pun yang di-cerpen-kan tak berhenti sebagai fiksionalisasi terhadap fakta belaka atau semata menjadi kisah imajinatif. Politik simbol akan dapat menempatkan dan mengukuhkan eksistensi dan makna kefiksian cerpen yang hadir di media massa pengabar fakta. Secara berlebihan bisa dikatakan bahwa melalui politik simbol, fakta yang diangkat ke dalam cerpen akan naik atau lebih tinggi level pemaknaannya.

Binhad Nurrohmat, Penyair

Kompas, 1 Juli 2012


0 Responses

Post a Comment