KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Upaya memanusiakan dan
mengangkat martabat orang miskin tak cukup dengan khotbah di gereja.
Charles Patrick Edward Burrows OMI atau Romo Carolus (70) membumikan
teologi inklusif dengan karya pastoral secara nyata di tengah masyarakat
miskin dan termiskin selama 38 tahun lebih. Maria Hartiningsih
Romo Carolus menyampaikan keutamaan spiritualitas untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin tanpa memandang latar belakang agama, suku, etnis, gender, atau apa pun.
”Mereka adalah saudara saya, apa pun latar belakangnya. Lewat mereka saya bertemu Tuhan,” ujarnya, ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya mau fokus mencintai, bukan sesama Katolik, tetapi sesama manusia.”
Romo Carolus bersama Ahmad Bahruddin (47) dari Salatiga, Jawa Tengah, pendiri Paguyuban Serikat Petani Qoryah Thayyibah, pendiri serta pengasuh Kelompok Belajar Qoryah Thayyibah, dianugerahi Maarif Award for Humanity 2012.
Penghargaan yang diprakarsai Maarif Institute sejak tahun 2007 itu terfokus pada inisiatif-inisiatif pemimpin nonformal di tingkat lokal yang secara nyata dan konsisten berkarya untuk sesama dalam semangat kebinekaan, keterbukaan, dan kebersamaan.
Tak di ruang kosong
Karya kemanusiaan Romo Carolus tidak tumbuh di ruang kosong, tetapi dibentuk oleh konteks sosio-antropologis masyarakatnya. Di situ, keberagaman menjadi inspirasi dan kekuatan bersama untuk perubahan sosial masyarakat.
Agama lalu menjadi sumber pembebasan dan pemuliaan martabat manusia dan kemanusiaan tanpa sekat. Kesadaran praksis iman dikuatkan oleh penderitaan mereka yang tertindas.
Ia memulai semuanya ketika ditugasi kongregasinya, Oblate Maria Immaculata (OMI), ke Cilacap tahun 1973.
”Tugas saya pertama, disuruh naik speedboat… saya muncul di Kampung Laut, yang penduduknya sangat miskin…. Maaf, waktu itu di situ banyak warganya dianggap simpatisan partai terlarang, dan Pemerintah Soeharto tidak mau mengurus mereka.”
Di desa terpencil itu, ia menyaksikan banyak orang sakit mata sampai matanya tertutup nanah. ”Saya bawa salep mata, mengobati mereka.”
Kelak, foto Romo Carolus yang sedang mengoleskan obat mata pada seorang anak itu tersebar dengan tuduhan pembaptisan. Kabar burung merebak, ada romo asing yang hendak mengkristenkan penduduk Kampung Laut.
Namun, Romo Carolus terus bekerja, memecahkan persoalan sanitasi dan kesehatan lingkungan, perbaikan gizi keluarga, mengembangkan program padat karya pembuatan infrastruktur jalan dan jembatan untuk memutus isolasi warga, serta pemberdayaan ekonomi keluarga dan pendidikan.
Masih 20 persen
Meski karya kemanusiaannya telah membuktikan ketulusannya, tuduhan itu tetap hidup. Namun, ia hanya mengatakan, ”Saya saja masih 20 persen Katolik, bagaimana mau mengkristenkan orang lain?”
Maksudnya?
Sebagai orang Kristiani, kalau pipi kanan ditampar, berikan pipi kiri. Sedangkan saya masih... hhhmmm saya bukan petinju yang jelek.... So, saya belum bisa menguasai diri dalam setiap situasi. Saya juga harus lembut dan rendah hati. Siapa pun di Cilacap kalau ditanya apakah saya seperti itu, mereka akan tertawa ha-ha-ha. Saya juga harus berani mati demi kasih pada sesama. So... baru berapa persen kekatolikan saya?
Anda bekerja dengan semua pihak, merangkul semua pihak.
Setiap orang membutuhkan pengakuan. Kalau kita mengakuinya, maka kebutuhan batinnya terisi dengan merasa pantas dicintai, merasa berharga, merasa berbuat yang pantas dihargai. Semakin kita melindungi kebebasan orang lain, semakin kita merasakan kebebasan kita terjamin dan melibatkan orang lain. Jadi aspek sosial kemanusiaan kita terisi. Setiap orang bertanggung jawab atas diri sendiri karena saya tak bisa membuat orang lain pantas dicintai. Setiap orang harus membuat dirinya pantas dicintai dengan perbuatannya, dengan welas asih-nya terhadap sesama.
Bagaimana Anda memandang manusia lain?
Saya memandangnya sebagai sesama manusia, kemanusiaannya. Saya yakin, tidak ada manusia jahat, yang ada perbuatan jahat. Manusia adalah ciptaan Tuhan, dengan demikian, ia baik adanya.
Jadi semua baik adanya?
Ada pepatah, ”There is a little bit of bad in the best of us, and a little bit of good in the worst of us. So none of us, bad or good, have any right to say anything about any of us”. Saya yakin, kalau kita memperlakukan orang dengan baik, kita juga akan diperlakukan dengan baik. Juga jangan takut, lalu paranoia, itu merugikan dan mengganggu kita berelasi dengan sesama.
Bagaimana Anda mendefinisikan musuh?
Waktu saya berumur 14 tahun, ayah saya membaca buku Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man. Ayah lalu menjelaskan pada saya tentang evolusi. Sejak itu saya meyakini evolusi, bukan revolusi. Kalau evolusi kita menghargai semua yang sudah dikerjakan orang lain. Evolusi itu mensyukuri, revolusi merombak, lalu menciptakan musuh.
Saya sering bilang, musuh saya satu, namanya Charlie, diri sendiri. Nama saya Charlie Carolus. Jihad bagi saya artinya menguasai diri sendiri. Itu lebih sulit. Saya harus terus belajar menguasai diri sendiri, bukan orang lain.
Mengejar cita-cita
Sejak kecil Romo Carolus mendengar banyak biarawan dari Irlandia yang bekerja di Afrika untuk anak-anak yang berkekurangan segala-galanya. ”Saya tidak terpikir menikah, karena kalau punya istri dan anak, saya harus fokus pada mereka, padahal saya ingin melayani dan bekerja untuk banyak orang.”
Kehidupan masa kecil Charlie cukup sulit. Ia mulai ikut bertanggung jawab atas kehidupan keluarga sejak usia sembilan tahun karena ayahnya sakit. Pada usia 14 tahun ia mulai belajar bekerja dan beternak. Selepas sekolah, ia membaca banyak buku di perpustakaan, mulai peternakan, arsitektur, sampai cara mengaduk semen.
Perjalanan hidup itu mengasah spiritualitasnya. Ia selalu mengingatkan bahwa cara terbaik menjalani kehidupan adalah bersyukur. ”Bukan kekayaan materi yang membahagiakan, tetapi kekayaan kasih....”
Melalui Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), ia membangun 5 TK, 2 SD, 8 SMP, 3 SMA, dan 1 Akademi Maritim. Ia percaya, ”Pendidikan adalah hak semua anak. Pendidikan membebaskan orang dari kemiskinan dan kebodohan.”
Di sekolah Yos Sudarso yang didirikan YSBS, murid mendapat pelajaran agama sesuai agama orangtua, jauh sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterapkan.
Ia membantu perbaikan mushala, memberdayakan perekonomian warga, khususnya kaum perempuan, dengan berbagai pola, termasuk usaha bersama, credit union, dan tanggung renteng.
Seminggu sekali Romo yang menolak hukuman mati itu mempersembahkan Ekaristi di salah satu Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan, yang penghuninya menunggu eksekusi hukuman mati. Lima tahun terakhir, ia memberi perhatian pada penghijauan kembali lahan gundul dengan pohon-pohon spesies lokal di pulau seluas 22.000 hektar itu sambil memberdayakan masyarakat setempat.
”Misionaris sejati”
Romo yang resmi menjadi WNI tahun 1983 itu pulang kampung sekali tiga tahun untuk menengok keluarganya Ia selalu rindu tanah airnya, tetapi, ”Di sana saya tidak laku. Di sini banyak yang bisa saya buat.”
Ia punya sekitar 50 truk yang mendukung kegiatannya. Pernah suatu saat umat terganggu karena truk yang rusak diparkir di halaman pastoran untuk diperbaiki. ”Montirnya bilang, truk ini misionaris sejati. Mereka membawa kabar gembira bagi sesama manusia, membawa batu, buat jalan, rakyat senang. Kalau ada bencana, truk ini berangkat membawa tenda, makanan, dan lain-lain,” kata Romo.
Hubungannya dengan para tokoh lintas agama semakin intens ketika ia harus mendistribusikan 27.000 ton beras bantuan ke Jawa Tengah melalui Interfaith Committee saat krisis ekonomi tahun 1998-2000. Ia menggandeng tokoh-tokoh dan aktivis Muslim di berbagai kabupaten. ”Kami ke pesantren, diterima duduk di lantai, ngobrol, merencanakan program, lalu mulai kerukunan umat beragama, sampai sekarang.”
Bagi Anda, hidup ini apa?
Hidup dan freedom… freedom for. Kita diberi kebebasan dan memanfaatkan kebebasan itu untuk mewujudkan rencana indah Yang Maha Kuasa, yakni dunia di mana semua manusia hidup rukun, tulus, dan saling mengasihi. Domba duduk dengan singa, ular beludak dengan anak kecil; suatu dunia yang harmonis. Saya optimistis....
Sumber: Kompas, 15 Juli 2012
Romo Carolus menyampaikan keutamaan spiritualitas untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin tanpa memandang latar belakang agama, suku, etnis, gender, atau apa pun.
”Mereka adalah saudara saya, apa pun latar belakangnya. Lewat mereka saya bertemu Tuhan,” ujarnya, ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya mau fokus mencintai, bukan sesama Katolik, tetapi sesama manusia.”
Romo Carolus bersama Ahmad Bahruddin (47) dari Salatiga, Jawa Tengah, pendiri Paguyuban Serikat Petani Qoryah Thayyibah, pendiri serta pengasuh Kelompok Belajar Qoryah Thayyibah, dianugerahi Maarif Award for Humanity 2012.
Penghargaan yang diprakarsai Maarif Institute sejak tahun 2007 itu terfokus pada inisiatif-inisiatif pemimpin nonformal di tingkat lokal yang secara nyata dan konsisten berkarya untuk sesama dalam semangat kebinekaan, keterbukaan, dan kebersamaan.
Tak di ruang kosong
Karya kemanusiaan Romo Carolus tidak tumbuh di ruang kosong, tetapi dibentuk oleh konteks sosio-antropologis masyarakatnya. Di situ, keberagaman menjadi inspirasi dan kekuatan bersama untuk perubahan sosial masyarakat.
Agama lalu menjadi sumber pembebasan dan pemuliaan martabat manusia dan kemanusiaan tanpa sekat. Kesadaran praksis iman dikuatkan oleh penderitaan mereka yang tertindas.
Ia memulai semuanya ketika ditugasi kongregasinya, Oblate Maria Immaculata (OMI), ke Cilacap tahun 1973.
”Tugas saya pertama, disuruh naik speedboat… saya muncul di Kampung Laut, yang penduduknya sangat miskin…. Maaf, waktu itu di situ banyak warganya dianggap simpatisan partai terlarang, dan Pemerintah Soeharto tidak mau mengurus mereka.”
Di desa terpencil itu, ia menyaksikan banyak orang sakit mata sampai matanya tertutup nanah. ”Saya bawa salep mata, mengobati mereka.”
Kelak, foto Romo Carolus yang sedang mengoleskan obat mata pada seorang anak itu tersebar dengan tuduhan pembaptisan. Kabar burung merebak, ada romo asing yang hendak mengkristenkan penduduk Kampung Laut.
Namun, Romo Carolus terus bekerja, memecahkan persoalan sanitasi dan kesehatan lingkungan, perbaikan gizi keluarga, mengembangkan program padat karya pembuatan infrastruktur jalan dan jembatan untuk memutus isolasi warga, serta pemberdayaan ekonomi keluarga dan pendidikan.
Masih 20 persen
Meski karya kemanusiaannya telah membuktikan ketulusannya, tuduhan itu tetap hidup. Namun, ia hanya mengatakan, ”Saya saja masih 20 persen Katolik, bagaimana mau mengkristenkan orang lain?”
Maksudnya?
Sebagai orang Kristiani, kalau pipi kanan ditampar, berikan pipi kiri. Sedangkan saya masih... hhhmmm saya bukan petinju yang jelek.... So, saya belum bisa menguasai diri dalam setiap situasi. Saya juga harus lembut dan rendah hati. Siapa pun di Cilacap kalau ditanya apakah saya seperti itu, mereka akan tertawa ha-ha-ha. Saya juga harus berani mati demi kasih pada sesama. So... baru berapa persen kekatolikan saya?
Anda bekerja dengan semua pihak, merangkul semua pihak.
Setiap orang membutuhkan pengakuan. Kalau kita mengakuinya, maka kebutuhan batinnya terisi dengan merasa pantas dicintai, merasa berharga, merasa berbuat yang pantas dihargai. Semakin kita melindungi kebebasan orang lain, semakin kita merasakan kebebasan kita terjamin dan melibatkan orang lain. Jadi aspek sosial kemanusiaan kita terisi. Setiap orang bertanggung jawab atas diri sendiri karena saya tak bisa membuat orang lain pantas dicintai. Setiap orang harus membuat dirinya pantas dicintai dengan perbuatannya, dengan welas asih-nya terhadap sesama.
Bagaimana Anda memandang manusia lain?
Saya memandangnya sebagai sesama manusia, kemanusiaannya. Saya yakin, tidak ada manusia jahat, yang ada perbuatan jahat. Manusia adalah ciptaan Tuhan, dengan demikian, ia baik adanya.
Jadi semua baik adanya?
Ada pepatah, ”There is a little bit of bad in the best of us, and a little bit of good in the worst of us. So none of us, bad or good, have any right to say anything about any of us”. Saya yakin, kalau kita memperlakukan orang dengan baik, kita juga akan diperlakukan dengan baik. Juga jangan takut, lalu paranoia, itu merugikan dan mengganggu kita berelasi dengan sesama.
Bagaimana Anda mendefinisikan musuh?
Waktu saya berumur 14 tahun, ayah saya membaca buku Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man. Ayah lalu menjelaskan pada saya tentang evolusi. Sejak itu saya meyakini evolusi, bukan revolusi. Kalau evolusi kita menghargai semua yang sudah dikerjakan orang lain. Evolusi itu mensyukuri, revolusi merombak, lalu menciptakan musuh.
Saya sering bilang, musuh saya satu, namanya Charlie, diri sendiri. Nama saya Charlie Carolus. Jihad bagi saya artinya menguasai diri sendiri. Itu lebih sulit. Saya harus terus belajar menguasai diri sendiri, bukan orang lain.
Mengejar cita-cita
Sejak kecil Romo Carolus mendengar banyak biarawan dari Irlandia yang bekerja di Afrika untuk anak-anak yang berkekurangan segala-galanya. ”Saya tidak terpikir menikah, karena kalau punya istri dan anak, saya harus fokus pada mereka, padahal saya ingin melayani dan bekerja untuk banyak orang.”
Kehidupan masa kecil Charlie cukup sulit. Ia mulai ikut bertanggung jawab atas kehidupan keluarga sejak usia sembilan tahun karena ayahnya sakit. Pada usia 14 tahun ia mulai belajar bekerja dan beternak. Selepas sekolah, ia membaca banyak buku di perpustakaan, mulai peternakan, arsitektur, sampai cara mengaduk semen.
Perjalanan hidup itu mengasah spiritualitasnya. Ia selalu mengingatkan bahwa cara terbaik menjalani kehidupan adalah bersyukur. ”Bukan kekayaan materi yang membahagiakan, tetapi kekayaan kasih....”
Melalui Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), ia membangun 5 TK, 2 SD, 8 SMP, 3 SMA, dan 1 Akademi Maritim. Ia percaya, ”Pendidikan adalah hak semua anak. Pendidikan membebaskan orang dari kemiskinan dan kebodohan.”
Di sekolah Yos Sudarso yang didirikan YSBS, murid mendapat pelajaran agama sesuai agama orangtua, jauh sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterapkan.
Ia membantu perbaikan mushala, memberdayakan perekonomian warga, khususnya kaum perempuan, dengan berbagai pola, termasuk usaha bersama, credit union, dan tanggung renteng.
Seminggu sekali Romo yang menolak hukuman mati itu mempersembahkan Ekaristi di salah satu Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan, yang penghuninya menunggu eksekusi hukuman mati. Lima tahun terakhir, ia memberi perhatian pada penghijauan kembali lahan gundul dengan pohon-pohon spesies lokal di pulau seluas 22.000 hektar itu sambil memberdayakan masyarakat setempat.
”Misionaris sejati”
Romo yang resmi menjadi WNI tahun 1983 itu pulang kampung sekali tiga tahun untuk menengok keluarganya Ia selalu rindu tanah airnya, tetapi, ”Di sana saya tidak laku. Di sini banyak yang bisa saya buat.”
Ia punya sekitar 50 truk yang mendukung kegiatannya. Pernah suatu saat umat terganggu karena truk yang rusak diparkir di halaman pastoran untuk diperbaiki. ”Montirnya bilang, truk ini misionaris sejati. Mereka membawa kabar gembira bagi sesama manusia, membawa batu, buat jalan, rakyat senang. Kalau ada bencana, truk ini berangkat membawa tenda, makanan, dan lain-lain,” kata Romo.
Hubungannya dengan para tokoh lintas agama semakin intens ketika ia harus mendistribusikan 27.000 ton beras bantuan ke Jawa Tengah melalui Interfaith Committee saat krisis ekonomi tahun 1998-2000. Ia menggandeng tokoh-tokoh dan aktivis Muslim di berbagai kabupaten. ”Kami ke pesantren, diterima duduk di lantai, ngobrol, merencanakan program, lalu mulai kerukunan umat beragama, sampai sekarang.”
Bagi Anda, hidup ini apa?
Hidup dan freedom… freedom for. Kita diberi kebebasan dan memanfaatkan kebebasan itu untuk mewujudkan rencana indah Yang Maha Kuasa, yakni dunia di mana semua manusia hidup rukun, tulus, dan saling mengasihi. Domba duduk dengan singa, ular beludak dengan anak kecil; suatu dunia yang harmonis. Saya optimistis....
Sumber: Kompas, 15 Juli 2012
Post a Comment