Helvry Sinaga
Rokok dan Wong Cilik

Badrul Munir

Rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau mendapat tantangan keras dari buruh-petani tembakau dan kalangan industri rokok di beberapa daerah.

Dengan adanya (rancangan) PP baru ini, mereka khawatir akan kehilangan mata pencarian. Angka pengangguran pun dikhawatirkan melonjak, terutama untuk masyarakat golongan rendah yang selama ini tergantung dari industri tembakau, seperti buruh tembakau, buruh pabrik rokok, petani, pengecer rokok, dan masyarakat kecil lainnya.



Perlu diketahui, saat ini sekitar 34 juta pekerja yang bersentuhan dengan industri rokok, baik langsung maupun tidak langsung. Apabila industri rokok menurun atau bahkan tutup, bisa dibayangkan berapa juta pengangguran baru yang muncul, terutama masyarakat kecil.

Karena PP ini diduga berpotensi ”mematikan” industri rokok dan meningkatkan pengangguran, pemerintah dituduh tidak berpihak dengan rakyat kecil. Namun, yang jadi sorotan kita adalah, benarkah dengan adanya PP Pengendalian Tembakau akan merugikan wong cilik? Atau, dengan bahasa lain, apakah selama ini industri tembakau (rokok) menguntungkan wong cilik?

Buruh-petani tembakau

Menurut Badan Pusat Statistik, tahun 2005 jumlah petani tembakau 1,6 persen dari jumlah tenaga sektor pertanian (2,2 juta) atau 0,7 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia. Namun, kesejahteraan buruh tembakau sangat rendah.

Masih dari data BPS 2005, jumlah jam kerja buruh tembakau dalam sehari 7-8 jam dengan upah rata-rata hanya 47 persen dari upah buruh nasional. Bahkan, upah buruh tembakau paling rendah setelah buruh cokelat, hanya separuh dari upah buruh tebu, dan jauh di bawah buruh teh, kopi, dan padi. Lebih menyedihkan, 68 persen buruh tembakau perokok aktif, menghabiskan seperempat upah hariannya untuk membeli rokok.

Petani tembakau juga dalam posisi lemah. Penentuan harga tembakau sangat tidak adil dan didasarkan pada grade tembakau yang ditentukan pabrik rokok. Akibatnya, petani dalam posisi menerima dengan harga murah.

Di bidang kesehatan, para petani tembakau juga sangat rentan terhadap penyakit akibat kerja, seperti green tobacco sickness akibat paparan nikotin basah dan pestisida dengan gejala sesak napas, pusing, mual-muntah, kram perut, dan lemah badan.

Pada sisi lain, penjualan rokok dan jumlah perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010, jumlah perokok di Indonesia 82 juta jiwa atau 34 persen dari penduduk Indonesia. Angka ini meningkat bila dibandingkan tahun 2007 (60 juta) dan tahun 1995 (34,7 juta). Lebih menyedihkan lagi, kelompok masyarakat miskin yang merokok jauh lebih tinggi daripada masyarakat kaya, yakni 57 persen. Umumnya mereka hidup di pedesaan dan hanya tamat SD.

Bahkan, pengeluaran untuk membeli rokok menempati peringkat kedua (19 persen) dari semua pengeluaran keluarga setelah membeli beras. Angka ini jauh lebih tinggi daripada untuk membeli daging-susu (7 persen) dan pengobatan (2,5 persen).

Maka, tak mengherankan bila industri rokok terus berkembang dan mendapat laba yang berlipat. Dari data majalah Forbes, pengusaha terkaya di Indonesia tahun 2011, peringkat satu dan kedua adalah pemilik PT Djarum (omzet Rp 127,4 triliun) dan PT Gudang Garam (Rp 91 triliun). Kekayaan tersebut sebagian besar berasal dari ”sumbangan” perokok masyarakat miskin: sesuatu yang ironi dan menyedihkan.

Pada sisi lain, kesejahteraan buruh rokok masih memprihatinkan. Jam kerja yang panjang, jaminan kesehatan yang buruk, upah buruh yang masih rendah, dan sistem outsourching masih menjadi masalah klasik para buruh rokok tersebut.

Campur tangan negara

Tingginya konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin terutama akibat rendahnya pengetahuan tentang bahaya rokok dan gencarnya iklan rokok di media massa. Untuk itu, perlu ”campur tangan” negara (pemerintah). Dengan adanya PP Pengendalian Tembakau, diharapkan masyarakat kalangan bawah mendapat informasi yang benar tentang rokok secara utuh sehingga mereka tidak diperdaya oleh pengusaha industri rokok untuk meraup keuntungan dengan menggadaikan kesehatan wong cilik.

Rancangan PP ini diharapkan juga memberi perlindungan perokok pasif dalam haknya untuk bebas dari asap rokok. Sebab, bahaya perokok pasif tak kalah dari perokok aktif. Bila perokok aktif mendapat 25 persen zat kimia dalam asap rokok, 75 persen zat kimia akan diembuskan di udara dan berpotensi terhirup orang lain. Yang mengerikan, lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya siap ”menyerang” perokok pasif. Saat ini 97 juta lebih penduduk perokok pasif kebanyakan di bawah usia 15 tahun, termasuk anak dan ibu hamil (data Lembaga Demografi FE-UI).

Usia perokok yang muda juga diatur dalam rancangan PP ini. Perlu diketahui, jumlah perokok remaja terus meningkat dari tahun ke tahun (78 persen perokok mulai sejak di bawah 19 tahun). Ini akan memberi dampak kesehatan yang sangat buruk akibat lamanya mereka terpapar asap rokok. Membatasi usia merokok sangat penting diterapkan dalam peraturan pemerintah demi menjaga kualitas generasi muda.

Merokok memang adalah hak setiap orang, tetapi memberi penjelasan yang paripurna tentang bahaya rokok adalah kewajiban negara (pemerintah) untuk melindungi warganya. Alasan penolakan Rancangan PP Pengendalian Tembakau karena akan merugikan wong cilik hanya akal bulus para pengusaha rokok agar tidak rugi dalam industri ”asap maut tersebut”.

sumber: Kompas, 21 Juli 2012

Badrul Munir Dokter, Saat Ini Sedang Studi Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf FK Unair
Labels: | edit post
1 Response
  1. Anonymous Says:

    Pak Dokter Badrul Munir, tulisan anda payah, data-data yang anda gunakan tak ada yang baru. semua yang anda tuliskan hanya mengekor saja dari data-data yang sudah terpapar di banyak media massa dan ruang-ruang diskusi. anda bahkan sama sekali tak memuat data tandingan yang justru menggunakan perspektif berbeda. kalau memang anda bertujuan membuat masyarakat cerdas, semestinya anda adil dalam memperlakukan fakta dan data lapangan. sayang sekali, tulisan anda dimuat pula di kompas yang seharusnya memasang tulisan bernas berkualitas dan tidak seperti tulisan anda yang membeo saja pada data-data yang tidak up to date apalagi membumi. sekali lagi tulisan anda payah!


Post a Comment