Helvry Sinaga

Malam Hujan Bulan Desember

Oleh: Guntur Alam
Kompas, 15 September 2013

Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan turun dengan deras. Aku ingat, itu bulan Desember, karena lonceng dan kidung Natal bergema dari gereja sebelah kontrakan kami. Tak ada yang mendengar jeritan Ibu. Gemuruh hujan menenggelamkannya.

Aku tak tahu, apa alasan yang membuat Ayah berbuat sekejam itu. Dari pertengkaran mereka, akulah biang keladinya. Dari dulu, Ibu memang selalu bercerita, kalau Ayah tak menyukaiku. Aku tak tahu kenapa.

Aku juga tidak tahu, siapa nama ayahku. Karena sejak aku lahir, kami baru bertemu malam itu. Kusebut saja namanya Joe. Ibuku bernama Maria (bukan nama sebenarnya). Kami tinggal di Kota J. Kota tempat orang-orang datang mengadu nasib, kata Ibu.

Mulanya, Ibu juga membenciku. Kutahu itu dari setiap cerita yang dia uraikan padaku. Pelbagai cara sudah Ibu lakukan agar aku mati saat di dalam kandungannya. Dari mulai Ibu mengkonsumsi jamu-jamu penggugur kandungan, makan nanas muda, loncat-loncat, naik turun tangga, bahkan Ibu pernah beberapa kali memukul-mukul perutnya dengan keras.

”Tapi kau tetap bertahan di dalam sana. Kau berpegang semakin kuat dan kokoh. Hingga aku luluh,” desisnya setiap kami bertatap mata. ”Kau seolah berkata bahwa kau ingin hidup. Jadi aku membiarkan kau hidup. Aku berhenti berusaha membunuhmu.”

Aku hanya menjawab cerita Ibu dengan kerjapan mata saja. Lalu tersenyum. Aku tak ingin bertanya, apa alasannya ingin membunuhku? Aku juga tak ingin menyalahkannya. Setiap melihatku seperti itu, air mata Ibu akan terburai, kemudian dia akan memelukku dengan lembut. Mengecup keningku dan pada akhirnya akan kembali menangis tanpa suara. Aku akan membiarkan Ibu menuntaskan tangisnya. Pelan-pelan kubalas pelukannya.


****

Kata Ibu, Ayah sedang coass, sudah setahun lebih dia pergi. Beberapa kali dia datang ke Kota D, mengurus keperluannya. Setiap dia datang, dia selalu mengirimkan pesan singkat pada Ibu bahkan menelepon. Tapi Ibu selalu mencari alasan agar mereka tidak bertemu.

”Kau tahu kenapa aku menghindari Ayahmu?”

Ibu selalu melontarkan tanya itu padaku, setiap dia mengulang-ulang kisah ini. Aku hanya mengerjap, berusaha tersenyum, tak menjawab apa-apa. Aku tak tahu. Tapi aku sudah tahu karena ini kesekian ratus kalinya Ibu mengisahkan cerita yang sama.

”Karena aku tak ingin Ayahmu membawaku ke klinik aborsi temannya,” suara Ibu terdengar bergetar. Terasa begitu kerontang di telingaku. ”Ayahmu sudah memintaku untuk menggugurkanmu. Dia juga sudah mengirimiku uang. Tapi seperti yang kau tahu. Aku selalu gagal melakukannya. Untuk pergi ke dokter, aku takut. Akhirnya, aku menyerah dan membiarkanmu tumbuh.”

Aku ingin mengucapkan terima kasih setiap Ibu berkata jika dia yang membiarkan aku hidup. Dalam pandanganku, Ibu menjelma malaikat penuh kasih yang bersayap.

Ayahku lelaki tampan, kata Ibu. Dia berdarah Sumatera. Berotak pintar. Tak salah jika dia bisa sekolah di tempat yang luar biasa di Kota D. Sementara Ibu, dia perempuan dari tanah jauh di timur Indonesia. Tempat orang-orang bermata sipit, kulit putih, dan rambut hitam tergerai hidup. Mereka berkenalan di Kota D, di tanah rantau yang seharusnya jadi tempat mereka membentuk masa depan.

”Kami jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Tiap kali mengisahkan bagian ini, mata Ibu akan selalu berbinar-binar. Aku melihat dia mengulum senyum manis. Dari retina matanya bermekaran bunga-bunga. Ibu selalu tak kuasa menyembunyikan rona bahagia di pipinya, bila dia mengenang betapa manis perjumpaannya dengan Ayah.

Awalnya, semua berjalan normal. Tak ada yang istimewa, kata Ibu. Mereka berpacaran layaknya muda-mudi lainnya. Kencan di malam Minggu, nonton film bersama, mencari buku, atau sekedar minum kopi bersama di café favorit mereka.

Lalu tak tahu siapa yang memulai. Dari sekedar bergenggaman tangan, berpelukan, saling memanggut bibir, kemudian semua berjalan semakin jauh. Helai demi helai benang tersingkap. Mereka dimabuk cinta, hingga Ibu tersadar ketika semua telah usai.

”Aku menangis waktu itu,” cerita Ibu. ”Juga Ayahmu. Dia ikut menangis. Badannya gemetar. Dia takut. Takut sekali. Aku juga takut. Lama sekali kami bertangisan. Menyesali kebodohan, tapi semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disesali.”

Pada bagian ini mata Ibu akan berkaca-kaca, lalu air mata akan mengembang di retinanya. Dia menarik napas berkali-kali, berkali-kali pula mengelap pipinya. Aku paham, titik itu adalah awal semua petaka dalam hidupnya.

Usai sadar dia tak akan mampu mengeringkan air matanya dalam sekejap, Ibu akan meneruskan ceritanya lagi. Dia tak paham –tak tahu dengan Ayah. Setiap kali berduaan di kamar yang Ayah sewa atau pun kamar Ibu, mereka akan kembali mengulang hal yang mereka sesali itu. Berkali-kali. Mula-mula, Ibu masih kerap menangis dan menyesali. Tapi lama-lama tidak lagi, terlebih ketika Ayah mengatakan semua baik-baik saja. Saat dia sudah menjadi dokter nanti, mereka akan menikah. Sebelum itu terjadi, Ibu juga akan segera menyelesaikan tugasnya di sini. Tugas mereka hanya satu: Jangan sampai ada sesuatu yang tumbuh di perut Ibu.

Sesungguhnya, Ibu tak pernah menyangka sama sekali aku akan datang. Aku seperti tamu yang tak diundang, mengendap-endap dalam gelap, lalu tiba-tiba hadir begitu saja. Beberapa tahun Ayah dan Ibu menyatu, tak ada masalah. Ibu selalu meminum pil yang dibelikan Ayah. Jadi Ibu sangat terkejut ketika tiba-tiba dia tersadar sudah telat tiga bulan.

”Aku panik sekali,” suara Ibu kembali bergetar. ”Kutelepon Ayahmu yang sedang coass di rumah sakit yang ada di Pekanbaru. Dia pun terkejut. Tapi hanya beberapa detik.” Ibu menghela napas. Menatapku lama, mengusap pipiku, dan berusaha tersenyum. Getir.

”Seperti yang kau tahu, Ayahmu memintaku membunuhmu.” Suara Ibu terdengar datar dan dingin. Aku selalu merinding jika ceritanya sampai di titik ini. ”Dia tak bisa menemaniku. Dia harus coass, hanya boleh datang menemuiku jika dapat libur. Sisanya seperti yang kau tahu. Aku berusaha membunuhmu. Tapi selalu gagal.”

Hening. Aku tak berani bersuara. Wajah Ibu terlihat menakutkan. Kusut masai, persis seperti wajah perempuan gila. Ah, tidak. Lebih tepatnya persis seperti wajah perempuan yang mati penasaran. Lalu dia berubah jadi hantu.

Masih menurut cerita Ibu, sejak dia memutuskan memberiku kesempatan untuk hidup. Ibu meninggalkan Kota D. Dia cuti dari tempatnya belajar. Ibu ingin menjauh dari orang-orang yang mengenalnya termasuk Ayah.

”Biar kau bisa lahir dengan selamat,” terang Ibu. Aku mengangguk mafhum. Ibuku memang Maria, tapi dia bukan perempuan suci yang dititipi Tuhan. Jadi ketika aku lahir nanti, aku bukanlah Nabi. Karena aku bukan Nabi, makanya Ibu pergi bersembunyi. Bersembunyi dari orangtuanya, teman-teman, dan tentu saja ayahku.

Dalam rencana Ibu, dia menggadang angan yang sangat besar. Nanti, setelah aku lahir dan melihatku demikian tampan, Ayah akan luluh hatinya. Kemudian mereka menikah. Ibu sudah ratusan bahkan ribuan kali berlatih di depan cermin, tentang kalimat-kalimat yang akan dilontarkan pada orangtuanya kelak. Pun tentang penjelasan untuk Ayah.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan Ibu, aku pun memupuk harapan dan impian yang sama. Aku ingin bertemu ayahku. Bertemu kedua kakek-nenekku, dan akhir kisah Ibu, kami akan hidup bahagia seperti cerita-cerita dongeng yang kerap Ibu bacakan saat aku akan tidur.

Hari itu aku berdebar. Jantungku terasa akan lepas dari tangkainya. Semua bermuasal dari telepon yang Ibu terima. Dari percakapan yang Ibu lakukan, aku tahu dia tengah berbicara dengan Ayah. Terdengar Ibu terisak. Tak tahu apa yang mereka ucapkan. Aku tak terlalu mendengarnya. Ibu menelpon dari dalam kamar mandi.

”Ayahmu akan datang,” desis Ibu saat keluar dari dalam kamar mandi. ”Sudah waktunya. Kita bersiap.” Saat itulah aku tersentak. Dia menatapku, lama. Matanya sedikit basah. Tapi perlahan Ibu tersenyum.

Aku tahu, ini masa yang dia tunggu-tunggu. Ibu selalu berkata, suatu saat kami akan bertemu Ayah. Di masa itu semua akan berakhir bahagia.

Dadaku mengembang. Aku berdoa memang begitu adanya. Perlahan, hujan turun petang itu. Petang di minggu terakhir bulan Desember.

Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan deras mengguyur. Saat itu umurku baru empat bulan. Tangan Ibu terlihat menggapai-gapai udara, dia berkelojotan. Tapi Ayah tak peduli, dia tak mengendurkan cekikannya. Kakinya tetap menjepit Ibu dan menindihnya. Tak ada yang mendengar kegaduhan itu. Hujan deras menenggelamkannya. Tak lama, Ibu tak bergerak lagi. Barulah Ayah melepaskan cekikannya.

Aku yang berada di atas ranjang mengkerut. Ayah menatapku dengan tatapan dingin. Badanku gemetar.
Aku ingin berlari dan menjerit minta tolong. Tapi aku tak mampu. Wajahku memias ketika Ayah mengambil bantal. Dalam hitungan detik, Ayah membekapku dengan bantal itu. Napasku seketika sesak. Aku ingin menangis agar ada yang mendengar dan menolongku, tapi tenggorokanku tersumbat. Kakiku menendang-nendang dalam popok
kain.

Udara terasa menjauh. Wajahku membiru. Aku merasakan dadaku akan pecah. Ayah tak mengendurkan bekapannya. Aku pasrah. Kupandang Ayah. Mata kami bertaut. Entah, apa aku salah lihat. Matanya berkaca-kaca. Sesuatu yang hangat jatuh dari sudut matanya, mengenai pipiku, tepat ketika aku merasa dadaku meledak dan kakiku berhenti bergerak.

Labels: | edit post
1 Response
  1. Azia Azmi Says:

    kasihan anaknya :'(


Post a Comment