Karya Seni Sahabat Pencuri
Oleh: AGUS DERMAWAN T
Pada 12 Agustus 2013, di satu koran nasional, saya memublikasikan artikel mengenai rencana pendirian museum musik di Solo. Dalam artikel tersebut saya menekankan bahwa menggagas lahirnya museum adalah mudah.
Tetapi menyosialisasi, mengurus, apalagi menjaganya, sungguh susah. Untuk membuat museum diperlukan keseriusan penyiapan perangkat. Dari sarana promosi, pemeliharaan, sampai (ini yang terpenting): keamanan.
Belum genap sebulan artikel itu dimuat, Museum Nasional Indonesia di Jakarta kecolongan (lagi). Empat benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram (sekitar abad X) raib. Perhiasan berlapis emas diketahui tidak ada di lemari pada 11 September 2013. Dipastikan, karya seni bernilai tinggi itu dicolong maling.
Anehnya, dalam kehebohan itu semua pihak yang bertanggung jawab, seperti Kepala Museum sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berkomentar bahwa sistem keamanan museum lemah. Kehilangan itu seolah bukan tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab ”si sistem” atau ”si alat pengaman” yang tak berdaya.
Imbauan tanpa strategi
Sehari setelah benda-benda seni itu hilang, pihak museum dan kepolisian langsung mengimbau pihak kolektor, galeri, dan biro lelang untuk tidak menerima barang curian itu. Andai menerima, kolektor, galeri, dan biro lelang diminta untuk segera melaporkan kepada pihak berwajib.
Dari sisi strategi, penyiaran imbauan lewat media massa ini sungguh naif, keliru, dan tentu saja menggusarkan. Karena maling sekelas apa pun akhirnya tak akan menjual barang curiannya kepada pihak yang sudah disiarkan bakal melaporkan. Seharusnya pihak museum dan polisi melakukan imbauan itu secara diam-diam, sambil terus melakukan pelacakan dan penjebakan.
Strategi lihai jutawan Cai Ming-chao kala ”menangkap” dua patung logam antik dalam lelang Christie’s Paris 2006 bisa diambil sebagai contoh. Lewat cara phone bidding, Cai membeli patung itu dengan harga 15,8 juta euro per potong. Setelah secara formal patung-patung berada di tangannya, Cai baru menjelaskan kepada biro bahwa patung berusia 260 tahun tersebut adalah hasil rampokan tentara Inggris dan Perancis dari museum China pada Perang Candu 1860. Oleh karena itu, Cai tidak mau membayar uang pembelian. Ia justru meminta Christie’s membantu mengembalikan patung-patung itu ke negaranya, China.
Karya seni memang sahabat para pencuri. John Naisbitt mengutarakan, abad XXI adalah abad seni. Semua orang akan berburu seni dengan modal apa pun dan dengan cara bagaimanapun. Tren perburuan seni ini akan terus membias ke berbagai sisi. Tak hanya komunitas pencinta seni, kolektor, art dealer, galeri yang bergerak, juga kelompok di luar itu, seperti pencuri, yang tiba-tiba memfungsikan diri sebagai ”tukang akuisisi” karya seni.
Tetapi sebelum tren yang diisyaratkan Naisbitt jadi kenyataan, kasus pencurian karya seni di Indonesia sudah jauh terlebih dahulu berlangsung. Dalam empat dasawarsa terakhir, di Indonesia telah terjadi sekitar 20 kasus pencurian benda seni sangat berharga. Sebagian besar kasus ini menimpa museum negara. Sebutlah seperti Museum Sono Budoyo (Yogyakarta), Museum Radya Pustaka (Solo), Museum Nasional (Jakarta), Museum Joang (Jakarta), Dewan Kesenian Jakarta, dan Istana Presiden (Jakarta). Di samping yang menimpa museum swasta seperti Museum Dullah (Solo), Museum Widajat (Mungkid), serta institusi perseorangan semisal studio Antonio Blanco (Bali), studio Ida Bagus Made Poleng (Bali), studio Sudjana Kerton (Bandung), studio Ajip Rosidi (Jakarta).
Jumlah satu kejadian per dua tahun untuk kasus pencurian benda seni di sejumlah institusi harus dibilang amat mengerikan. Bandingkan dengan Belanda, Inggris, Jerman yang hanya satu kasus besar per 13 tahun. Padahal negeri-negeri itu memiliki lebih dari 300 museum.
Lantaran tak disertai strategi, dari sekian banyak kehilangan itu sangat kecil yang berhasil balik ke pangkuan. Di antaranya adalah sejumlah lukisan koleksi Museum Nasional, yang pada tahun 1996 tiba-tiba masuk ke balai lelang di Singapura. Juga koleksi Museum Dullah, yang ditemukan beberapa bulan kemudian, setelah melewati tembak-menembak ala koboi antara si maling dan polisi pada 1989.
Sayembara akal bulus
Namun, tidak berarti sejumlah strategi lihai tak pernah dijalankan. Meski kadang strategi itu ternyata bukan digagas untuk menemukan yang hilang, melainkan justru untuk lagi-lagi mengakali orang. Cerita faktual di bawah ini menarik diungkap.
Pada medio Maret 2000 muncul iklan ihwal kehilangan lukisan di koran Kompas, Suara Pembaruan, dan Jakarta Post. Karya Affandi, yang dipampangkan lewat reproduksi hitam-putih, disiarkan telah hilang dari sebuah rumah di Jakarta Selatan. Maka, bagi para informan yang mengetahui keberadaan lukisan itu, dimohon untuk melaporkan kepada pemilik atau ke polisi. Informan yang dapat membantu pengusutan sampai lukisan itu kembali akan diberi hadiah besar Rp 100 juta! Masyarakat segera terkesima. Lukisan pun jadi titik perhatian. Dan, sebagian masyarakat ikut mencari lukisan itu.
Keramaian ini berhenti ketika Kompas edisi April 2000 memuat iklan yang bertajuk, ”Hadiah
Rp 100 Juta Dinyatakan Telah Ditutup”. Namun, iklan itu sama sekali tidak menjelaskan karya Affandi yang termaksud sudah ditemukan atau belum. Alhasil, iklan pembuka dan penutup sayembara ini sama gelapnya, sama nihilnya, sama misteriusnya.
Yang terbayang kemudian: jika hadiah perburuannya saja Rp 100 juta, berapa harga lukisannya? Pastilah berpuluh-puluh kali
lipat! Dari sini publik secara bulat menyebut, iklan kehilangan
itu hanya alat untuk mendongkrak imaji harga lukisan atau lukisan sejenisnya. Rekayasa musibah kehilangan dipakai sebagai titik berangkat strategi pemasaran.
Merefleksi kepintaran curi-tipu seperti di atas, dan mengingat para kriminalis bermain dengan modus dan strategi yang begitu bervariasi, selayaknya institusi penyimpan benda seni (negara) segera menyadari diri. Betapa pengamanan yang sekarang sangat perlu diaktualisasi di segala aspeknya. Bukan cuma pada alat-alat, melainkan juga pada pengetahuan, pengalaman, akal dan feeling manusia pengelolanya berkait dengan pencegahan. Dengan begitu, institusi yang mengelola dan menaunginya tak lagi menyerahkan tanggung jawab kepada CCTV yang mati dan petugas satpam yang mengantuk.
(AGUS DERMAWAN T, Kritikus Seni)
Oleh: AGUS DERMAWAN T
Pada 12 Agustus 2013, di satu koran nasional, saya memublikasikan artikel mengenai rencana pendirian museum musik di Solo. Dalam artikel tersebut saya menekankan bahwa menggagas lahirnya museum adalah mudah.
Tetapi menyosialisasi, mengurus, apalagi menjaganya, sungguh susah. Untuk membuat museum diperlukan keseriusan penyiapan perangkat. Dari sarana promosi, pemeliharaan, sampai (ini yang terpenting): keamanan.
Belum genap sebulan artikel itu dimuat, Museum Nasional Indonesia di Jakarta kecolongan (lagi). Empat benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram (sekitar abad X) raib. Perhiasan berlapis emas diketahui tidak ada di lemari pada 11 September 2013. Dipastikan, karya seni bernilai tinggi itu dicolong maling.
Anehnya, dalam kehebohan itu semua pihak yang bertanggung jawab, seperti Kepala Museum sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berkomentar bahwa sistem keamanan museum lemah. Kehilangan itu seolah bukan tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab ”si sistem” atau ”si alat pengaman” yang tak berdaya.
Imbauan tanpa strategi
Sehari setelah benda-benda seni itu hilang, pihak museum dan kepolisian langsung mengimbau pihak kolektor, galeri, dan biro lelang untuk tidak menerima barang curian itu. Andai menerima, kolektor, galeri, dan biro lelang diminta untuk segera melaporkan kepada pihak berwajib.
Dari sisi strategi, penyiaran imbauan lewat media massa ini sungguh naif, keliru, dan tentu saja menggusarkan. Karena maling sekelas apa pun akhirnya tak akan menjual barang curiannya kepada pihak yang sudah disiarkan bakal melaporkan. Seharusnya pihak museum dan polisi melakukan imbauan itu secara diam-diam, sambil terus melakukan pelacakan dan penjebakan.
Strategi lihai jutawan Cai Ming-chao kala ”menangkap” dua patung logam antik dalam lelang Christie’s Paris 2006 bisa diambil sebagai contoh. Lewat cara phone bidding, Cai membeli patung itu dengan harga 15,8 juta euro per potong. Setelah secara formal patung-patung berada di tangannya, Cai baru menjelaskan kepada biro bahwa patung berusia 260 tahun tersebut adalah hasil rampokan tentara Inggris dan Perancis dari museum China pada Perang Candu 1860. Oleh karena itu, Cai tidak mau membayar uang pembelian. Ia justru meminta Christie’s membantu mengembalikan patung-patung itu ke negaranya, China.
Karya seni memang sahabat para pencuri. John Naisbitt mengutarakan, abad XXI adalah abad seni. Semua orang akan berburu seni dengan modal apa pun dan dengan cara bagaimanapun. Tren perburuan seni ini akan terus membias ke berbagai sisi. Tak hanya komunitas pencinta seni, kolektor, art dealer, galeri yang bergerak, juga kelompok di luar itu, seperti pencuri, yang tiba-tiba memfungsikan diri sebagai ”tukang akuisisi” karya seni.
Tetapi sebelum tren yang diisyaratkan Naisbitt jadi kenyataan, kasus pencurian karya seni di Indonesia sudah jauh terlebih dahulu berlangsung. Dalam empat dasawarsa terakhir, di Indonesia telah terjadi sekitar 20 kasus pencurian benda seni sangat berharga. Sebagian besar kasus ini menimpa museum negara. Sebutlah seperti Museum Sono Budoyo (Yogyakarta), Museum Radya Pustaka (Solo), Museum Nasional (Jakarta), Museum Joang (Jakarta), Dewan Kesenian Jakarta, dan Istana Presiden (Jakarta). Di samping yang menimpa museum swasta seperti Museum Dullah (Solo), Museum Widajat (Mungkid), serta institusi perseorangan semisal studio Antonio Blanco (Bali), studio Ida Bagus Made Poleng (Bali), studio Sudjana Kerton (Bandung), studio Ajip Rosidi (Jakarta).
Jumlah satu kejadian per dua tahun untuk kasus pencurian benda seni di sejumlah institusi harus dibilang amat mengerikan. Bandingkan dengan Belanda, Inggris, Jerman yang hanya satu kasus besar per 13 tahun. Padahal negeri-negeri itu memiliki lebih dari 300 museum.
Lantaran tak disertai strategi, dari sekian banyak kehilangan itu sangat kecil yang berhasil balik ke pangkuan. Di antaranya adalah sejumlah lukisan koleksi Museum Nasional, yang pada tahun 1996 tiba-tiba masuk ke balai lelang di Singapura. Juga koleksi Museum Dullah, yang ditemukan beberapa bulan kemudian, setelah melewati tembak-menembak ala koboi antara si maling dan polisi pada 1989.
Sayembara akal bulus
Namun, tidak berarti sejumlah strategi lihai tak pernah dijalankan. Meski kadang strategi itu ternyata bukan digagas untuk menemukan yang hilang, melainkan justru untuk lagi-lagi mengakali orang. Cerita faktual di bawah ini menarik diungkap.
Pada medio Maret 2000 muncul iklan ihwal kehilangan lukisan di koran Kompas, Suara Pembaruan, dan Jakarta Post. Karya Affandi, yang dipampangkan lewat reproduksi hitam-putih, disiarkan telah hilang dari sebuah rumah di Jakarta Selatan. Maka, bagi para informan yang mengetahui keberadaan lukisan itu, dimohon untuk melaporkan kepada pemilik atau ke polisi. Informan yang dapat membantu pengusutan sampai lukisan itu kembali akan diberi hadiah besar Rp 100 juta! Masyarakat segera terkesima. Lukisan pun jadi titik perhatian. Dan, sebagian masyarakat ikut mencari lukisan itu.
Keramaian ini berhenti ketika Kompas edisi April 2000 memuat iklan yang bertajuk, ”Hadiah
Rp 100 Juta Dinyatakan Telah Ditutup”. Namun, iklan itu sama sekali tidak menjelaskan karya Affandi yang termaksud sudah ditemukan atau belum. Alhasil, iklan pembuka dan penutup sayembara ini sama gelapnya, sama nihilnya, sama misteriusnya.
Yang terbayang kemudian: jika hadiah perburuannya saja Rp 100 juta, berapa harga lukisannya? Pastilah berpuluh-puluh kali
lipat! Dari sini publik secara bulat menyebut, iklan kehilangan
itu hanya alat untuk mendongkrak imaji harga lukisan atau lukisan sejenisnya. Rekayasa musibah kehilangan dipakai sebagai titik berangkat strategi pemasaran.
Merefleksi kepintaran curi-tipu seperti di atas, dan mengingat para kriminalis bermain dengan modus dan strategi yang begitu bervariasi, selayaknya institusi penyimpan benda seni (negara) segera menyadari diri. Betapa pengamanan yang sekarang sangat perlu diaktualisasi di segala aspeknya. Bukan cuma pada alat-alat, melainkan juga pada pengetahuan, pengalaman, akal dan feeling manusia pengelolanya berkait dengan pencegahan. Dengan begitu, institusi yang mengelola dan menaunginya tak lagi menyerahkan tanggung jawab kepada CCTV yang mati dan petugas satpam yang mengantuk.
(AGUS DERMAWAN T, Kritikus Seni)
Post a Comment