Tidak Main Dadu
Oleh: L Wilardjo
Di Kompas edisi 17 September lalu, pada halaman 7, Andrianto Handojo, yang Ketua Dewan Riset Nasional, mencerahkan kita dengan opini yang ringkas, bernas, dan jelas tentang ruh pendidikan tinggi.
Guru Besar Fisika Teknik Institut Teknologi Bandung itu, antara lain, mengatakan, dalam melakukan penelitian, pikiran mesti terbuka, tetapi dingin dan tanpa pamrih serta dalam berbagi hasil penelitian melalui publikasi atau presentasi, kita harus obyektif, jujur dan rendah hati. Itulah, kata Andrianto, yang disebut disinterestedness oleh Daoed Joesoef.
Memang pada masa Orde Baru ketika CSIS berpengaruh dalam pemerintahan dan Daoed Joesoef menjadi Mendikbud, ia menekankan bahwa ilmu itu ya proses, ya produk, ya paradigma. Paradigma itulah yang bagaikan bintang pemandu, Leitstern, menuntun proses menuju ke produk.
Begitulah gambaran tentang apa yang oleh Thomas Kuhn disebut masa normal atau masa pemecahan teka-teki. Belum terjadi krisis. Anomali ¾ kalau ada ¾ ya satu atau dua saja, dan dapat ditempelkan secara ad hoc pada teori yang ada sebagai perkecualian kecil.
Paradigma yang dimaksudkan Daoed Joesoef adalah baik paradigma Kuhn maupun paradigma Merton. Yang disebut terakhir ini diungkapkan dalam empat imperatif, yakni universalisme, komunalisme, disinterestedness, dan organized skepticism. Jadi, disinterestedness yang dikutip Andrianto dari Daoed Joesoef itu aslinya dari Robert K Merton. Pertanyaannya ialah dapatkah obyektivitas dicapai dengan mengugemi imperatif disinterestedness?
Jawabannya ”tergantung”. Tergantung dari pengertian ”obyektif” itu. Kalau ”obyektif”, berarti ’sebagaimana adanya’, persis seperti aslinya, obyektivitas itu mustahil bisa dicapai. Ini menurut Niels Bohr dan para pengikutnya dalam Mazhab Kopenhagen.
Sesuatu yang lain
Dalam ilmu, tidak ada kepastian, certainty. Yang dapat diusahakan ialah meningkatkan kementakan, probability, bahwa temuan penelitian ilmiah itu benar. Namun, mau diupayakan dengan cara bagaimanapun, dan oleh peneliti yang paling genius pun, kepastian ”alias kementakan 100 persen” tidak dapat dicapai. Ini hukum alam yang dipatok sendiri oleh Sang Maha Pencipta. Pengamatan terhadap suatu realitas niscaya mengusik realitas itu sehingga kepastiannya buyar dan realitas yang semula itu berubah menjadi sesuatu yang lain.
”Salah!” kata Albert Einstein. Realitas yang pasti itu ada. Ilmu bukan hanya probabilistik, melainkan juga deterministik. Tuhan tidak main dadu. Kalau Bohr dan para pengikutnya dan dengan Mekanika Kuantum-nya tidak dapat menemukan realitas yang pasti, itu karena Mekanika Kuantum belum selesai alias tidak lengkap.
Erwin Schroedinger, yang berada di kubu Einstein tetapi kalah berdebat melawan Bohr, lalu memberikan teka-teki yang disebut ”Paradoks Kucing Schroedinger”. Itu adalah percobaan pikiran, Gedanken Experiment. Ada seekor kucing di dalam sebuah kotak yang tertutup dan legap sehingga tak dapat dilihat/diamati. Kotak itu dipasangi jebakan sehingga bom akan meledak kalau kotak tersebut dibuka. Ledakan itu akan menghancurluluhkan kucing di dalam kotak itu sehingga tidak ada sisanya yang dapat diamati. Bagaimana dapat menangkap (artinya: mengamati) kucing itu? Kata pelawak Asmuni, ”Hil yang mustahal”.
Rubrik ”Sosok”, Kompas edisi Rabu, 10 Oktober 2012, melaporkan pemenang Hadiah Nobel 2012 dalam Fisika, yakni fisikawan Perancis, Serge Haroche, dan fisikawan Amerika, David J Wineland. Kedua fisikawan ini secara terpisah (artinya tidak sontek-menyontek) menemukan cara untuk mengisolasi zarah-zarah sehingga orang dapat mengamati, menghitung, bahkan memanipulasi zarah-zarah tersebut. Dengan kata lain, Haroche dan Wineland telah berhasil ”menangkap kucing Schroedinger”.
Maka, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Wolfgang Pauli, dkk terbukti salah. Yang benar ialah Albert Einstein, Erwin Schroedinger, Louis Victor de Broglie, David Bohm, dkk. Namun, benarkah demikian? Bagaimana pula dengan studi kasus mendalam di mana si peneliti tidak ”pasang jarak”—disinterested atau detached—tetapi justru manjing ajur-ajer, meluluhkan diri, dengan komunitas yang diteliti? Apakah penelitiannya lalu menjadi subyektif dan bias karena itu terlibat secara emosional?
(L Wilardjo, Fisikawan)
Kompas, 20 September 2013
Post a Comment