Helvry Sinaga
Jakarta untuk Manusia
Oleh Yonky Karman

Kompas,23 Juni 2012

Alkisah, Ratu Negeri Syeba yang telah mendengar tentang kehebatan hikmat Raja Sulaiman ingin mengujinya langsung dengan berkunjung ke kerajaannya. Memang ternyata bagi Sulaiman tak ada pertanyaan yang terlalu sulit untuk dijawab. Namun, yang lebih membuat ratu itu kagum adalah hikmat Sulaiman yang terlihat dalam cara kerja para pegawainya, baik di lingkungan istana maupun pelayanan publik.

Jika kita mengunjungi kota-kota dunia, tertib lalu lintasnya berbanding lurus dengan tata kelola pemerintahan. Kota, apalagi ibu kota, menjadi miniatur negara hukum. Kita pun menghubungkan tertib berkota dengan hikmat kepemimpinan. Cara kerja birokrasi dan penegak hukum di Jakarta adalah miniatur Indonesia.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
(Bukan) Nasionalisme Musiman

Oleh Imam Cahyono


"History is not determined by fate, or by religion, or geology, or hydrology, or national culture. It is determined by people."

(Alan Beattie)

Pangkalan Brandan seolah pupus dari ingatan dan proses keindonesiaan. Di tengah gonjang-ganjing harga minyak bumi yang terus menghantui, kota kecil di wilayah Kabupaten Langkat di perbatasan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh ini seperti dilupakan. Padahal, Brandan adalah saksi sejarah ketabahan pencarian emas hitam: bagaimana konsesi, eksploitasi, denyut nadi kejayaan, hingga terpuruk kembali menjadi kota yang sepi.

Sebagai ladang minyak tertua di Nusantara, perut bumi Brandan menghasilkan jutaan barrel minyak sejak ratusan tahun silam. Peristiwa Brandan Bumi Hangus, 13 Agustus 1947—konon lebih besar daripada peristiwa ”Bandung Lautan Api”—merupakan pekik nasionalis, bagaimana pejuang republik mempertahankan kota minyak ini dengan darah agar tidak jatuh ke tangan penjajah.

Pada pemerintahan Soekarno, Ibnu Sutowo membangun kembali Brandan dari puing-puing reruntuhan. Pemerintah melakukan nasionalisasi, membidani cikal bakal perusahaan minyak nasional yang sempat berjaya menggenggam kedaulatan energi. Pada masa Soeharto, Pertamina terempas oleh berbagai skandal yang tak pernah tuntas.

”Dulu bisa masuk kompleks Pertamina saja bangga. Sekarang, masuk ke sana, takut ada monyet dan macan berkeliaran,” tutur mantan pejabat senior Pertamina sembari tersenyum getir.

Kompleks Pertamina di Brandan kini seperti rongsokan besi tua berkarat, penuh rerimbun ilalang dan rumput liar. Gedung-gedung lusuh telantar, kilang-kilang raksasa membisu.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga
Bahasa Puitis

ANDRÉ MÖLLER

Ketika saya akhirnya mengirim naskah terakhir Kamus Swedia-Indonesia ke penerbit di Jakarta sekitar enam tahun yang lalu, saya bertekad tidak melibatkan diri dalam penyusunan kamus lagi. Tugas seperti itu amat melelahkan, sering kali membosankan dan bisa membuat orang putus asa dan menggila. Mengingat itu, alangkah terkejut saya ketika pada 1 Januari lalu saya mengawali penyusunan Kamus Indonesia-Swedia sebagai pelengkap kamus yang sudah beredar itu. Rencananya, kamus ini akan dikerjakan lebih cepat dan akan dibubuhi titik terakhir sebelum trompet tahun baru berbunyi pada tahun depan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bawah ingatan saya cukup pendek.

Walaupun memayahkan, menjemukan, dan sesekali menjengkelkan, bergaul dengan kamus-kamus setiap hari juga bukan kegiatan yang tidak membawa manfaat atau dapat membuka mata dengan lebih lebar. Kamus-kamus akhirnya jadi teman setia yang selalu sudi memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih dalam.

Labels: 2 comments | | edit post
Helvry Sinaga


Children's Books Publishing in Asia
Anonymous. Publishers Weekly258. 11 (Mar 14, 2011): n/a.

Abstract (summary)

In most parts of Asia, wizardry and fantastical plots have lost much of their magic after dominating the bestseller list for so long. Overall, picture books--local and translated--remain a big game this side of the world.

Helvry Sinaga

Judul: Jack dan Bidadari
Pengarang: Linda Christanty
Kompas, 10 Juni 2012
Gambar: Jendra

Seringkali sifat asli baru kelihatan setelah menjalani hubungan secara dekat. Karena itu, pemahaman yang baik dengan seorang teman dekat akan menyelamatkan diri maupun hubungan tersebut. Hal yang kerap kali diabaikan orang ketika mencari pengganti teman dekat adalah usaha untuk mengenal lebih jauh, baik sifat baik maupun sifat buruknya. Linda memaparkan fenomena tersebut dalam cerita pendek ini. Walau saya sendiri masih berkesan 'gantung' dengan akhir cerita ini, namun pesan yang ingin disampaikan adalah: "teman sejati selalu peduli"

Helvry Sinaga
Romo Soegijo
Arswendo Atmowiloto
dimuat di Kompas, 9 Juni 2012

Saya membaca judul film Soegijo dengan tambahan Romo dalam hati. Juga dalam percakapan, dalam ingatan, dan terutama dalam kesadaran. Bukan semata karena merasa kurang hormat tidak menyebut predikat, melainkan karena keromoan dan kesoegijoan sudah menyatu, bulat tak terceraikan.

Sebagaimana kredo nasionalisme yang sakti, tag line yang abadi. ”Seratus persen Indonesia, seratus persen Katolik”. Seratus persen berlaku selama masih ada Indonesia, masih ada Katolik.

Sebagaimana hubungan istri-suami, tak selalu harus disebutkan dengan urutan suami-istri, yang satu jua adanya, tanpa kehilangan identitas diri masing-masing. Keutuhan—yang sekilas paradoksal—adalah dinamika dari realitas empiris yang telah terbuktikan.

Labels: 0 comments | | edit post
Helvry Sinaga

Judul: Sepasang Mata Malaikat
Pengarang: N Mursidi
Lukisan: Mohammad Ady Nugeraha

Katanya mata adalah jendela jiwa. Dari matalah terpancar kegirangan, keantusiasan, keingintahuan, kegelisahan, kebingungan, keteduhan, kesedihan, dan juga keindahan. Bicara mata juga bicara tentang bahasa. Ada bahasa-bahasa yang tidak terkatakan di sana, namun terceritakan. Tokoh Laki-laki dalam cerita ini sepertinya menyadari bahwa ia diawasi terus menerus. Mulut mungkin bisa bohong tetapi mata sangat sulit.

Ah..mata memang ada dimana-mana....
----------------------------------------
Helvry Sinaga
Judul: Tembiluk
Pengarang: Damhuri Muhammad
Kompas, 27 Mei 2012

Sebuah cerita yang apik. Tidak memerlukan otak yang harus berpikir keras untuk mengerti jalannya cerita. Dengan cepat pembaca mengetahui apa inti ceritanya. Membaca cerita ini, saya mencoba bertanya, apakah masih demikian fenomena di Indonesia ini. Pertama, masihkah di tengah kehadiran agama, masih berlanjut praktek yang 'menguji' kesaktian suatu ilmu? Saya rasa masih mungkin, namun seharusnya tidak seseram di cerita awal. Kedua, apakah di kalangan para pejabat negeri ini masih ada yang mempercayakan kelangsungan jabatannya kepada seseorang yang 'dianggap'?

Persoalan mendasarnya sebenarnya terletak pada manusia itu sendiri, apakah telah didup dengnan berkecukupan?

Helvry Sinaga
Judul: Bu Geni di Bulan Desember
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Kompas, 24 Mei 2012

Profesi yang paling dicari ketika akan mengadakan pesta pernikahan barangkali ada dua. Pertama, petugas pencatatan sipil, kedua adalah perias pengantin.
Petugas pencatatan sipil akan datang ketika akan dilangsungkan akad atau pemberkatan, sementara juru rias bertugas sebelum pesta pernikahan dan dimulai dari jam-jam subuh.

Kisah Bu Geni ini menjadi potret sebuah profesi yang jarang diulas orang, namun menjadi bagian penting dalam ritual terbesar seorang manusia. Pekerjaan merias pengantin mungkin tidak begitu populer seperti jasa-jasa prewedding atau wedding organizer, namun orang seperti Bu Geni ini ternyata ada di masyarakat. Pekerjaannya biasa, namun ucapan-ucapan Bu Geni, seolah menyadarkan apa sebenarnya hakikat pernikahan, saya menilai Bu Geni sepertinya lebih tepat menjadi sebagai konsultan pranikah.

Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan

”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”

Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”


Namun, yang saya tidak mengerti, ada apa di Bulan Desember?

-----------------------------------------------------------------------

Helvry Sinaga
Judul: Mengenang Kota Hilang
Penulis: R Giryadi
Kompas 13 Mei 2012

Hampir enam tahun kisah terendamnya sebuah kota akibat lumpur. Kini sebuah kota telah menjadi kenangan karena keberadaannya telah tenggelam dengan volume lumpur yang melimpah. Kota yang hilang terinspirasi dari puisi Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. Isi puisi tersebut adalah sebagai berikut

Kisah Kota Lumpur
MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.

MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.

SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.

MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.

ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.

MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.

DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.

----
Sebuah kritik atas penanganan dampak lumpur. Sebuah kampung yang hilang menjadi obyek tontonan. Hati yang perih melihat kampung halaman kenangan menjadi sebuah cerita tak berbekas. Penulis menangkap kegelisahan si anak kampung dengan kalimat-kalimat puitis:
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!

Apakah lumpur-lumpur tersebut akan berhenti menghapus kenangan?