Helvry Sinaga
Beberapa kali melihat foto-foto Jakarta tempo dulu, membuat saya membayangkan suasana kota dan orang-orangnya. Beberapa tempat yang pernah saya lewati, sepertinya tidak menggambarkan keadaaan seperti di foto tersebut. Beberapa bangunan mungkin masih tegak berdiri, dirawat dan dipergunakan, seperti Istana Merdeka, Gereja GPIB Imanuel, Museum Fatahillah dan sebagainya. Namun Gedung Harmonie, Hotel Des Kapital sudah tidak ada lagi.
Saya terinspirasi membuat foto-foto semacam ini. Apa yang dapat diceritakan oleh gambar? Pertama, Perjalanan napak tilas pun dapat dibahasakan dengan dua buah gambar. Apa yang kita lihat antara zaman dulu dan sekarang merupakan suatu perubahan. Masa dulu dan masa sekarang terhubung oleh waktu dan apa yang kita lihat sekarang ini merupakan cerminan masa lalu. Sebuah gambar jauh lebih banyak menceritakan suasana dibanding paragraf-paragraf tulisan. Apalagi bila mampu menyandingkan antara gambar masa lalu dan gambar masa kini. Sangat terasa perbedaan suasananya. Dan saya suka dengan konsep penyandingan foto tersebut, seperti foto yang dimuat di harian Kompas Juli 2012 berikut ini.
Permasalahannya sekarang adalah seberapa banyak ketersediaan gambar-gambar tersebut dan dimana dapat memperolehnya? selain itu, seberapa banyak pula tempat-tempat tersebut tersedia hingga saat ini sehingga dapat dilakukan perbandingan?
Helvry Sinaga
Dua Wajah Ibu
Guntur Alam
Gambar: Mia Diwasasri
Kompas, 4 Agustus 2012
Ketika pertama kali mendengar kata Jakarta, maka dalam benak saya adalah menara TVRI dan pemandangan Indonesia mini dari gantole yang selalu ditayangkan oleh TVRI. Namun, melihat Jakarta sesungguhnya adalah ketika saya menaiki KRL Serpong-Tanah Abang dan melihat dari pintu kereta rumah-rumah darurat yang dibangun di sepanjang rel tak terpakai di Tanah Abang. Rumahnya (lebih tepat disebut kamar) ukurannya sangat kecil. Kalau kereta lewat, atapnya serasa ingin menggores dinding luarnya karena begitu dekat dan rapatnya. Jangan tanyakan bagaimana kehidupan di sana, tentunya jauh dari layak. Pengalaman tersebut hampir mirip dengan yang ada di Kemanggisan. Suatu 'komplek' perumahan yang saya duga dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi sebagai tukang ketoprak, tukang mie ayam karena terlihat dari gerobak-gerobak yang banyak di dekatnya. Pertanyaan muncul: Mengapa mereka mau mengadu nasib disini?
Bagaimanapun Jakarta telah berhasil 'menarik' jutaan orang untuk bertarung disini. Gejala apakah itu? saya pikir adalah sebuah ketidakmerataan. Kota-kota besar dihuni oleh orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada baik pekerjaan mapan yang pasti maupun pekerjaan kasar dan tak pasti. Sampai kapan? mungkin sampai tenagapun surut. Namun, hal yang paling membahagiakan adalah dimilikinya kampung halaman, di mana inspirasi dibangun kembali, hubungan dihangatkan lagi, dan tempat 'pelarian' di kala hiruk pikuk dan kepenatan terasa menghimpit.
Helvry Sinaga
Judul: Tangan Buntung
Penulis: Budi Darma
Gambar: Ipong Purnama Sidhi
Kompas, 29 Juli 2012
Sebuah kritik akan kekuasaan. Anthony Reid merumuskan bahwa salah satu kemunduran pusat-pusat perniagaan di Asia Tenggara terutama di Indonesia adalah sistem kerajaan itu sendiri. Menurut Reid salah satunya adalah kekuasaan Raja yang begitu besar hingga masuk ke ranah perdagangan. Belanda pun dalam melakukan monopoli perdagangan hasil bumi yang dijual di Eropa selalu melakukan penaklukkan atas raja-raja tersebut. Dan raja 'menindas' rakyatnya dengan memerintahkan agar seluruh hasil bumi yang menguntungkan seperti kopi, lada, teh, diserahkan kepada raja untuk kemudian dijual ke VOC.
Salah satu warisan keadaan tersebut ialah ikutnya pemimpin seperti kepala daerah dalam bisnis yang menguntungkan dirinya maupun keluarganya. Karena itu sering dalam pelaksanaannya, proses demokrasi yang memilih pemimpin rakyat adalah jalan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mumpung di atas, mungkin begitu
tagline-nya. Mungkin demikian yang ingin disampaikan oleh Budi Darma melalui cerpen ini. Ia ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang sering kali dinamakan sebagai hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan keberpihakan pada wong cilik: tak lebih hanyalah sebagai alat untuk memperlanggeng kekuasaan, alat untuk melegitimasi perbuatan tidak etis, dan ikut-ikutan untuk menunjukkan negara yang punya martabat di dunia. Namun, itu tak lebih atas suatu kepentingan. Kepentingan rakyat? O tentu saja, tapi rakyat partai politik, rakyat pengusaha, rakyat para jenderal, rakyat para politikus. Dan Budi Darma memberi suatu pesan sindiran, bahwa untuk hal-hal tersebut orang-orang tersebut tidak punya rasa malu. Pemimpin bertangan buntung seharusnya memiliki kesadaran lebih, bahwa perilakunya adalah perilaku tercela, tidak pantas dijadikan teladan, dan seharusnya mundurlah dari jabatan tersebut...
Helvry Sinaga
Judul: Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus...
Pengarang: Sungging Raga
Gambar: Nasirun
Kompas, 22 Juli 2012
Sebuah kerinduan pada kekasih. Kerinduan pada tempat yang mengingatkan pada perasaan-perasaan indah yang dahulu meluap. Bagaimana kitapun seringkali terpaut pada sesuatu yang indah namun sekarang hilang. Bagaimanapun senja sering menjadi pengingat yang romantis. Syukur pada senja.
Helvry Sinaga
Mendialogkan Gawatnya Perbukuan Nasional
Oleh Alfons Taryadi
Kompas, 23 Juli 2012
Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu.
Ajip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.
Suatu hari, tahun 1998, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi, saya mendampingi Arselan Harahap (Ketua Umum Ikapi 1998-2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan perbukuan nasional.
Ketika kami baru menceritakan kondisi perbukuan negara tetangga, sang pejabat langsung memotong. ”Saya tak suka membandingkan Indonesia dengan negeri lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan menuduh pemerintah kurang ini kurang itu.”
Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud Prof Dr Wardiman Djojonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke negara tetangga.
Helvry Sinaga
Remy Sylado (67) seperti tak pernah berhenti.
Ia menghasilkan tak kurang dari 300-an karya, yang ia harap memberi pengharapan dan penghiburan kepada pembaca. ”Kalau sekadar senang sendiri, itu bukan hiburan. Dan hiburan itu bukan dosa. Justru bagaimana membuat karya sastra itu karya yang menghibur,” katanya.
Remy memiliki wawasan kepenulisan yang sangat lebar. Bukan hanya novel dan puisi, ia kini juga tengah menyiapkan buku 123 ayat tentang kesenian. Ia menulis tentang sastra, seni rupa, musik, film, dan teater. Ia bahkan pernah menulis tentang teologi, kamus, dan ensiklopedia.
Dalam setahun, Remy menghasilkan dua sampai tiga novel.
Dalam satu ruang dan waktu, Remy bisa bekerja simultan menggarap tiga novel sekaligus. Untuk itu, dia bekerja menggunakan tiga mesin tik yang berbeda. ”Selalu pakai mesin tik dan tip-eks, ha-ha...,” kata Remy di rumahnya di Cikarawang, Dramaga, Bogor, Juni lalu.
Helvry Sinaga
Rokok dan Wong Cilik
Badrul Munir
Rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau mendapat tantangan keras dari buruh-petani tembakau dan kalangan industri rokok di beberapa daerah.
Dengan adanya (rancangan) PP baru ini, mereka khawatir akan kehilangan mata pencarian. Angka pengangguran pun dikhawatirkan melonjak, terutama untuk masyarakat golongan rendah yang selama ini tergantung dari industri tembakau, seperti buruh tembakau, buruh pabrik rokok, petani, pengecer rokok, dan masyarakat kecil lainnya.
Helvry Sinaga
Judul: Hening di Ujung Senja
Pengarang: Wilson Nadeak
Gambar: I Putu Sudiana Bonuz
Narator cerpen ini menceritakan kesan dari teman-teman yang satu demi sati meninggalkan dunia fana ini. Waktu begitu cepat memakan usia, seakan terjadinya baru kemarin. Jangankan seusia 60 tahun 70 tahun, bertemu dengan teman-teman kecil saya yang sudah menikah dan punya anak, saya merasa baru seperti kemarin bermain sepeda dan main kasti.
Saya jadi merindukan kampung halaman. Kampung bersama teman-temannya. Kembali pada pemaknaan, apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. Apakah hidup ini hanya sekedar lahir, besar, menikah, punya anak cucu, dan mati? Jika Tuhan berkenan, saya akan menjawab pertanyaan ini kelak.
Helvry Sinaga
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Upaya memanusiakan dan
mengangkat martabat orang miskin tak cukup dengan khotbah di gereja.
Charles Patrick Edward Burrows OMI atau Romo Carolus (70) membumikan
teologi inklusif dengan karya pastoral secara nyata di tengah masyarakat
miskin dan termiskin selama 38 tahun lebih. Maria Hartiningsih
Romo
Carolus menyampaikan keutamaan spiritualitas untuk mewartakan kabar
gembira kepada orang miskin tanpa memandang latar belakang agama, suku,
etnis, gender, atau apa pun.
”Mereka adalah saudara saya, apa pun
latar belakangnya. Lewat mereka saya bertemu Tuhan,” ujarnya, ketika
ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya mau fokus mencintai, bukan
sesama Katolik, tetapi sesama manusia.”
Romo Carolus bersama
Ahmad Bahruddin (47) dari Salatiga, Jawa Tengah, pendiri Paguyuban
Serikat Petani Qoryah Thayyibah, pendiri serta pengasuh Kelompok Belajar
Qoryah Thayyibah, dianugerahi Maarif Award for Humanity 2012.
Penghargaan
yang diprakarsai Maarif Institute sejak tahun 2007 itu terfokus pada
inisiatif-inisiatif pemimpin nonformal di tingkat lokal yang secara
nyata dan konsisten berkarya untuk sesama dalam semangat kebinekaan,
keterbukaan, dan kebersamaan.
Helvry Sinaga
Judul: Kabut Ibu
Pengarang: Mashdar Zainal
Kompas, 8 Juli 2012
Gambar: Kemal Ezedine
Melihat angka 1965, maka asosiasi kita akan mengarah pada suatu peristiwa yang bagi banyak orang begitu membekas. Membekas luka. Tidak terhitung berapa banyak dampak dari ketidakberadaban manusia pada tahun-tahun mencekam tersebut, termasuk yang dialami oleh ibu sang narator. Selama tidak ada rekonsiliasi, maka bibit kekerasan itu suatu saat akan keluar. Ah..ibu....