Afrizal Malna
Saya mengikuti dua tulisan di Kompas Minggu tentang kota dan puisi dari Bandung Mawardi dan Geger Riyanto, Minggu, 10 Maret 2013. Saya tertarik menanggapi, bukan karena kedua tulisan itu melibatkan puisi-puisi saya, melainkan pada bagaimana puisi dibaca melalui kota dan sebaliknya.
Kota dalam biografi saya tidak semata-mata sebuah kawasan civilisasi dengan agenda perubahan yang tidak terbatas. Kawasan yang selalu gelisah untuk memunculkan budaya homey pada warganya. Pengertian pulang—dalam konteks Indonesia—tidak pernah berarti pulang ke kota, tetapi pulang ke kampung. Kota tidak punya pengertian pulang.
Sementara saya lahir di Jakarta dan tidak memiliki kampung sebagai konsep budaya pulang. Sekarang saya hidup di luar Jakarta, tetapi Jakarta tetap ada di dalam saya (yang tidak pernah bisa saya keluarkan kembali). Sebuah kota biografis (untuk saya) yang pernah terbakar dalam peristiwa Malari 1974 dan Reformasi 1998.
Saya mengikuti dua tulisan di Kompas Minggu tentang kota dan puisi dari Bandung Mawardi dan Geger Riyanto, Minggu, 10 Maret 2013. Saya tertarik menanggapi, bukan karena kedua tulisan itu melibatkan puisi-puisi saya, melainkan pada bagaimana puisi dibaca melalui kota dan sebaliknya.
Kota dalam biografi saya tidak semata-mata sebuah kawasan civilisasi dengan agenda perubahan yang tidak terbatas. Kawasan yang selalu gelisah untuk memunculkan budaya homey pada warganya. Pengertian pulang—dalam konteks Indonesia—tidak pernah berarti pulang ke kota, tetapi pulang ke kampung. Kota tidak punya pengertian pulang.
Sementara saya lahir di Jakarta dan tidak memiliki kampung sebagai konsep budaya pulang. Sekarang saya hidup di luar Jakarta, tetapi Jakarta tetap ada di dalam saya (yang tidak pernah bisa saya keluarkan kembali). Sebuah kota biografis (untuk saya) yang pernah terbakar dalam peristiwa Malari 1974 dan Reformasi 1998.