Puisi Goenawan MohamadPAMERAN SENI RUPA SLENCO
No Signal - BAMBANG PRAMUDIYANTO 2012 MIXED MEDIA 150 x 200 cm
|
Tentang Usinara
Usinara, yang menyerahkan jangat dan darahnya untuk
menyelamatkan seekor punai yang terancam kematian,
tahu dewa-dewa tak pernah siap. Mereka makin tua.
Langit menggantungkan dacin pada tiang lapuk Neraka
sejak cinta dibunuh. Timbangan terlambat. Telah tujuh
zaman asap & api penyiksaan mengaburkan mata siapa
saja.
Di manakah batas belas, Baginda? ”Mungkin tak ada,”
jawab Usinara. Ia hanya menahan perih di rusuknya
ketika tujuh burung nasar sibuk di kamar itu, (tujuh,
bukan satu), merenggutkan dagingnya, selapis demi
selapis.
Sering aku bayangkan raja yang baik hati itu tergeletak
di lantai, memandang ke luar pintu, melihat debu sore
dan daun-daun yang pelan-pelan berubah ungu. Ia ingin
punai itu segera lepas. ”Ayo, terbang. Aku telah
menebus nyawamu,” ia ingin berkata. Tapi suaranya
tak terdengar.
Sementara itu, di sudut, si punai menangis: ”Tak ada
dewa yang datang dan mengubah adegan ini jadi
dongeng!” Usinara hanya menutup matanya. Ia tahu
kahyangan adalah cerita yang belum jadi.
2012
Tentang Maut
Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik
yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.
Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari
yang ingin memungutnya kembali.
Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.
Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya
di ujung gang dan berjalan tak menentu.
Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada
gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit
yang meluap.
Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.
Atau hampir putus.
2012
Di antara Kanal
Jarimu menandai sebuah percakapan
yang tak hendak kita rekam
di hitam sotong dan gelas sauvignon blanc
yang akan ditinggalkan.
Di kiri kita kanal menyusup
dari laut. Di jalan para kelasi
malam seakan-akan biru.
”Meskipun esok lazuardi,” katamu.
Aku dengar. Kita kenal
kegaduhan di aspal ini.
Kita tahu banyak hal.
Kita tahu apa yang sebentar.
Seseorang pernah mengatakan
kita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun kedai.
Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,
tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
”Kota ini,” katamu, ”adalah jam
yang digantikan matahari.”
2012
Tentang Chopin
Kembali ke nokturno, katamu. Aku inginkan Chopin.
Seperempat jam kemudian, tuts hitam pada piano itu
menganga.
Malam telah melukai mereka.
Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah,
seakan-akan sedih adalah bagian dari ketidaktahuan.
Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu
dan lampu sebuah kota yang tak diingat lagi, dan kau,
yang mencoba mengenangnya dari cinta yang pendek,
yang terburu, akan gagal. Di mana kota itu? Siapa yang
meletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu?
Semua yang kembali
hanya menemuimu
pada mimpi yang tersisa
di ruas kamar...
Coba dengar, katamu lagi,
apa yang datang dalam No. 20 ini?
Di piano itu seseorang memandang ke luar
dan mencoba menjawab:
Mungkin hujan. Hanya hujan.
Tapi tak ada hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.
2012
Aktor
– untuk Moh. Sunjaya
Aktor terakhir menutup pintu.
”Caesar, aku pulang.”
Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti wajah tua yang ditinggalkan.
Siapapun pulang. Meski pada jas
dengan punggung yang berlobang
ia masih rasakan ujung pisau itu
menikam dan akordeon bernyanyi
pada saat kematian. Ia masih ingat
kalimat di adegan ke-4,
tentu saja. Tapi ia tak ingin
mengulangnya.
”Teater,” sutradara selalu bergumam,
”hanya kehidupan dua malam.”
”Tapi tetap kehidupan,” ia ingin menjawab.
Ia selalu merasa bisa menjawab.
Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata.
Tapi pada tiap reruntukan panggung
ia lupa kata-kata.
Pada tiap reruntukan panggung
ia hanya ingin tiga detik – tiga detik yang yakin:
dalam lorong Kapai-Kapai, Abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi.
Ia tak menyukai melankoli.
2012
Rite of Spring
Tari itu melintas pada cermin:
bagian terakhir Ritus Musim.
Gerak gaun – paras putih –
tapak kaki yang melepas lantai...
23 tahun kemudian di kaca ia temukan
wajahnya. Sendiri. Terpisah dari ruang.
Lekang, seperti warna waktu
pada kertas koreografi.
Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya.
”Aku tak seperti dulu,” katanya,
”tapi di fragmen ini kau memerlukan aku.
Aku – hantu salju.”
Suaranya pelan. Seperti derak tulang
ketika di ruang latihan itu
tak ada lagi adegan.
Hanya nafas. Mungkin ia masih di situ.
2012
Yang tak menarik dari mati
Yang tak menarik dari mati
adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.
Yang menghibur dari mati
adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.
2012
Goenawan Mohamad baru-baru ini menerbitkan naskah L’Histoire du Soldat (2012), saduran dalam bahasa Indonesia yang ia kerjakan atas teks CF Ramuz untuk musik Igor Stravinski.
Semua puisi ini dari satu buku, atau kumpulan puisi acak dari buku beda-beda, ya?