Helvry Sinaga


Elya Utama

Dengan munculnya Amba tahun 2012 (diterbitkan Gramedia Pustaka Utama) karya Laksmi Pamuntjak, Indonesia memiliki satu lagi novel menakjubkan, dihitung sejak terbitnya Saman (Kepustakaan Populer Gramedia, terbit pertama kali tahun 1998) karya Ayu Utami, yang waktu itu juga langsung membikin banyak orang takjub. Yang lebih menakjubkan, dua novel yang luar biasa ini memiliki kemiripan—atau bahkan kesamaan—dalam hampir semua unsurnya: struktur plot, penokohan, kejiwaan para tokoh (yang mencerminkan kejiwaan pengarang), tema tersembunyi di balik tema utama, sikap dan cara pandang penulis terhadap kehidupan, serta struktur kalimat yang berkonsekuensi ke hal-hal teknis, seperti penggunaan metafora, kosakata, irama, tempo, dan diksi.

Contoh dari kesamaan dua novel itu banyak dan bisa diuraikan panjang lebar. Tulisan ini merupakan versi pendek untuk penulisan di surat kabar. Dengan banyak hal dipadatkan dan contoh dibatasi, mudah-mudahan tetap bisa dilihat kemiripan atau kesamaan dua novel tersebut.

Baiknya dimulai dari unsur teknis dulu, yakni struktur kalimat. Struktur kalimat ini memang membawa konsekuensi pada struktur plot. Dalam hal ini, sebagaimana metafora wayang yang banyak digunakan, keduanya tampaknya menggunakan struktur pakeliran wayang. Diawali suluk yang bagus—yang ditransformasikan ke dunia prosa dengan piawai—dimulailah cerita dengan pengenalan, kemudian problem alias kegelapan, dilanjutkan serpihan cerita yang terpisah-pisah, baik dari segi waktu, tempat, maupun tokoh. Nantinya serpihan-serpihan itu dikonsolidasi pada akhir cerita ketika dunia menjadi benderang seperti dalam pertunjukan wayang kulit menjelang tancep kayon. Konsolidasi serpihan cerita itu pada kedua novel sama-sama dilakukan dengan dibabarnya surat-surat yang ditulis oleh para tokoh (pada Saman ditambah dengan surat elektronik alias e-mail).


Suluk yang secara luar biasa bertransformasi ke prosa itu pada Saman berbunyi: ”Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya.”

Sementara pada Amba: ”Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau.”

Penggambaran suasana diiringi penginformasian mengenai waktu dan tempat kejadian dilakukan dengan teknik persis sama: menyebut nama tempat, bulan, dan tahun. Saman, misalnya: ”Central Park, 28 Mei 1996”. Adapun Amba: ”Waeapo, Buru, April 2006”. Setelah itu, pada bab lain, waktu dimundurkan. Pada Saman: ”Perabumulih, 1993”. Pada Amba: ”Kadipura, Jawa Tengah, 1956”. Selanjutnya, keduanya akan menggunakan teknik maju-mundur seperti itu untuk mengendalikan irama dan tempo sehingga terasa kekesamaan irama dan tempo kedua novel ini.

Kesamaan dalam segi teknis ini diperkaya dengan kesamaan lain, misalnya pada metafora. Pada Saman: ”Bayangan-bayangan pun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru....” Kita lihat pada Amba: ”...begitu rupa hingga ia memanjangkan bayang-bayangku ke mana pun mataku memandang.” Varian lain mengenai ”bayang-bayang memanjang” dalam Amba: ”...ia menangkap siluet yang panjang itu dari sudut mata kirinya....”

Dua-duanya punya perhatian pada dunia komik. Ikon komik dimunculkan, di daerah terpencil sekali pun. Pada Saman ada ”Deni Manusia Ikan” di pedalaman Sumatera, sedangkan pada Amba ada ”Doraemon” di pedalaman Buru. Tentang simbol-simbol dan tanda-tanda ini masih banyak lagi kesamaan, misalnya pada penggambaran buah-buahan. Pada Saman, ”Lalu, tanaman buah: durian, nangka, lengkeng.” Adapun pada Amba: ”...ada sejumlah tanaman buah: durian, duku, dan pohon turi.” Untuk bau-bauan, keduanya punya kesan khusus terhadap bau kayu. Pada Saman: ”...begitu kuat ketika ia mencium bau kayu yang menyedotnya kembali ke waktu kanakkanak.” Pada Amba: ”Samar-samar ia bisa mencium aroma kayu pada laki-laki itu.”

Sampai ke masalah sangat pribadi, dua wanita ini tampaknya punya kemiripan, yakni dalam hal telentang. Pada Saman: ”...kami berdua telentang di satu ranjang.” Pada Amba: ”...dan mereka telentang basah dan asin.”

Sekarang ke penokohan. Tokoh utama lelaki dalam dua novel ini sama-sama memakai nama wayang. Pada Saman sang tokoh bernama Wisanggeni, Athanasius Wisanggeni. Tokoh utama lelaki Amba adalah Bhisma Rashad. Keduanya, pada puncak cerita, sama-sama berusia 30-an tahun. Kesamaan lain, ibu mereka sama-sama Jawa dan ningrat (kedua novel ini sama-sama gemar menggambarkan seorang ibu sebagai Jawa ningrat. Adapun ayah bisa sama-sama Jawa atau suku lain. Ayah yang sering muncul dalam keduanya adalah Minang. Gambaran campuran Minang-Jawa tampaknya menjadi favorit keduanya).

Selain sama-sama ”beraroma kayu”, keduanya, selain intelektual, sama-sama menyimpan kekuatan supranatural. Pada Saman, kekuatan supranatural yang dimiliki Wisanggeni (kemudian berganti nama Saman) berasal dari roh-roh adiknya yang lenyap dari kandungan ibu. Pada Amba, Bhisma mendapatkannya dari semacam orang pintar di pedalaman Buru. Keduanya menunjukkan keajaiban kekuatannya ketika berhadapan dengan ular ala Harry Potter.

Di luar sekadar kesamaan kedua tokoh tersebut, masih banyak lagi kesamaan tokoh-tokoh lain, dari kesamaan tipologi ibu Jawa ningrat seperti disinggung tadi, sampai ke tokoh yang mengalami deformasi fisik, digambarkan sebagai ”makhluk ajaib”.

Yang tak kalah penting dicatat, tema yang tersembunyi di balik tema utama. Ini tampaknya bahkan bisa disebut yang lebih utama daripada yang terlihat. Saman tentang situasi politik menjelang tahun 1998, Amba pada tahun 1960-an ketika G30S meletus. Hanya saja, kalau ditelisik lebih lanjut, keduanya sebenarnya bercerita tentang tokoh-tokoh yang sedang mencari masa lalunya. Latar politik bisa macam-macam, tetapi ada yang tetap pada keduanya: penyelamatan masa lalu.

Sayang, tak bisa semua diuraikan di sini. Yang jelas, baik Amba maupun Saman adalah pencapaian luar biasa dalam penulisan novel pada zamannya. Apa yang dicapai keduanya—diibaratkan pencapaian dalam dunia arsitektur—mereka adalah monumen yang akan terus dikenang kehebatannya, seperti kita melihat Vila Isola di Bandung yang anggun sepanjang masa, karya arsitek Wolff Schoemaker pada zamannya.

Menyangkut kemiripan atau bahkan persamaan kedua arsitektur novel di atas, saya ingin berspekulasi dengan cara seperti bagaimana kedua novel itu melakukan spekulasi, yakni dengan menyebut poin-poin kemungkinan. Pertama, penulis kedua meniru penulis pertama. Bukan tiruan yang jelek, sangat sempurna, bahkan mendekati kloning. Kedua, penulis pertama dan kedua berasal dari latar pendidikan arsitektur yang sama, mendirikan firma yang sama, dan bekerja bersama-sama. Ketiga, dua karya itu sebenarnya karya arsitek yang sama, menggunakan nama yang berbeda-beda.

Mana yang benar dari spekulasi itu tidaklah terlalu penting. Bahkan andai ketiga-tiganya salah sekali pun. Menutup tulisan ini, meniru penutup surat yang dibikin setiap tokoh dalam kedua novel itu kepada ayahnya (pada Saman ”Sembah Sujud”, pada Amba ”Sembah Sujudku”), kami mengaturkan sembah sujud. Ditunggu karya-karya berikut.

Elya Utama Pembaca Novel, Tinggal di Jakarta


Labels: , | edit post
2 Responses
  1. Azia Azmi Says:

    Jadi semakin menarik ya kasusnya..

    Aku sudah baca keduanya. Aku engga terlalu ingat cerita Saman secara detail jadi tidak menyadari kesamaan-kesamaan yang ditemukan seperti di artikel ini. Tapi kalau menurutku tutur bahasanya Ayu Utami sama Laksmi Pamuntjak itu beda. Laksmi sendiri melakukan riset, interview, dan observasi ke pulau buru selama bertahun-tahun untuk Amba ini. Sepertinya aku harus baca Saman lagi deh..jadi penasaran sama kemiripan2 ini. *cari pinjeman*


  2. Baca reviewnya Elya Utama ini (aku sempat googling namanya tapi minim hasilnya) aku pikir nggak apa-apa juga kalau meniru. Toh 'jiwa' novelnya itu tergantung bagaimana pembacanya juga. Lagian dengan demikian, pembaca seperti kita akan semakin kaya dengan beragam informasi 'sejarah' yang sebelumnya belum terungkap.


Post a Comment